x

Iklan

Fajar Anugrah Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pancasila Tak 'Sakti' Lagi

Bangsa Indonesia memiliki ideologi yang sangat hebat, yakni Pancasila.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

            Ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila. Ia menjadi pondasi dasar bangsa dengan keadaan masyarakat yang begitu majemuk. Konsensus bernegara ini tidak lah tanpa makna dibuat. Para pendiri bangsa harus berjuang secara keras guna menyatukan beragam kepentingan yang hadir pra kemerdekaan Indonesia. Sudah menjadi kewajiban penerus bangsa untuk terus merawat falsafah hidup negara ini.

            Tapi kini, Pancasila tak sakti lagi. Beragam faktor menjadi penyebabnya, baik internal maupun eksternal. Mulai dari semakin masifnya ormas-ormas radikal bermunculan. Terpolarisasinya masyarakat dalam politik. Mencuatnya intoleransi beraroma Suku, Agama, Sara, dan Antargolongan (SARA) hingga ideologi baru yang begitu dituhankan dinegeri ini: kapitalisme. Semua faktor itu tengah menimbulkan riak-riak perpecahan di ranah lokal hingga nasional.

            Fenomena teranyar yang mengganggu ideologi negara tentunya mengenai pilkada DKI Jakarta. Bila kita runut ke belakang, pilkada DKI adalah bukti Pancasila sedang diuji. Pilkada yang sudah usai bulan Februari lalu menandai bagaimana keadaan terbelahnya lapisan masyarakat, tidak hanya di Jakarta, namun sampai ke daerah. Elit yang bermain, tampak tidak “sehat” menggaet dukungan masyarakat, karena memainkan isu SARA. Ini mencerminkan, dangkalnya kedewasaan politik para elit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Itu masih satu contoh. Contoh lain, dapat kita lihat dari kasus penistaan Pancasila. Ini bisa kita telusuri dari kasus Zaskia Gotik, Sahat Gurning, Rizieq, yang secara langsung maupun tidak langsung, dianggap menginjak-injak philosofische grondslag bangsa. Mereka berujar dan bersikap tidak mengedepankan etika. Tidak melihat efek domino yang akan ditimbulkan dari perilaku tersebut.

            Keadaan semakin pelik ketika negara dihadapkan dengan timbulnya riak-riak disintigerasi bangsa yang dipicu sikap intoleran antar suku, ras dan agama di daerah-daerah. Papua, Aceh, Sulawesi masih terus diperhadapkan dengan konflik sesama penduduk maupun penduduk dengan aparat. Satu entitas dengan entitas lain mengedepankan kehendak mereka sendiri, tanpa mengedepankan kehendak publik. Yang terjadi, negara semakin ‘goyang’, weltanschauung semakin kabur.

Selain faktor internal di atas, faktor eksternal juga menggoncang ideologi bangsa. Salah satunya kapitalisme. Kapitalisme makin dituhankan di negeri ini. Semua kini tentang materi. Masyarakat tidak lagi menjalankan amanah moral seperti yang diajarkan dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemanusiaan sudah menjadi barang langka. Praktek individualisme menjadi-jadi. Negara sedang dalam kepungan pragmatisme. Kita seolah-olah berdiri di atas kuda yang sama, tapi satu dengan yang lain tak saling kenal. Kolektivitas sudah semakin kering dan tumpul. Bahkan itu terjadi di keluarga, institusi primer pembentuk karakter anak. Inilah bukti betapa kita tak menghargai sejarah. Tak mempelajari dan mengamalkannya.

            Soekarno berkata, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan mempelajari sejarahnya. Pancasila adalah buah pikir pendiri bangsa. Ia memiliki nilai historis yang fundamental. Bila kita lihat sejarah, Soekarno satu hari sebelum tanggal 1 Juni 1945 merenung dan mendapatkan dasar-dasar yang cocok dijadikan landasan berbangsa dan bernegara. Dasar itu diambil dari kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular. Poin kuncinya ialah mampu mengakomodir seluruh kepentingan publik, tanpa ada satupun yang tertinggal. 

        Pada akhirnya, tanggal 1 Juni 1945,   Soekarno dengan berapi-api merumuskan dasar negara. Isinya ialah: pertama, Kebangsaan Indonesia; kedua, Internasionalisme dan Peri-Kemanusiaan; ketiga, Mufakat atau Demokrasi; keempat, Kesejahteraan Sosial; dan kelima, Ketuhanan yang Maha Esa. Kelima butir itu, setelah melalui proses yang begitu panjang, akhirnya menjadi Pancasila seutuhnya seperti yang kita kenal kini.

            Kita seharusnya menyadari jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang diikat oleh Pancasila. Kesepakatan ini harus terus kita jaga. NKRI harga mati, Pancasila pun harga mati. Kalau tidak kita yang melestarikannya, apa jadinya bangsa ini berjalan dengan ideologi masing-masing? Apa jadinya keadaan negeri ini yang telah sama-sama berjuang dulunya untuk lepas dari penjajah? Apakah kita akan menghianati perjuangan para pendiri bangsa?

       Kita bisa berkaca dari keadaan negara lain yang didera konflik berkepanjangan. Satu daerah dengan daerah lain ingin memisahkan diri karena tidak cocok dalam hal ideologi. Lihat saja, bagaimana Suriah yang berbenturan aliran antara Sunni dan Syiah, saat ini dalam masa paceklik pemerintahan. Juga di Somalia, yang tidak memiliki ideologi pengikat yang kuat sehingga melahirkan perang saudara serta menciptakan kekacauan di masyarakatnya.  

Kita tidak mau melihat keadaan Indonesia seperti negara Suriah dan Somalia. Karena itulah, kita tidak mau Indonesia kehilangan Pancasila. Ini adalah warisan luhur pendiri bangsa. Jangan sampai Indonesia nantinya menjadi cerita sejarah yang hilang ditelan masa. Indonesia tidak akan seperti Uni Soviet. Pancasila tak akan pernah menjadi the end of history. Tapi, Pancasila akan menjadi the true ideology in the world bila masyarakatnya menyadari, memahami dan mengaplikasikan nilai Pancasila dalam hidupnya.

Revolusi Pancasila

            Yang terpenting saat ini, negara Indonesia masih kekurangan figur yang mengaplikasikan Pancasila dengan baik dan benar sebagai basis teladan. Untuk itu, di bagian penutup ini, penulis menginginkan pentingnya revolusi Pancasila. Revolusi yang penulis maksud ialah pentingnya pemberlakuan Pancasila tidak hanya sebatas basis filosofis pengikat persatuan. Jauh dari itu, sebagaimana dikatakan Yudi Latif, revolusi ini menghendaki pentingnya kaum mudaintelektual , pemimpin, keluarga dan penegak hukum, menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologis-praksis. Landasan yang memiliki kekuatan riil dalam melakukan perombakan mendasar pada ranah material dan mental. Ini diharapkan menjadi akselerator bagi perwujudan keadilan sosial. Dengan begitu, Pancasila mampu menampakkan kesaktiannya kembali.

Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler