x

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mari membuka baju kita, Mari Menjadi Indonesia

Segala macam hoax, fitnah dan ujaran kebencian dengan mudah kita dapatkan bertebaran di ruang-ruang gawai anak-anak Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebuah renungan singkat di hari lahirku dan hari lahirnya Pancasila

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

                Keriuhan Medsos akhir akhir ini tidak bisa dipungkiri adalah keriuhan kelas menengah Indonesia yang memiliki akses, informasi dan jaringan . Dengan kepemilikan tersebut, maka acapkali kecerdasan dan kehati-hatian sudah tidak lagi dipakai sebagai alat analisis dalam menulis dan berbagi berita. Segala macam hoax, fitnah dan ujaran kebencian dengan mudah kita dapatkan bertebaran di ruang-ruang gawai anak-anak Indonesia.  Nyatanya kelas ini sedang gandrung dengan berbagai macam aliran, identitas dan pilihan politik yang mau tidak mau mempengaruhi keIndonesiaan pada akhir akhir ini.

 

                Di kelas menengah inilah sedikit “kemewahan” yang dinikmati menjadikan setiap orang bisa mempunyai pilihan. Bukan saja pilihan untuk makan dimana, atau pilihan menggunakan kendaraan apa, kelompok ini sudah pasti memiliki pilihan untuk baju apa yang akan dipakainya. Minimal ada 4 atau 5 baju yang dipilih dalam kehidupan harian mereka. Ada baju kerja, baju olahraga, baju untuk tidur, baju untuk ke pesta atau acara acara sosial, da nada juga baju yang dikenakan ketika ibadah. Pilihan itu bisa bertambah dengan yang bersangkutan memiliki minat olahraga dua atau tiga, atau juga ada pilihan khusus untuk baju bersantai jalan-jalan yang pasti berbeda bila ke mall atau ke pasar tradisional.

 

                Dalam pilihan-pilihan baju itulah bukan saja identitas dikenakan, tetapi juga niatan untuk melakukan apa disandang dengan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana mustinya. Tak jarang dalam identitas baju ibadah yang dikenakan bisa berbeda, namun baju olahraga yang mempersatukan tim yang diidolakan dan atau sebaliknya. Kecenderungan untuk melakukan yang formal dan kasualpun bisa membuat dua orang yang berbeda dalam identitas bola atau tim sepakbola bisa menyatu dengan kemiripan yang sama karena gaya hidup yang sesuai.

 

                Dengan baju inilah kelas menengah Indonesia bisa berkaca akan jatidiri baik secara individu mauupun kolektif. Perilaku perbedaan dan pembedaan bisa dikelola seandaianya ada baju yang bisa dikenakan pada konteks berbeda, sementara pada situasi yang lain bisa mengenakan yang sama.  Ada baju-baju yang memisahkan secara binary opposition atau sama sekali berbeda sehingga tidak ada sama sekali ruang-ruang dialog, karena sang pemakai merasa paling benar dibanding dengan orang yang memakai baju yang lain. “Baju pilihan saya yang terbaik, dan baju yang anda pakai buruk dan tidak ada nilainya”, kurang lebih ungkapan seperti itulah yang bisa terjadi.

 

                Ketika Pancasila dilahirkan walaupun mirip dengan pilihan baju, namun para bapa bangsa sepakat bahwa ada dialog untuk bisa memakai baju apa ketika masuk dalam ruang kebangsaan dan kenegaraan. Pilihan politik nasionalisme relijius dan nasionalisme sekuler sudah tentu merupakan dua ruang ekstrim yang tidak bisa bertemu. Ada juga  pilihan agama yang notabene sangat berbeda satu dengan yang lain. Sudah tentu dalam panggilan keyakinan ini kebenaran yang dimiliki ingin disuntikkan dalam dasar Negara, dengan harapan bahwa Negara yang dibangun akan menerapkan keluhuran nilai agama yang diyakini secara tulus oleh para pengusul bisa memperbaiki moralitas dan etika bangsa.

 

                Perjuangan dalam masa awal pembentukan bangsa bukan saja melawan musuh penjajahan yang terus mengintai untuk menguasai kembali bumi pertiwi. Kontestasi ide dalam perdebatan-perdebatan seru terjadi  untuk mendesain bentuk Negara bangsa yang akan dimiliki bersama. Mimpi lahirnya sebuah bangsa yang sudah dimulai pada dekade-dekade sebelumnya oleh para pejuang Stovia  yang meneriakan kebangkitan nasional dan kesepakatan pemuda-pemuda yang berkumpul untuk Indonesia satu ternyata tidak mudah diterjemahkan dan didefinisikan menjadi sebuah ideologi tunggal.  Takdir keberagaman  yang tak bisa dihindari dan asupan berbagai keyakinan, kearifan lokal/budayal dan ideologi Negara bangsa menjadikan proyek ideologi membuat sebuah identitas kebangsaan Indonesia bukanlah suatu hal yang mudah apalagi sederhana.

 

                Sidang-sidang melelahkan berusaha membuat baju kebangsaan yang cukup pas dipakai oleh semua, tidak terlalu longgar apalagi kesempitan.  Sebisa mungkin semua harus diakomodasi, karena masa depan bangsa harus dimulai dari suatu patron baju yang ukuran dan modelnya dapat menerima semua dan menjadikan semua yang memakainya memiliki kebanggaan. Proses inilah yang terjadi dengan disebut sebagai  Hari Lahir Pancasila. Bagaikan kelahiran setiap bayi ke dalam dunia ini, orang tua yang bertanggungjawab sudah memikirkan bukan saja lahirnya ke dunia, tetapi akan jadi apa dan bagaimana sang bayi akan bisa bertahan dan berhasil di masa depan.

 

                Alhamdulillah, Puji Tuhan, kita sebagai bangsa bersyukur bahwa para bapa bangsa bisa menemukan kesepakatan –kesepakatan arif dalam menghadirkan baju kebangsaan untuk sang jabang bayi Indonesia Raya. Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial bersama menjadi sebuah baju yang bukan saja menjadi pas dan mengakomodasi semua pihak. Pancasila juga menjadi sebuah baju yang modelnya patut dibanggakan untuk dikenakan sebagai hasil para desainer avant garde untuk Indonesia yang raya dan jaya di percaturan bangsa bangsa dan Negara yang ada.

 

                Menilik perjalanan sejarah bangsa ini, maka ada kalanya baju ini  hampir ditinggalkan, atau dilecehkan dan dianggap usang. Pernah juga baju ini diupayakan untuk dicabik-cabik karena dianggap sudah tidak sesuai dengan selera beberapa orang yang merasa tidak pas lagi memakainya untuk berbagai maksud dan tujuan. Namun, kendati pernah dikotori, ditempeli berbagai stempel tambahan, disobek dan mengalami berbagai perlakukan lain, sang Baju Pancasila masih tetap bertahan. Baju ini menjadi satu-satunya yang dapat dikenakan oleh semua anak bangsa ketika masih mau mengakui sebagai bagian dari Indonesia tercinta

 

                Dalam kekinian yang mengglobal, ketika banyak baju yang lebih menggiurkan bisa dengan mudah dikenakan, maka baju kebangsaan setiap anak bangsa haruslah kembali dikenakan oleh anak-anak kandung ibu pertiwi. Saat-saat ini ketika identitas baju yang berbeda mulai banyak ditawarkan, baju Pancasila tidak bisa tidak haruslah tetap menjadi baju yang menjadi jimat pemersatu bangsa yang menghadirkan kembali semangat dan kebanggaan bersama. Ketika pada awalnya baju ini menjadi tempat dibukanya ruang-ruang dialog meruntuhkan kekakuan sekat-sekat identitas, maka ruang yang sama perlu dibuka kembali agar tidak menjadi tempat usang tak terpakai.

 

                Andaikan baju ini bisa kita pakai secara bersama, maka gema “Saya Indonesia, Saya Pancasila” akan kembali merdu disenandungkan. Akan ada lagi teriakan-teriakan kesatuan yang bukan menakutkan tetapi medorong kebersamaan. Ada juga  gemuruh nyanyian anak-anak mendendangkan aubade untuk negeri atas nama kesatuan. Dan pasti ada juga genggaman erat tangan-tangan anak bangsa yang tersenyum melihat ke kanan dan kiri karena setiap dari mereka meyakini negeri ini indah dan nikmat didiami bersama. Baju ini perlu dikenakan lagi dan bersama

 

                Oleh karenanya, marilah kita buka baju-baju yang menjadikan baju kebangsaan terlalu sesak untuk dipakai. Mari melepaskan semua untuk mau kembali sepakat bersama mengenakan rancangan para bapa bangsa untuk Indonesia yang satu. Yuk, mari kita telanjang. Mari membuka baju kita. Aku, kau dan kita semua kembli menjadi manusia apa adanya, dan mengamini takdir lahir sebagai anak-anak di negeri Indonesia. Ketika kita masuk ruang Negara bangsa, ketika itu jugalah kita bersama membagi ruang publik bersama. Pancasila reborn adalah Pancasila yang kita kenakan kembali setelah kita mau membuka baju-baju penghadir sekat yang telah menjadikan kita asing satu dengan yang lain.

 

 

 

Semoga.

30 Mei 2017

Terima kasih Tuhan untuk hari Ulang tahunku, juga  Untuk Indonesia dan Pancasila

 

Victor Rembeth/Thamrin School

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler