x

Iklan

Nurul Firmansyah

Advokat dan Peneliti Socio-Legal. https://nurulfirmansyah.wordpress.com/
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nagari, antara Cita dan Realita

Nagari merupakan Negara kecil (Dorps republic) dalam definisi Ter Haar yang mempunyai atribut-atribut mirip dengan Negara...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh

Nurul Firmansyah

(Konsultan dan Peneliti Hukum) 

Nagari merupakan Negara kecil (Dorps republic) dalam definisi Ter Haar yang mempunyai atribut-atribut mirip dengan Negara, seperti; memiliki wilayah (ulayat), memiliki penduduk (masyarakat hukum adat), memiliki hukum (hukum adat) dan pemerintahan (adat). Entitas nagari ini memungkinkan nagari mengurus dirinya sendiri sebagai entitas alamiah yang bukan lahir dari pembentukan negara.

Dalam proses pembentukannya, Nagari adalah sistem sosial yang otonom, seperti ciri-ciri khas yang terdapat pada masyarakat bersuku (tribal society) demi kepentingan survival dan pelestarian nilai-nilai. Ikatan nagari dengan alam Minangkabau (wilayah kebudayaan Minangkabau) adalah ikatan totemis dan kosmologis yang mengikat menjadi kesatuan emosional-spiritual.

Makanya, orang Minangkabau secara sadar membedakan antara kesatuan territorial-konsanguinal dalam bentuk nagari-nagari dengan kesatuan totemis-kosmologis sebagai Minangkabau (Naim, 1990 dalam zetra, 2005). Dalam konsep nagari yang penting adalah hubungan kedalam yaitu adanya suku, adat dan asal usul, sedangkan kedua, adalah hubungan keluar berupa bangsa dan budaya (Zetra, 2005).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Relasi Negara-Nagari

Tidak bisa disangkal bahwa kehadiran Negara modern mereduksi kedaulatan masyarakat hukum adat, termasuk nagari. Kondisi ini oleh Moore (1983) disebut dengan semi-autonomous social field, yang oleh Kurniawarman (2007) merupakan konsekuensi dari komitmen kebangsaan Negara bangsa, termasuk Negara kesatuan Republik Indonesia, sehingga masyarakat hukum adat tidak lagi sepenuhnya otonom. Nagari-nagari sadar akan kondisi tersebut, sehingga otonomi nagari dalam kerangka Negara Kesatuan tidak dalam konteks “lepas” dari Indonesia.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara luas itu tentu menjadi kewajaran tentang situasi semi-autonom masyarakat hukum adat. Namun, menjadi masalah ketika Negara justru menjadi ancaman terhadap masyarakat hukum adat sehingga melahirkan persaingan yang tidak seimbang. Persaingan tersebut paling banyak terjadi dalam masalah agraria (Pengelolaan Sumber Daya Alam). 

Soal agraria ini bahkan menjadi ‘momok’ menakutkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Akar masalah agraria tersebut berasal dari “pengakuan bersyarat” atas hukum dan hak ulayat masyarakat hukum adat oleh negara. Pengakuan bersyarat itu mengandung kecurigaan Negara atas hak ulayat dan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Kerangka berpikir ini seolah-olah memposisikan masyarakat hukum adat bukan bagian dari negara. 

Cara pandang tersebut berakibat pada pembatasan—yang kadangkala tidak rasional—hak masyarakat hukum adat dan hukum adatnya oleh hukum nasional. Pembatasan-pembatasan hukumpun terjadi yang mengakibatkan ketidakpastian hak ulayat masyarakat hukum adat dalam berbagai sektor sumber daya alam.

Penguatan Nagari di Era Reformasi

Era reformasi melahirkan Desentralisasi sebagai sintesis dari sistem pemerintahan sentralistik – otoriterian Orde Baru. Desentralisasi sistem pemerintahan membuka penyumbat hak-hak masyarakat hukum adat yang ditandai dengan perubahan-perubahan Undang-Undang terkait hak-hak masyarakat hukum adat, diantaranya adalah Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Desa.  

Provinsi Sumatera Barat adalah daerah yang paling banyak memanfaatkan momentum desentralisasi pemerintahan (otonomi daerah) untuk penguatan masyarakat hukum adat, yaitu dimulai sejak  pengundangan Perda Provinsi Sumatera Barat No. 9/2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari (Perda 9/2000) sebagaimana diganti dengan Perda Sumatera Barat No. 2/2007 (kemudian disebut Perda Nagari).

Perda Nagari adalah regulasi daerah yang berupaya menata ulang sistem nagari setelah hampir 32 tahun terpasung dengan sistem pemerintahan desa di masa Orde baru atau disebut dengan : “Baliak Ka Nagari.”Perda nagari membentuk pemerintahan nasional terendah di Sumatera barat sekaligus bertemu dengan struktur asli masyarakat hukum adat Minangkabau. 

Dalam hal ini, struktur adat bertemu dengan struktur nasional. Selain itu, Perda Nagari juga mencoba memperkuat hak-hak tradisional nagari, salah satunya pengakuan hak ulayat. Secara lebih konkrit, Perda Nagari menempatkan tanah ulayat sebagai kekayaan nagari yang pengaturannya dijabarkan lebih lanjut dalam Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (Perda tanah ulayat).

Dua perda tersebut mempunyai peran penting untuk penguatan nagari dalam sistem hukum nasional. Nagari dengan hak-hak tradisionalnya dipertemukan dengan sistem modern Negara. Perda nagari telah berhasil mendorong pemerintahan kabupaten untuk menerapkan sistem nagari dengan perda-perda kabupatennya, namun sayang; tidak begitu halnya dengan perda tanah ulayat, walaupun sebenarnya dua perda ini penting untuk membangun nagari sebagai subjek dan tanah ulayatnya sebagai objek dan hak ulayat sebagai hubungan-hubungan hukumnya dalam kerangka hak.

Demikianlah, upaya penguatan nagari mesti diletakkan ke dalam kerangka negara kesatuan yang mesti diiringi oleh dua hal, yaitu ; pertama, memperkuat penguasaan nagari terhadap sumber daya alam melalui pengakuan nagari sebagai desa adat (dan atau masyarakat hukum adat) dengan melaksanakan revisi Perda Nagari berdasarkan UU Desa baru.

Kedua, Pemerintah Dearah Kabupaten/kota melaksanakan perlindungan hak ulayat nagari dan juga memulihkan kembali hak ulayat pada tanah-tanah bekas konsesi (HPH dan HGU) ke nagari seperti yang telah dirumuskan dalam Perda Tanah Ulayat; 

Ketiga, memperkuat hukum adat dalam kehidupan sosial di nagari melalui penguatan penyelesaian sengketa adat (peradilan adat) terutama untuk penyelesaian sengketa tanah adat dalam internal nagari.

Tanpa ketiga hal diatas, “semangat Baliak ka Nagari” atau penguatan nagari hanya sebatas cita “retoris” saja yang selalu disampaikan fungsionaris negara di berbagai “upacara” dibandingkan cita yang mesti diraih oleh kita semua.

 

Ikuti tulisan menarik Nurul Firmansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler