x

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Nabi Muhammad Menerima Berita Hoax

Al-Hujurat ayat 6 menggariskan, jika tidak melakukan penelitian kebenaran suatu berita, maka bisa berakibat pada musibah terhadap suatu kaum.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada hadits riwayat Ahmad dan lain-lain saya kutip dari Kitab Asbabunnuzul karangan K.H. Q. Shaleh, dkk. Pada zaman Nabi Muhammad ada seorang sahabat bernama Al-Harits yang baru saja masuk Islam. Al-Harits menyampaikan usul kepada Nabi Muhammad bahwa dia akan pulang ke kaumnya untuk berdakwah mengajak kaumnya masuk Islam dan memungut pajak kepada orang-orang mampu diantara kaumnya. Nabi menyetujuinya, sehingga Al-Harits pun menjalankan rencananya. Al-Harits berpesan kepada Nabi agar jika pada watunya Nabi mengirimkan utusan untuk mengambil zakat yang dia kumpulkan.

Al-Harits berhasil menjalankan rencananya. Tapi Al-Harits heran mengapa Nabi Muhammad tidak segera mengirimkan utusan. Kemudian Nabi mengirim utusan bernama Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat yang dikumpulkan Al-Harits. Tapi Al-Walid tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Ia merasa gentar, sehingga ia kembali kepada Nabi Muhammad dan Al-Walid mengabarkan bahwa Al-Harits tidak mau menyerahkan zakat yang dikumpulkannya dan mengancam akan membunuh Al-Walid.

Lalu Nabi Muhammad mengutus para muslim lainnya untuk datang kepada Al-Harits. Di tengah perjalanan para utusan Nabi itu bertemu dengan Al-Harits yang dalam perjalanan hendak menghadap Nabi Muhammad. Para utusan itu berkata bahwa Nabi telah mengutus Al-Walid untuk datang kepada Al-Harits, tetapi Al-Walid kembali karena Al-Harits mengancam akan membunuhnya. Tentu saja Al-Harits membantah kabar negatif itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu Al-Harits dan para utusan Nabi itu datang menghadap kepada Nabi Muhammad. Nabi bertanya kepada Al-Harits, “Mengapa kamu menahan zakat dan hendak membunuh (Al-Walid)?” Maka Al-Harits membantahnya bahwa itu adalah tidak benar. Lalu turunlah Quran Surat Al-Hujurat ayat 6 yang terkenal sebagai dasar tabayyun terhadap suatu berita. Jadi, Nabi Muhammad dan umat Islam diajari oleh Allah tentang prinsip tabayyun dalam menerima informasi. 

Al-Hujurat ayat 6 menggariskan, jika tidak melakukan penelitian kebenaran suatu berita, maka bisa berakibat pada musibah terhadap suatu kaum. Bisa saja musibah itu menimpa para korban informasi hoax, dan menimpa para penyebar kabar-kabar hoax alias palsu. Inilah salah satu ajaran akhlaqul karimah, yakni tabayyun (meneliti kebenaran suatu informasi / berita). Kerusuhan pun bisa terjadi karena berita hoax.

Hingga hari ini kita sedang membaca berita pula tentang musibah-musibah akibat kabar hoax yang disebarkan tanpa tabayyun. Yang lebih menghancurkan juga adalah pengetahuan-pengetahuan sejarah yang hoax, dianggap sebagai kebenaran yang tidak ditabayyuni. Sejarah tentang apa saja, termasuk sejarah tentang polarisasi golongan-golongan agama Islam sendiri yang menimbulkan fitnah sepanjang jaman, memunculkan perselisihan antar golongan yang masing-masing merasa dirinya paling benar. Dengan bekal ilmu pengetahuan alakadarnya, mungkin dari hanya satu kali pengalaman, mereka malas untuk menggali berbagai sumber sebagai upaya tabayyun, tapi mereka menyebarkan sejarah dan keyakinan yang tak lebih dari gosip sejarah. Para penyebar sejarah hoax ini kelak akan bertanggung jawab di hadapan Tuhan.

Budi Pekerti dan Informasi

Apalagi di jaman media sosial (medsos) ini. Dunia medsos adalah dunia yang menampakkan wajah-wajah banyak orang. Di dalamnya ada sekian banyak orang yang terbiasa menumpah-serapah emosi jiwanya, menikam-nikam kehormatan lawan-lawannya dengan membongkar-bongkar aib pribadi orang yang tak ada urusannya dengan kepentingan publik..

Saya pun kadang harus menahan emosi membaca dengan kata-kata di medos dan di website yang menyinggung Nabi Muhammad dengan istilah “si mamat” atau tuduhan pedofil serta panasnya tulisan lainnya yang bisa membakar. Tak jarang ketika saya berdebat di medsos saya digoblok-goblokkan, dikutuk-kutuk. Tentu saja saya tak akan meladeni orang-orang yang saya anggap kanak-kanak. Tapi mungkin akan ada banyak orang yang tersinggung jika simbol-simbol agamanya dihina sehingga bisa menjadi musibah.

Saya bisa melihat di dunia medsos ada banyak orang yang kehilangan budi pekerti, tak punya unggah-ungguh. Apakah hal itu karena para orang tua yang tidak mendidik dengan baik kepada anak-anaknya, atau memang yang bersangkutan punya kelainan kejiwaan, yakni: tidak tentram hatinya jika tidak menghina-hina dan merobohkan kehormatan orang dengan urusan pribadinya?

Sepertinya memang benar bahwa para orang tua dan para guru sejak dini mesti mengajari anak-anak dengan ilmu budi pekerti. Ada orang yang berpandangan, lebih baik orang kasar tapi jujur daripada santun tapi korupsi. Saya katakan bahwa lebih baik jika orang punya budi pekerti baik, yakni punya sopan santun, punya unggah ungguh, tahu cara berkomunikasi dengan baik dan penuh kejujuran. Orang jujur yang suka menghina orang tentu saja punya cacat kehidupan.

Orang jujur yang suka menghina, apalagi yang dihina adalah martabat warga yang melebihi urusan pribadi, akan bisa memecah-belah umat. Apalagi jika tidak jujur dan kasar suka menghina. Hinaan-hinaan adalah bagian dari kekerasan yang mungkin lebih menyakitkan dibandingkan dengan kekerasan fisik. Jika seseorang gampang mengeluarkan kata bunuh bunuh bunuh….suatu saat akan ada yang membalasnya. Para leluhur Jawa berpesan, uwong iso kebacok karo omongane dhewe (orang bisa tertikam oleh omongannya sendiri). Kanjeng Nabi Muhammad berkata, “Kalau kamu beriman, berkatalah yang baik. Jika tak bisa berkata baik, maka diamlah!” Seorang ulama pun jika omongannya kasar dan tidak baik, maka omongannya bisa menikam dirinya sendiri.

Orang modern pun terlalu percaya dengan logikanya yang minus pemahaman tata dan nilai sosial. Orang-orang modern sekularis murni tentu tidak menganggap agama sebagai marwah dan kehormatan. Mereka menganggap agama hanyalah seperti baju kaos yang tak punya nilai apa-apa selain hanya untuk dipakai saja. Orang-orang rasionalis murni ini pun tak mampu mendalami suatu kenyataan sosial, mengapa seorang anak bisa sangat mendalam cintanya kepada ibunya yang dianggapnya sebagai harga diri yang melebihi harga dirinya sendiri. Ini memang soal perasaan.

Manusia selain punya otak, juga punya hati. Jika otak membunuh kerja hati, maka itulah yang disebut  tak berperasaan. Jika hati menghancurkan kerja otak, maka yang terjadi adalah tak punya otak. Jadi, otak dan hati mestinya bekerjasama dalam membangun peradaban. Tapi sayangnya otak didewakan dan hati direndahkan sehingga dunia ini adalah tentang 20 persen orang bersenang-senang di atas derita 80 persen yang mayoritasnya menganggap 20 persen penindasnya itu adalah hukum alam yang rasional. Berapa milyar manusia yang bekerja kepada manusia 20 persen itu yang tak punya perasaan dalam menjalankan agenda-agenda tak berperasaan di dunia ini? Tak usah jauh-jauh. Di sini orang giat mengutuki bom panci, tapi mereka diam membisu melihat jutaan rakyat sipil di Afghanistan, Irak dan Libya dibombardir oleh bom-bom otak kelas wahid dunia. Harusnya kan perasaan dan otak sama-sama jalan, operator bom panci dan komando bom-bom berotak tinggi ya sama-sama terorisnya.   

Orang modern juga tak memahami perasaan sosial tentang banyaknya orang-orang yang mempunyai rasa cinta yang tinggi kepada agamanya, nabi-nabi atau rasul yang dimuliakannya, para ulama yang sangat dihormatinya, kitab-kitab suci yang melebihi kehormatan dirinya. Selain reaksi umat Islam dalam kasus Almaidah 51 di Jakarta itu, coba lihat bagaimana reaksi puluhan ribu umat Kristen Papua saat mengetahui diduga ada pembakaran Kitab Injil. Itulah kenyataan sosial yang oleh sebagian orang modern terpelajar disebut sebagai “kekonyolan.”

Tapi tanpa “kekonyolan” itu maka mungkin negara ini tak akan dipandang dunia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Tanpa kekonyolan itu pula maka tidak ada cinta tanah air yang mendalam  sehingga mungkin negara ini sudah bubar. Orang-orang modern lebih percaya kepada berita dibandingkan dengan ajaran para Nabi.

Iman Kepada Informasi

Memang, salah satu cacat mental orang modern adalah banyak diantara mereka yang beriman kepada informasi berita, tanpa bertanya “benarkan info ini?” (tabayyun). Kalau ada berita-berita internet yang memberitakan keburukan orang yang tak disukainya, mereka begitu semangatnya menyebarkan melalui akun medsosnya dengan komentar-komentar yang aduhai. Bahkan saking bencinya kepada figur-figur yang tak disukainya, berita-berita sampah hoax di media yang tidak jelas siapa pemiliknya pun disebar-sebarkan. Akhirnya abad ini benar-benar menjadi Era Hoax alias Abad Fitnah.

Kalau ada berita yang judulnya “Si Komir Menipu” maka para pembaca berita itu segera percaya bahwa Komir itu penipu. Kalau mereka membaca berita tentang “Si Surti Selingkuh” maka mereka segera beriman bahwa Surti itu peselingkuh. Kalau mereka membaca berita “Si Broddin Korupsi” maka mereka cepat-cepat percaya bahwa Broddin korupsi. Mengapa warga masyarakat terpelajar modern bisa punya keimanan yang mendalam terhadap informasi berita seperti itu? Bahkan mereka yakin betul bahwa berita adalah bukti.

Rupa-rupanya ini juga menjadi pekerjaan bagi otoritas pendidikan untuk mendidik anak-anak agar lebih pandai dalam bersikap untuk harus bagaimana ketika mereka menerima informasi dan berita. Agar generasi mendatang tidak menjadi generasi yang separah sekarang ini. Harus ada matapelajaran Budi Pekerti, matapelajaran Ilmu Informasi yang memuat tatakrama dalam menyikapi informasi yang semakin berkembang.

Orang modern menjadikan informasi sebagai obyek dagangan. Tapi mereka belum berpikir bahwa obyek dagangan itu bisa menjadi penyebab hancurnya nilai-nilai luhur sosial dan hancurnya kerukunan umat jika tak ada kecerdikan dan kearifan sosial untuk memahaminya. 

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler