x

Iklan

Liska Fauziah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

24 Tahun Marsinah

Mengingat kembali kisah perjuangan pahlawan buruh Indonesia. Dibunuh saat berusia 24 tahun, namun kini 24 tahun lamanya kasus ini tak kunjung usai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kala itu Marsinah berusia 24 tahun. Sebagai seorang buruh, ia memperjuangkan kesejahteraan para buruh di wilayah Sidoarjo. Nahas ketika perjuanganya untuk menaikan upah disetujui perusahaan, ia malah diculik, disiksa, diperkosa, dan dibunuh. Hingga kini, tepat 24 tahun pasca kejadian tersebut, pemerintah masih belum bisa mengungkap pelakunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika mengingat kembali kisahnya, kasus ini menjadi salahsatu kisah yang menarik perhatian publik selama beberapa tahun. Cerita dan fakta yang muncul seperti drama dalam film yang nyatanya tidak pernah terbukti di pengadilan.

Bermula dari aksi mogok kerja para buruh di perusahaan yang merakit jam tangan yaitu PT. Catur Putra Surya (PT. CPS). Mereka menuntut kenaikan gaji karyawan dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Aksi tersebut dinisiasi oleh Marsinah dan beberapa teman buruh lainnya. Berkat aksinya, perusahaan mengabulkan permintaan para buruh.

Pada tanggal 4 Mei 1993, Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo menangkap 13 orang yang dianggap provokator dan dipaksa mengundurkan diri dari PT. CPS. Marsinah kala itu langsung mendampingi teman-temannya dan memberikan dukungan di Kodim tersebut. Keesokan harinya hingga tanggal 8 Mei 1993 kemudian sosok Marsinah tidak diketahui. Nyatanya ia ditemukan tewas di gubuk petani pinggir hutan Wilangan, Ngajuk dengan kondisi yang mengenaskan.

Pada proses penyelidikan, delapan petinggi PT.CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur penangkapan secara resmi. Mereka baru diketahui setelah 18 hari paska penangkapan. Mereka mendekam di polisi daerah Jawa Timur dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Selama penangkapan, mereka disiksa agar mau mengakui keterlibatanya dalam pembunuhan Marsinah. Akhirnya mereka mendapatkan hukuman empat hingga tujuhbelas tahun penjara. Tetapi pada proses naik banding hingga tingkat kasasi, Mahkamah Agung membebaskan dakwaan mereka.

Putusan tersebut menimbulkan kecurigaan banyak pihak tentang adanya rekayasa kasus. Akhirnya pada akhir tahun 1993 muncul inisiasi dari 10 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KASUM) untuk mengadvokasi dan investigasi kasus pembunuhan Marsinah. Pada tahun 1994, Ketua Komnas HAM mengeluarkan surat perintah untuk membentuk Tim Pencari Fakta.

Pasca pembunuhan dan persidangan kematian Marsinah, pemogokan dan unjuk rasa buruh semakin menjadi. Dalam catatan The Jakarta Post angka pemogokan buruh pada tahun 1994 mencapai lebih dari 1.300 kali. Hal ini menunjukan bahwa para buruh sudah mulai berani memperjuangkan haknya untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak dan kondisi tersebut juga mengancam pemerintahan yang nyatanya belum berlaku adil pada masyarakat.

Pasca Pemerintahan Orde Baru, tuntutan masyarakat sipil dalam penyelesaian kasus Marsinah terus berlangsung diupayakan. Pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid, Komnas HAM melihat ada indikasi keterlibatan tiga anggota militer dan seorang sipil. Kemudian tahun 2000 DNA Marsinah diperiksa ulang di Australia dimana DNA tersebut sama dengan bercak darah Marsinah yang ditemukan dirumah Direktur PT. CPS. Akan tetapi hasilnya berbeda dengan test DNA yang dilakukan Markas Besar Polri.

Selanjutnya, tahun 2002 Komnas HAM memutuskan kembali membuka kasus Marsinah atas persetujuan Presiden Megawati Soekarno Putri. Alasannya karena telah ditemukan bukti-bukti baru. Namun dengan mencuatnya kembali penyelesaian kasus tersebut, pemerintah belum juga mampu menemukan pelaku sebenarnya.

Selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nampaknya tidak ada yang bisa dijelaskan terkait kemajuan dalam perkara tersebut. Sepuluh tahun lamanya tidak terdengar lagi kasus ini mencuat ke publik. Juga tidak terdengar upaya pemerintah dalam menyelesaikan perkara ini. Para pejuang HAM dan lembaga swadaya yang berfokus di pelanggaran HAM terus melakukan aksi setiap tahunnya dan mendesak pemerintah untuk menuntaskan kasus pembunuhan Marsinah.

Mereka menyakini bahwa ada keterlibatan militer dan pengusaha kelas kakap dalam kasus tersebut. Mereka menduga adanya pembiaran kasus yang sengaja dilakukan pemerintah hingga masa kasus tersebut kadaluarsa pada tahun 2013. Namun hingga akhir masa pemerintahannya, SBY tetap saja bergeming dari kasus tersebut. Dugaan kuat muncul bahwa SBY tidak ingin merusak citra militer karena dia tumbuh dan besar dalam dunia militer.

Pada masa kampanye pemilihan Presiden 2014, Joko Widodo (Jokowi) menandatangani 9 Piagam Perjuangan Rakyat didepan ribuan buruh pada 1 Mei 2014 tepat dihari Buruh Internasional. Salahsatunya adalah Piagam Perjuangan Marsinah. Piagam tersebut untuk menunjukan komitmennya dalam memperjuangkan hak para buruh yang dinamakan “Tri Layak”. Isinya menyangkut kerja layak, upah layak, dan hidup layak.

Namun, belum genap setahun Pemerintah Jokowi mempimpin, ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan. PP tersebut memunculkan banyak pertentangan berbagai pihak terutama para buruh, karena dinilai merugikan buruh. Hingga tahun ini PP tersebut belum direvisi ataupun dicabut. Hal ini menunjukan Piagam Perjuangan Marsinah hanyalah kepentingan politik semata.

Seharusnya Presiden Jokowi mewujudkan komitmennya dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Terutama kasus Marsinah yang telah mengundang atensi publik sepanjang tahun sejak tahun 1993. Meskipun kasus tersebut sudah pada masa kadaluarsa, tetapi pelakunya tidak akan mendapatkan efek jera.

Komitmennya sudah jelas tertuang dalam Nawacita 9 agenda prioritas. Diantaranya menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem hukum dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya, menjamin kepastian hukum serta penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.

Dari serangkaian kejadian perkara Marsinah hingga hari ini, rasanya semua tidak akan terlepas dari belenggu perilaku koruptif pemerintah. Pada jaman Orde Baru, semua tahu bahwa perilaku koruptif sudah mengakar diberbagai sektor salahsatunya Aparat Penegak Hukum. Baik kepolisian atau militer kala itu sering diketahui menggunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi. Tugas mereka menjadi penjaga para pengusaha bukannya rakyat biasa seperti Marsinah. Mereka membungkam hak rakyat bahkan membunuh demi menjaga citra diri dan lembaganya.

Pekerjaan rumah yang sampai detik ini belum terselesaikan adalah keterbukaan dan pertanggungjawaban laporan perkara dipenegak hukum. Bagaimana caranya masyarakat bisa memantau berbagai kasus yang mereka hadapi apabila tidak ada laporan yang jelas dari pihak aparat. Reformasi birokrasi yang dilakukan penegak hukum hingga detik ini belum menunjukan hasil. Pelanggaran HAM dimasa lalu hingga masa kini tidak pernah tertuntaskan.

Kasus Marsinah harus terus dikenang hingga ke generasi selanjutnya. Marsinah menjadi pahlawan dalam memperjuangkan kesejahteraan buruh pada masa Orde Baru. Meskipun pemerintah telah melupakan perjuangannya, tetapi masyarakat akan meneruskan perjuangannya.

Peringatan 24 tahun Marsinah, publik menaruh harapan kepada pemerintah untuk memperhatikan kembali perlindungan kaum buruh terutama perempuan. Selain itu semoga pemerintah dapat menuntaskan segala macam perkara pelanggaran HAM agar tidak ada lagi kisah seperti Marsinah.

Ikuti tulisan menarik Liska Fauziah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler