x

Iklan

RETNO LISTYARTI

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Orangtua Tak Mampu Bayar Sekolah, Santri Al Zaytun Disandera

Al Zaytun telah tega menyandera 2 santri karena orangtuanya tidak mampu melunasi uang sekolah keduanya sebesar Rp 43 juta,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Orangtua Tak Mampu Bayar Sekolah, Santri Al Zaytun Disandera Sampai Hari ini

Retno Listyarti

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Siapa yang tak kenal Pondok Pesantren Al Zaytun yang dipimpin oleh Panji Gumilang. Pondok pesantren yang berusia hampir 18 tahun ini memiliki ribuan santri. Sayangnya, lembaga pendidikan yang cukup terpandang ini telah tega melakukan penyanderaan terhadap 2 (dua) santri karena orangtuanya tidak mampu melunasi uang sekolah. Kedua santri tersebut berinisial IF (kelas XII di MA) dan adiknya PR (kelas IX di MTs), total tagihan atas biaya pendidikan keduanya sebesar Rp 43 juta.

 

IF dan PR adalah putra dari PB, kebetulan PB adalah mantan karyawan Al Zaytun yang mengalami pemecatan sepihak oleh manajemen Al-Zaytun. PB mulai kerja di Mahad Al Zaytun dari tahun 2006 dan di PHK sepihak pada Desember 2016 tanpa Surat Peringatan (SP), tanpa dialog, tanpa di beri kesempatan membela diri, tanpa pesangon, bahkan gaji di bulan Desember pun tidak dibayarkan YPI Al Zaytun, padahal mereka masih bekerja selama bulan itu. Bukan hanya PB yang mendapatkan perlakuan sewenang-wenang tersebut, tetapi ada 116 guru yang mengalami PHK sepihak tersebut dalam waktu bersamaan.

 

PB memiliki 3 anak yang bersekolah di Al Zaytun, yaitu IF (18 tahun), PR ((15 tahun) dan RS (13 tahun). Sejak di PHK sepihak oleh Mahad Al Zaytun, PB tidak lagi menerima gaji dan tidak juga di beri pesangon meski sudah mengabdi hampir 11 tahun. Hal inilah yang menyebab PB tidak memiliki kemampuan ekonomi membayar biaya sekolah putra putrinya karena selama ini dipotong dari gajinya sebagai guru.

 

Di Sandera Selama Lebih Dari Sebulan

 

Mulai Mei 2017, seharusnya santri  IF dan PR sudah libur dan dapat berkumpul dengan keluarganya, istilahnya “belajar dimasyarakat”. Namun, ketika santri lain mendapatkan haknya berkumpul dengan keluarga, kedua anak PB  “disandera”, hanya boleh meninggalkan Mahad Al Zaytun jika orangtuanya  sudah membayar lunas tagihan sekolah yag totalnya mencapai Rp 43 juta. PB tidak mampu membayar karena kehilangan pekerjaan akibat PHK sepihak oleh Al Zaytun sendiri.

 

Saat ini, IF yang kelas XII seharusnya setelah Ujian Nasional (UN) sudah diperkenankan pulang ke rumahnya, terhitung mulai 24 April 2017, artinya sudah “disandera” selama 33 hari. Sedangkan PR yang kelas IX seharusnya pasca UN juga sudah diperkenankan pulang 14 Mei, berarti sudah “disandera” selama 13 hari. Namun hingga, 28 Mei 2017  keduanya tidak mendapatkan hak pulang dan menjadi sandera pihak YPI Al Zaytun sampai orangtuanya bisa melunasi seluruh tagihan, padahal orangtuanya tidak memiliki kesanggupan karena di PHK Al Zaytun sendiri.

 

Hingga hari ini (Rabu, 31 Mei 2017) IF dan PR belum dibebaskan oleh pihak Alzaytun, yang sangat mengenas keduanya sudah tidak mendapatkan jatah makan sehingga kedua orangtuanya harus pontang panting mencari uang untuk biaya makan keduanya, kalau tidak maka kedua anaknya akan kelaparan.

 

PR yang berusia 15 tahun adalah anak perempuan yang masih kecil, tapi harus berada sendirian di kamar asrama karena semua temannya sudah mendapatkan izin pulang ke rumah. PR kerap merasa ketakutan terutama di kala malam hari. Sekolah seharusnya menjadi institusi yang memahami psikologi anak dan menghargai hak-hak anak. Institusi pendidikan sejatinya menjunjung tinggi etika dan moral.

 

PB dan istri berupaya mengurus ijin kepulangan anaknya dengan minta kebijakan pengurus Yayasan Al Zaytun, namun ditolak kecuali melunasi seluruh tagihan. Padahal, urusan bayaran sekolah adalah kewajiban orangtua, jadi sangat TIDAK PATUT jika pihak yayasan menahan dan menyandera anak-anaknya karena alasan uang tagihan sekolah. Hal ini jelas melanggar hak-hak anak dan prinsip-prinsip pendidikan itu sendiri. Apalagi ini kan bulan Ramadhan yang seharusnya anak-anak itu bisa menjalankan ibadah puasa bersama orangtuanya tercinta.

 

Sejak mengalami PHK sepihak dan melakukan perjuangan melawan pemecatan yang sewenang-wenang bersama 116 teman guru yang senasib, ternyata pihak YPI Al Zaytun kerap melakukan diskriminasi anak-anak dari para guru dan karyawan tersebut. Mereka mengalami kesulitan menjenguk anak-anaknya. Jika santri lain boleh dijenguk di ruang tamu asrama, maka anak-anak mereka hanya boleh dijenguk di gate kedatangan, itu pun harus melalui proses menunggu selama 2 jam dan hanya boleh ditemui selama 15 menit, itupun di kawal khusus dan selama 15 menit ada petugas keamanan yang berdiri didekat santri dan orangtuanya. Sementara santri-santri lain tidak mendapatkan perlakuan seperti itu.

 

Kementerian Agama RI Seharusnya Dapat Menindak Al Zaytun

 

Diskriminasi dan perlakuan  manajemen Al Zaytun terhadap sebagian santri dapat diduga kuat melanggar pasal 76A (diskriminasi) dan Pasal 80 (Kekerasan) dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.  Jika hal ini tidak ditidak tegas oleh Kemenag RI maka akan menimbulan trauma bagi korban dan sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak.

 

Selain itu, PHK sepihak secara sewenang-wenang terhadap ratusan guru dan karyawan tanpa pesangon yang dilakukan manajemen Al Zaytun adalah pelanggaran terhadap UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jika hal ini tidak ditindak tegas oleh Kemenag RI maka akan menjadi Preseden buruk bagi perlindungan guru swasta di Indonesia.

 

Kementerian Agama RI merupakan instansi pemerintah yang membawahi pendidikan di lingkungan Pondok-pondok pesantren. Kemenang lah yang menjadi penanggungjawab, Pembina dan pengawas pondok pesantren termasuk Al Zaytun. Bahkan ijin pendirianpun hanya diberikan oleh Kemenag RI. Jadi sebenarnya mudah bagi Kemenag RI untuk menindak tegas berbagai pelanggaran  yang dilakukan oleh Al Zaytun, jika terus membangkang, maka Kemenang berwenang mencabut ijin operasional Ponpes Al-Zaytun. Sudah seharusnya negara tegas dan tidak kalah oleh institusi yang melanggar aturan dan tidak mengindahkan peraturan perundangan RI.  Semoga komisi VIII DPR RI dapat mengundang Kemenang RI dan pihak-pihak terkait  untuk rapat dengar pendapat membahas permasalahan YPI Al Zaytun.***

Ikuti tulisan menarik RETNO LISTYARTI lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler