x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tipologi Manusia Terkait Hoax

Di hadapan hoax, orang bisa bermacam-macam. Mulai dari yang membuatnya hingga yang membuat klarifikasi untuk menghentikannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika menghadiri manifesto gerakan anti-hoax di Bunderan Hotel Indonesia beberapa bulan yang lalu, saya mendapatkan pertanyaan menarik dari seorang rekan yang juga hadir di sana.  Pertanyaannya sederhana saja, yaitu bagaimana ragam orang Indonesia dalam menyikapi hoax.  Tak butuh waktu yang lama bagi saya untuk menyadari bahwa jawabannya perlu dipikirkan masak-masak.

 

Pada akhirnya, setelah cukup lama merenung, saya menemukan ada tujuh tipe manusia di hadapan hoax.  Tiga tipe yang pertama ada di wilayah negatif, satu tipe netral, dan tiga tipe yang lain ada di wilayah positif.  Yang negatif terdiri dari pembuat, penyebar aktif, dan penyebar tanpa sengaja.  Yang netral adalah yang menghentikan apapun informasi yang tak dipahaminya.  Sementara, yang positif adalah peminta klarifikasi, peneliti kebenaran informasi, dan penyebar klarifikasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Tipe pertama mungkin  bisa kita beri nama Si Biang Kejahatan.  Jangan dibayangkan bahwa mereka ini macam Stavro Blofeld sang musuh abadi James Bond, atau Dr. Evil yang menjadi lawan tangguh Austin Powers.  Mereka ini, entah bekerja untuk orang yang membayarnya atau untuk kepentingan ideologi, politik, atau ekonominya sendiri membuat bahan-bahan disinformasi, termasuk yang secara gamblang mengandung ujaran kebencian.  Mereka kemudian menyebarkan bahan disinformasi itu lewat website dan/atau media sosial, yang mereka tahu pasti akan disebarluaskan lebih jauh.

 

Mereka yang ada di tipe kedua, sebut saja Si Penebar Fitnah, adalah mereka yang sebetulnya paham bahwa informasi yang mereka terima itu tidak benar, sebagian atau seluruhnya.  Namun, lagi-lagi karena kepentingan ideologi, politik, maupun ekonomi kemudian memilih untuk secara aktif menyebarluaskannya.  Biasanya mereka ini yang sangat aktif di media sosial, dan punya pengikut yang jumlahnya besar.  Terkadang, mereka juga penentu ‘berita’ atau ‘opini’ apa yang hendak dimasukkan ke dalam website tertentu.  Kombinasi kepemilikan website yang pengunjungnya lumayan banyak dan pengikut media sosial yang besar adalah ‘ideal’ untuk kepentingan ini.

 

Si Lugu, mungkin begitu sebutan untuk manusia di tipe ketiga.  Mereka ini tak memiliki niat jahat seperti pada tipe pertama dan kedua, namun biasanya ingin tampil paling dahulu di media sosial di mana mereka eksis.  Mereka biasanya tak mampu menulis, tak memahami apa yang mereka terima secara memadai karena tak cukup membaca, namun ingin jadi gagah sebagai orang yang mendapatkan dan menyebarluaskan informasi yang mutakhir.  Jadilah mereka ‘penyambung lidah’ pada pembuat dan penyebar hoax dengan kegemaran meneruskan informasi apapun yang diterima. 

 

Terkait dengan tipologi ketiga ini, mungkin ada dua teori popular yang bisa menjelaskan.  Pada tahun 1957, psikolog terkenal Leon Festinger menuliskan buku A Theory of Cognitive Dissonance.  Di buku klasik tersebut dinyatakan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk mengambil dan memercayai informasi yang sesuai dengan pengetahuan dan sikap yang sudah dimilikinya.  Jadi, alih-alih memerkaya pengetahuan dengan mencari kemungkinan yang lain dari apa yang telah dipahami, kebanyakan orang malah hanya mencari pembenaran dan penguatan.  Ketika ada informasi yang sesuai dengan pendiriannya—entah itu benar atau salah—itu langsung dipercaya, dan dalam masa sekarang informasi itu juga yang cenderung disebarluaskan.

 

Lompat ke tahun 1999, dua psikolog dari Universitas Cornell, David Dunning dan Justin Kruger menemukan fenomena psikologis yang kemudian dikenal sebagai Dunning-Kruger Effect.  Artikel mereka, Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One's Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments dimuat di Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 77/6.  Di situ dijelaskan bahwa kepercayaan diri mereka yang baru mulai belajar sesungguhnya sangatlah tinggi, bahkan melampaui para pakar.  Ada kondisi yang disebut sebagai Mount Stupid atau Puncak Kebodohan, yaitu kondisi rasa percaya diri tertinggi, yang dicapai ketika orang sebetulnya masih jauh sekali dari pengetahuan yang memadai.  Di titik ini pula orang paling rajin beropini karena merasa paling memahami.  Kalau kemudian dia belajar lebih lama, maka kemudian akan menemukan bahwa rasa percaya dirinya akan terus menerus terkikis hingga level terendah.  Mereka biasanya tak berani beropini sama sekali. 

 

Tentu, titik terendah kepercayaan diri itu bukanlah akhir dari perjalanan intelektual semua orang.  Bila dari titik itu ia terus belajar,  maka rasa percaya dirinya akan meningkat, dan akhirnya benar-benar berada pada level yang tinggi ketika menjadi pakar.  Tetapi, Dunning dan Kruger menemukan bahwa bahkan para pakarpun tak punya rasa percaya diri sebesar mereka yang berada di Puncak Kebodohan.

 

Di Indonesia ada berbagai fakta dan kasus menarik yang mungkin bisa menjelaskan mengapa tampaknya banyak orang di tipologi ketiga ini.  Salah satu faktanya adalah orang Indonesia tak suka membaca.  Bulan Agustus 2016 lalu kita disuguhi berita tak menyenangkan: minat baca warga negara Indonesia ada di peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti.  Warga negeri ini hanya lebih baik dibandingkan warga Botswana dalam soal membaca.  Jadi, sulit berharap orang Indonesia keluar dari kondisi Puncak Kebodohan itu.  Karenanya, ada kasus seorang anak muda yang tak pernah belajar agama berani menghina kyai besar Nahdlatul Ulama yang lulusan perguruan tinggi Islam terbaik di dunia.

 

Tipe keempat diduduki oleh mereka yang berjuluk Si Hati-hati.  Mereka tahu bahwa mereka tidak mungkin mengetahui kebenaran seluruh hal.  Mereka juga tidak tertarik untuk tampil pertama untuk setiap hal di media sosial.  Yang mereka sadari dan pegang erat-erat, kalau memang tidak tahu duduk perkara suatu informasi, apalagi di luar tema yang menjadi minatnya, mereka akan memastikan bahwa mata merekalah yang terakhir kali melihat informasi itu.  Jemari mereka ditahan dari keinginan untuk meneruskan informasi yang buat mereka tidaklah jelas. 

 

Melangkah ke tipe berikutnya, kita juga menemukan Si Pembelajar.  Mereka punya minat yang sungguh-sungguh untuk tahu apakah informasi yang mereka terima dari kiriman orang lain memang benar dan/atau bermanfaat.  Mereka pada awalnya tidak tahu kebenaran informasi yang mereka terima, tetapi mereka melihat kemungkinan manfaat dari informasi itu.  Karena tak tahu kebenarannya, namun mereka mengetahui siapa yang mungkin mengetahuinya, mereka pun mengirimkan informasi itu untuk kepentingan klarifikasi.  Mereka melakukan tabayyun kepada rekan yang dianggap lebih tahu atau bahkan otoritatif.  Begitu mereka tahu kebenarannya, mungkin mereka memelajarinya sendiri, atau kemudian menyebarkannya bila ditimbang bermanfaat.

 

Di tipe keenam kita temui Si Peneliti.  Banyak informasi yang bersliweran sampai ke akun-akun media sosial yang kita punya.  Banyak pula yang masuk lewat aplikasi pesan seperti WhatsApp, termasuk melalui WhatsApp Group yang mungkin sekarang jadi alat penyebaran informasi yang utama.  Ketika kita tak tahu kebenarannya, kita bisa menjadi tipe keempat yang mendiamkan saja, tipe kelima yang menanyakan kebenarannya kepada yang lebih tahu, atau mencari kebenarannya sendiri.  Sekarang, dengan telepon pintar yang kita miliki, serta akses internet yang memadai, pilihan untuk mencari tahu kebenaran sebetulnya tidak jauh dari jangkauan.  Tipe peneliti biasanya akan mencari tahu kebenaran lewat penelurusan situs-situs berita dan ilmu pengetahuan terpercaya.  Jelas, tidaklah mungkin informasi yang newsworthy tidak tercantum di situs berita terkemuka.  Jelas pula, situs ilmu pengetahuan yang mumpuni tak akan memuat temuan yang belum melalui peer review.  Kalau diperlukan, mereka akan juga memeriksa artikel dan buku yang ditulis para pakar.  Si Peneliti memanfaatkan itu semua untuk mengetahui kebenaran informasi, untuk dirinya sendiri atau untuk kemudian disebarkan.

 

Di puncak tipologi ada Si Pahlawan Informasi.  Mereka adalah orang-orang yang sadar bahwa hoax sangatlah besar dampak negatifnya.  Hoax dalam bidang apapun—terutama agama, kesehatan, ekonomi dan politik yang sekarang tampak paling dominan—jelas menghambat Indonesia dari kemajuan.  Mereka kemudian tidak mendiamkan hal ini, melainkan memeranginya dengan mencari tahu kebenaran setiap hoax yang bisa mereka deteksi, lalu dengan sengaja menjelaskan kesalahannya dan menyebarluaskan informasi yang sebenarnya.  Ini adalah pekerjaan yang sangat berat, mengingat para pembuat dan penyebar hoax sangatlah banyak jumlahnya.  Tetapi, kita juga tahu bahwa banyak hoax yang bisa dikelompokkan, sehingga tak perlu membuat klarifikasi satu-satu.  Entah ada berita palsu soal masuknya pekerja dari Tiongkok yang jumlahnya diklaim mulai dari sepuluh hinga ratusan juta orang, tetapi klarifikasinya bisa dibuat sekali saja, dengan menampilkan data yang terpercaya.  Itulah yang dilakukan oleh para pahlawan informasi ini.

 

Kita perlu mengucapkan terima kasih yang sangat besar kepada para pahlawan informasi ini.  Itulah yang saya rasakan ketika menyaksikan manifesto perlawanan terhadap hoax.  Namun kita perlu menuntut pihak-pihak lain untuk bekerjasama melawan hoax.  Para pembuat dan penyebar hoax yang menimbulkan kerugian yang besar dan bisa diperhitungkan, perlu untuk mendapat hukuman yang setimpal, sesuai regulasi yang berlaku.  Perusahaan penyedia media sosial perlu diminta pertanggungjawabannya untuk mencegah dan menghapus hoax.  Sementara, kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menyebabkan maraknya hoax juga perlu ditangani. 

 

Bagaimanapun, penanganan di pangkalnya akan lebih ampuh.  Mencegah lebih baik daripada mengobati, kata pepatah.  Saya percaya, itu berlaku juga untuk urusan hoax.  Ramadan ini—dengan ibadah utamanya yang berintikan pengendalian diri—mungkin bisa menjadi momentum yang baik.               

 

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler