x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Hero, High Achiever, or Leader

Di level mana pun Anda sekarang, tumbuh menjadi lebih hebat adalah hak Anda

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: You Want to Be a Hero, High Achiever, or Leader?

Ini pertanyaan fundamental untuk meningkatkan kualitas eksistensi kita.

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

Leadership matters. Pada saat melakukan riset untuk menyusun buku Good to Great:  Why Some Companies Make the Leap …. and Others Don’t, Professor Jim Collins menekankan kepada timnya untuk mengabaikan faktor pemimpinnya dalam mengevaluasi perusahaan-perusahaan yang diteliti. “Ignore the executive,” katanya.

Tujuannya agar dalam menentukan prestasi bagus atau hebat setiap perusahaan berdasarkan pemahaman ilmiah yang mendalam, tidak setiap kondisi selalu memiliki jawaban tunggal “pasti kepemimpinannya.”

Jim Collins mengajak timnya untuk tidak terjebak cara berpikir manusia pada tahun 1500-an, ketika semua hal yang tidak dapat mereka pahami – seperti gagal panen dan gempa – selalu dikaitkan dengan Tuhan. Tuhan memang yang menggerakan seluruh alam semesta, tapi pemahaman melalui ilmu pengetahuan ilmiah atas peristiwa-peristiwa alam penting juga.

Ia tidak bermaksud bersikap ateis atau tidak menghargai peran leadership, tapi agar timnya tidak bersikap taklid, semua hal dikaitkan ke hanya satu faktor.

Perdebatan Jim Collins dan mitra-mitranya sangat ketat dalam melakukan seleksi mana perusahaan yang sekedar bagus dan mana yang berhasil hebat. Timnya bersikeras, secara konsisten ada hal-hal yang tidak lazim tentang mereka, yaitu para leaders di perusahaan-perusahaan yang hebat tersebut.

Pada akhirnya data unggul. Perusahaan-perusahaan yang bertransformasi menjadi hebat tersebut dipimpin para eksekutif dengan perangai yang saling bermiripan.

Apakah itu perusahaan consumers good atau industri, dalam kondisi krisis atau biasa saja, di bidang produk atau jasa. Juga tidak terkait dengan kapan transformasinya berjalan atau sebesar apa perusahaannya.

All the good-to-great companies had Level 5 leadership at the time of transition,” tulis Jim Collins dalam Good to Great, yang sudah terjual lebih dari tiga juta jilid. Sedangkan di perusahaan-perusahaan pembanding, yang tidak hebat, polanya secara konsisten memperlihatkan tidak adanya kepemimpinan Level 5.

Apa itu Level 5 Executive? “Build enduring greatness through a paradoxical blend of personal humility and professional will,” kata Jim Collins. Kuncinya adalah kerendahan hati, tidak menonjolkan diri, tapi gigih dalam tugas profesionalnya.

Berdasarkan klasifikasi Jim Collins, kepemimpinan eksekutif yang memberikan kontribusi produktif melalui bakat, pengetahuan, ketrampilan dan habit kerja bagus, atau Highly Capable Individual, baru tergolong Level 1 Executive.

Tiga jenjang eksekutif sebelum masuk ke kategori Level 5 adalah: Contributing Team Member (Level 2), Competent Manager (Level 3), dan Effective Leader (Level 4). 

Disamping managerial dan leadership skills, untuk mancapai Level 5 rasanya memang perlu kematangan mental dan spiritual, yang umumnya tercermin dalam behavioral mereka sehari-hari.  

Ini contoh Level 5 Executive.  Darwin E. Smith ketika dapat tugas dari pemegang saham untuk jadi CEO Kimberly-Clark pada 1971 mesti menghadapi kenyataan kondisi perusahaan yang tengah kesulitan. Harga sahamnya 36% dibawah pasar – Kimberly-Clark $5.30, sementara rata-rata pasar US$ 8.30.

