METANOIA PANCASILA
Sebuah persepsi sedang berkembang bahwa keramaian merayakan hari Lahir Pancasila di tahun 2017 merupakan udang di balik batu untuk alasan politik kekuasaan atau elektoral Berbagai bacaan dari perbincangan lapak lapak medsos ramai mensinyalir bahwa ada usaha politisasi Pancasila. Ironis, dasar negara yang harusnya mempersatukan kok malah jadi rebutan dan rentan dipecah belahkan.
Pernyataan seperti "mendadak Pancasilais", atau, "politisasi kepentingan menggunakan Pancasila", kerap terlontar dalam saling silang infromasi bebas yang ada. Bahkan bila tidak hati hati ditafsirkan ucapan seperti, "Pancasila sudah dipolitisasi seolah hanya mereka-saja yang pancasilais", akan sangat mudah menjadi minyak bagi bara yang siap menyala. Akibatnya mau tidak mau terjadi titik titik oposisi biner sebagai siapa yang pancasilais dan siapa yang tidak.
Mari kita merunut ke belakang sejenak, untuk melihat sebetulnya bahwa gagasan merayakan Hari Lahir Pancasila di tahun ini tidak tiba tiba turun dari langit pasca keriuhan politik awal tahun 2017. Kajian untuk menetapkan 1 Juni sebagai hari Nasional yang meliburkan berbagai aktifitas formal dalam masyarakat sudah disiapkan sejak awal pemerintahan terpilih sebagai bagian dari kampanye nilai kebangsaan. Oleh karena itu Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 yang menetapkan bahwa tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila mudah-mudahan tidak dilihat hanya sebagai reaksi atas konteks politik terakhir.
Kalau mau berprasangka baik, penetapan melalui Keppres Jokowi ini sudah memperhatikan berbagai pranata sosial yang ada. Sebagai bagian dari upaya melakukan REVOLUSI MENTAL dalam kewargabangsaan Indonesia yang mendasar adalah kembali kepada komitmen nilai nilai dasar negara Pancasila. Berbagai indikator yang ada menyebabkan negara harus mengambil aksi nyata penyelamatan nilai nilai yang semakin menurun pemahaman dan pengamalannya di tengah masyarakat. Negara tidak bisa diam melihat semakin lunturnya ke"pancasilaan" warganya.
Tendensi melunturnya ketahanan nasional di bidang ideologi kebangsaan adalah sebuah lonceng peringatan dini bagi hancurnya sebuah bangsa. Padahal LEMHANAS yang menyusun indeks Ketahanan Nasional sudah menunjukkan bahwa terjadi pelemahan ketahanan ideologi dan politik dalam kurun waktu pra dan saat penerbitan Keppres 24/2016 yaitu pada tahun 2010-2017. Indeks yang melemah dari skor 2.31 di tahun 2010 menjadi 2.06 di tahun 2016 meliputi aspek aspek toleransi, kesederajatan dalam hukum, kesamaan hak kehidupan sosial dan persatuan bangsa.
Konfirmasi juga dipastikan oleh hasil survei Nilai nilai Kebangsaan yang ditemukan oleh BPS pada tahun 2015. Temuannya adalah dari 100 orang Indonesia, 18 diantaranya tidak tahu judul lagu kebangsaan: 53 persen dari warga negara tidak hafal lirik penuh lagu kebangsaan; 24 persen juga tidak hafal sila dalam Pancasila; 42 persen terbiasa menikmati barang bajakan; dan 55 dari 100 orang tidak pernah ikut kerja bakti. Survei yang pertama kali dilakukan oleh BPS ini sudan tentu menjadi alibi yang kuat mendampingi indikasi yang dilansir Lemhanas akan perlunya keIndonesiaan yang Pancasilais diperkuat ulang.
Perusak nilai nilai Pancasila bisa jadi karena ideologi asing yang bertebaran di ruang terbuka informasi sekarang. Ideologi itu bisa dalam bentuk keyakinan agama, ekonomi, sosial dan bahkan budaya yang menimbulkan fobi sebagai nir-Indonesia. Namun sejatinya perusak utama adalah perilaku dari tidak sedikit dari kita yang melecehkan sila sila Pancasila dalam kehidupan bersama. Pejabat publik, pimpinan masyarakat dan agama, politisi, ekonom, pebisnis, guru dan semua profesi hampir pernah terlibat dalam pelecehan Pancasila secara sadar maupun tidak.
Kelima sila yang harusnya menjadi Logos yang sakral untuk dilakukan dalam tanggungjawab bersama dengan mudah ditinggal tanggalkan untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Akibat nyatanya adalah para pengikut, murid, asuhan, mahasiswa, bawahan dan kontituen dengan mudah pula mereplikasi teladan buruk aplikasi Pancasila yang semakin memperbesar sampah ideologi keIndonesiaa. Sedikit demi sedikit namun pasti Indonesia dirusak oleh manusia Indonesia yang hanya mengaku Pancasila di bibir namun menertawakan dan mencibirnya di hati dan perilaku.
Ketika Indonesia sedang dirusak, maka kesadaran akan Pancasila adalah upaya cerdas mengembalikan ideologi ini sebagai logos yang hidup di setiap pribadi, kelompok dan lembaga yang mengaku Indonesia. Ketika setiap dari kita bisa berkata bahwa, "Saya Indonesia, Saya Pancasila”, maka saat itu juga terpatri dalam sanubari kita kemauan menolak ideologi aneh yang merusak. Dengan ujaran yang sama hadir juga ketetapan hati yang berkata dan berniat untuk menjadikan Logos Pancasila sebagai dorongan kuat berkarya baik dalam ruang ruang publik berkebangsaaan dan berwarganegara.
Dari Logos yang benar dan berkeyakinan itulah pekan Pancasila kali ini dapat kembali menjadikan lahir barunya (reborn) etos dan mitos nilai nilai kebangsaan yang kontekstual. Mitos Pancasila sebagai keyakinan yang merangkul semua sebagai gagasan inklusif para bapa bangsa harus bisa diinjeksi ulang kedalam semua sanubari. Etos yang makin memudar karena menuju pada kehancuran bangsa harus diputarbalikan menjadi pertobatan pertobatan baru anak anak bangsa kepada cita cita luhur spritiualitas kebangsaan awal.
Ketika Pancasila makin memudar, makin juga dirundung masalah, bahkan makin dilecehkan maka Indonesia memerlukan "metanoia" baru melahirkan ikhtiar cerdas bagi masa depan nilai kebersamaan kita. Sudah saatnya pada Hari Lahir Pancasila yang pertama kali diformalkan tahun ini Pancasila kembali dihormati, disayangi dan dikaryabaktikan. Biarlah Logos, Mitos dan Etos Pancasila bisa dikumandangkan dengan indah dari panggung kenegaraan, dari meja diskusi rakyat, dari mimbar mimbar Masjid, Gereja, Pura, Vihara, dan tak kalah pentingnya dari tulisan tulisan kita di medsos, hanya dan untuk KeIndonesiaan yang kita miliki bersama.
Kita cinta Pancasila, Kita Indonesia, Kita Pancasila
Victor Rembeth
1 Juni 2017
di atas langit kepulauan nusa kecil Indonesia Raya
Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.