Smith, penasihat hukum internal dengan pembawaan kalem, sempat bimbang, apa pilihan pemegang saham tersebut tepat. Tambahan pula ada anggota direksi yang membisikinya, kalau dia sebenarnya kurang qualified untuk posisi itu.

Apa yang kemudian terjadi? Darwin Smith bertahan sebagai CEO Kimberly-Clark selama 20 tahun dan berhasil melakukan transformasi perusahaan secara fundamental. Pada 1991 harga saham kumulatifnya menjadi 4,1 kali rata-rata pasar. Nilai US$ 1 yang ditanamkan ke Kimberly-Clark pada 1971, tumbuh menjadi US$ 39.87 pada 1991. Sementara harga rata-rata pasar US$ 9.81.

Prestasi Kimberly-Clark melampaui perusahaan-perusahaan yang diunggulkan pasar saham saat itu, seperti Coca-Cola, Hawlett-Packard, 3M, dan General Electric.

Prestasi hebat Kimberly-Clark yang menjadikannya layak sebagai contoh terbaik keberhasilan transformasi perusahaan abad 20 ternyata tidak membuat Darwin Smith, sebagai CEO-nya,  jadi selebriti.  Wall Street Journal tidak menampilkan sosok Darwin Smith secara gegap gempita.

Perilakunya sehari-hari biasa-biasa saja, tidak menampilkan diri sebagai pahlawan, apalagi selebriti korporasi. Tidak pernah menonjolkan diri sebagai orang penting, akrab dengan tukang pipa dan listrik, Darwin Smith mengisi liburannya di lahan pertaniannya di Wisconsin, menggali tanah dan memindah-mindah batu.

Salah satu kalimat penting Darwin Smith dalam refleksi pensiunnya: “I never stopped trying to become qualified for the job.”  Bisikan anggota direksi yang menganggapnya kurang memenuhi syarat, justru memacunya terus meningkatkan kualitas dirinya menjadi pemimpin hebat.

Behavior para eksekutif Level 5 yang memimpin transformasi perusahaan menjadi hebat memiliki kemiripan, utamanya rendah hati, tidak mementingkan diri sendiri, dan gigih dalam memperjuangkan kemajuan perusahaan.

Contoh Level 5 Executive lain adalah Colman Mockler, CEO Gillette 1975 – 1991. Ia berhasil menepis tiga kali serangan upaya pembelian saham perusahaan yang sebenarnya memberi peluang para top management kaya raya dengan cepat, tapi merusak peluang pertumbuhan Gillette.

Dua kali upaya hostile takeover datang dari Revlon, dipimpin Ronal Perelman, yang memiliki reputasi mempreteli perusahaan untuk membayar junk bond sebagai sumber dana hostile raids lainnya.

Tawaran Perelman sebenarnya menggiurkan, dengan harga premium, memberikan 44% capital gain ke para pemegang saham. Ini tidak menggoyahkan Colman dan tim.

Serangan ketiga dari Coniston Partners, lembaga investasi yang membeli 5,9% saham Gillette dan melancarkan proxy battle untuk mengendalikan dewan direksi. Tujuannya menjual perusahaan ke penawar tertinggi dan untung cepat.

Colman dan tim, didukung ribuan pemegang saham perseorangan yang mereka hubungi satu per satu, memilih membangun Gillette menjadi perusahaan hebat. 

Satu lagi contoh masuk kategori Level 5 Executive: David Maxwell, CEO Fannie Mae 1981 – 1991. Saat David Maxwell diminta memimpin Fannie Mae, perusahaan yang mendukung pendanaan kepemilikan rumah itu tengah merugi rata-rata US$ 1 juta per hari kerja.

Market value Fannie Mae saat itu US$  525 juta.  David bersedia memperoleh gaji setahun US$ 225.000 tanpa insentif apa pun. Dibandingkan dengan gaji para top executive perusahaan sekelas di Amerika, itu sangat underpaid.

Ketika David Maxwell pensiun akhir Januari 1991, nilai pasar Fannie Mae US$ 10.5 miliar, naik hampir 20 kali lipat. Tahun 1990 perusahaan meraih laba US$ 1.2 miliar dan tahun 1991 berhasil mengakumulasi modal US$ 4.5 miliar.

Berdasarkan prestasi perusahaan, sesuai ketentuan,  David Maxwell berhak dapat pesangon dari Fannie Mae US$ 20 juta. Mengingat operasi Fannie Mae dibawah kendali pemerintah dan jumlah pesangonnya itu jadi kontroversi di Congress, David Maxwell minta kepada penerusnya, Jim Johnson, agar US$ 5 juta pesangon yang belum dibayarkan disimpan saja oleh yayasan Fannie Mae untuk membantu program perumahan rakyat berpenghasilan rendah.  

Misi yang dikembangkan David Maxwell untuk Fannie Mae adalah “strengthening America's social fabric by democratizing home ownership.

Menarik untuk jadi referensi, para eksekutif Level 5 tersebut ketika diinterview Jim Collins dan tim, pada lebih senang bicara perusahaan, orang-orang di sekitar mereka, dan menolak bicara tentang pribadi. Garis besar jawaban mereka umumnya seperti ini: “Did I have a lot to do with it? I don’t think I can take much credit. We were blessed with marvelous people.”

Mereka, the good-to-great leaders, menolak dianggap sebagai pahlawan. Tidak terpikirkan pula untuk jadi icon“They were seemingly ordinary people quietly producing extraordinary results,” kata Jim Collins.

Proses kepemimpinan yang berhasil hebat hampir selalu berjalan sesuai yang digambarkan Paul Hersey, “leadership is working with and through others to achieve objectives”.  Paul Hersey dan Ken Blanchard dikenal kalangan eksekutif bisnis dan institusi lainnya sebagai penggagas Situational Leadership.

Kata kuncinya adalah others. Dalam konteks ini, praktis diri sendiri bukan yang diutamakan. Bukan seperti para pimpinan perusahaan yang menjadikan diri sendiri sebagai pusat perhatian –  sebuah kecenderungan yang dapat merugikan semua pihak.

Ingat Lee Iacocca, tokoh bisnis legendaris yang mengubah perusahaan otomotif Chrysler pada awal 1980-an bangkit dari keterpurukan?

Kesuksesan tersebut, termasuk keberhasilan otobiografinya, Iacocca, yang terjual tujuh juta jilid, telah menjadikannya bagaikan rock star. Sesudah itu, karena Lee Iacocca lebih sibuk untuk dirinya, rajin tampil di talk show, perusahaan jadi oleng. Nilai saham Chrysler anjlok 31% dibawah general market.   

Gambaran pemimpin yang hebat jaman dulu bagaikan seorang pahlawan, a hero. Kemudian kita kenal para high achiever. Menurut Marshall Goldsmith kelompok high achiever berkecenderungan menonjolkan diri – me, me, me.

Kemudian bermunculan para great leaders, atau golongan eksekutif Level 5, yang berperilaku lebih mementingkan others, institusi atau tim yang dipimpinnya. Seperti Alan Mulally yang menyelamatkan Ford, David Maxwell yang membangun kembali Fannie Mae, Darwin Smith yang melakukan transformasi Kimberly-Clark, dan seterusnya.

Para Eksekutif Level 5 atau great leaders terbukti pada memiliki legacy dan reputasi terpuji yang bertahan lama, bahkan melegenda sampai anak cucu mereka.

Para eksekutif, di level mana pun Anda sekarang, apakah mulai tertantang untuk menjadi lebih hebat dari kondisi saat ini?  Atau sekedar mau jadi hero dan high achiever?  Bagi orang-orang cerdas seperti Anda, mestinya mencapai tahap great leader (di lingkungan Anda) lebih keren.

 

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Consulting

Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler