x

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kekeliruan Penggunaan Istilah Persekusi

Kata “persekusi” diartikan “pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah atau ditumpas.” Ngeri amat…

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekarang kata persekusi menjadi terkenal. Katanya, gambaran tindakan persekusi itu adalah orang ramai-ramai mendatangi seseorang, lalu seseorang itu diintimidasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Dengan gambaran perbuatan semacam itu, jika korbannya adalah orang dewasa maka pelakunya bisa terkena pasal 336 KUHP atau Pasal 170 KUHP jika terjadi pengeroyokan tindakan kekerasan fisik. Jadi, kayaknya pasal 336 KUHP dan pasal 170 KUHP bisa disebut sebagai pasal persekusi. Apa sudah benar pemakaian istilah persekusi itu?

Jika tindak kekerasan itu korbannya anak, digunakanlah UU Perlindungan anak, yakni pidana kekerasan kepada anak Pasal 76 C jo Pasal 80 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 sebagai perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya penjara maksimum 3 tahun 6 bulan dan / atau denda maksimum Rp 72 juta apabila tidak sampai luka berat. Apa tindak pidana demikian juga bisa disebut kejahatan persekusi?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pihak yang ramai disorot sebagai pelaku persekusi oleh berita dan para aktivis pembela HAM adalah FPI yang selama ini sebagai langganan berita kekerasan. Coba bandingkan dengan peristiwa amuk massa di Distrik Padang Bulan, Jayapura di mana Kapolresta Jayapura dan ajudannya dianiaya mengalami luka bacok dan benda tumpul. Peristiwa amuk massa itu akibat informasi dilakukannya pembakaran Kitab Injil yang diduga dilakukan anggota TNI pada saat TNI melakukan pembersihan sampah.

Apa itu persekusi? Cobalah buka Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa yang disusun Departemen (sekarang Kementerian) Pendidikan Nasional, kata “persekusi” diartikan “pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah atau ditumpas.” Ngeri amat….

Sedangkan definisi hukumnya dapat dilihat di Statuta Roma dimana persekusi itu termasuk crime against humanity (kejahatan kemanusiaan).  Pasal 7 angka 1 huruf h Statuta Roma menentukan: “Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or other grounds that are universally recognized as impermissible under international law, in connection with any act referred to in this paragraph or any crime within the jurisdiction of the Court. Silahkan terjemahkan sendiri. Ngeri to artinya?

Ayolah, jangan membodoh-bodohi masyarakat dengan istilah yang terlalu horor itu! Carilah istilah yang pas. Jangan terlalu gaya menggunakan istilah yang berlebihan. Nanti kalau ada suporter bola mengeroyok wasit di lapangan akankah kau sebut para suporter itu sebagai persekutor? Jangan maknai istilah persekusi Itu dengan makna hoax. Mungkin istilah yang lebih mendekati kenyataan dalam peristiwa itu adalah pengeroyokan.

Jika melakukan kekeliruan penggunaan istilah negatif yang diterapkan dalam penyebaran informasi, apakah perbuatan demikian bisa digugat? 

Hak Pasal 23 (2) VS Hak Pasal 29 (1)

Pengerahan banyak orang yang dilakukan oleh orang-orang FPI dan warga muslim lainnya yang terjadi di Solok dan Cipinang terjadi karena ada “tantangan” yang dilakukan oleh dokter perempuan umur 40 tahun dan anak remaja umur 15 tahun yang diduga menghina Habib Rizieq lewat media sosial. Di negara liberal biasa terjadi orang-orang berpendidikan yang tanpa perasaan tatakrama melontarkan pendapat yang bersifat merendahkan martabat orang. Kalau di negara Pancasila seharusnya perkataan-perkataan tidak senonoh itu tidak terjadi.

Kalangan liberal mengatakan bahwa apa yang mereka tulis adalah sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Oke, katakanlah hak itu termuat di Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM). Tapi bukankah setiap orang juga berhak atas perlindungan harga diri (martabat) dan kehormatannya sebagaimana ditentukan Pasal 29 ayat (1) UU HAM? Apakah boleh kebebasan berpendapat dipakai untuk merendahkan martabat seseorang?

Kalau Anda menuduh orang lain berzina, maka apakah Anda punya alat bukti sebagaimana kreteria alat bukti menurut hukum acara atau apakah sudah ada putusan pengadilan yang memutuskan bahwa si tertuduh memang berzina? Seandainya pun Anda punya alat bukti berupa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tentang orang yang berzina, apakah boleh hal demikian diumumkan di media sosial, padahal sidang pengadilan perkara kesusilaan pun tertutup? Apa kebanggaan bagi Anda menyebarkan aib urusan pribadi orang? Mungkin Anda penggemar acara-acara gosip artis yang suka membeber aib orang itu ya? Jadi, pelaksanaan hak ngomong bebas tidak dalam makna bebas ngomong liar tanpa batasan. Dalam negara sosialisme Pancasila, hak dibatasi oleh kewajiban. Dari segi filsafat, tak ada sesuatu yang absolut, termasuk hak.

Sebaliknya, tindakan pengeroyokan oleh orang-orang muslim terhadap orang-orang yang diduga menghina Habib Rizieq ataupun dalam bentuk lain seperti dugaan tindakan menghina agama (membakar Kitab Injil) seperti yang diduga terjadi di Jayapura itu, tentu tidak boleh dilakukan. Itu disebut sebagai main hakim sendiri.

Tindakan main hakim sendiri tak hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok orang yang saya sebutkan di atas, tetapi terkadang juga terjadi dilakukan oleh aparat keamanan itu sendiri. Tanpa ada perintah pengadilan ada pengosongan paksa yang dilakukan oleh aparat Kepolisian terhadap Waduk Sakti Sepat di Surabaya ataupun yang pernah terjadi terhadap lahan sengketa di Malangsari Banyuwangi serta di lain-lain tempat. Termasuk penggusuran-penggusuran kepada pemukiman penduduk yang sah tanpa ijin pengadilan, justru itulah yang merupakan kejahatan kemanusiaan berupa pengusiran penduduk secara paksa dari tempat tinggalnya yang sah yang itu bukan Anda sebut sebagai persekusi.

Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan di luar FPI tersebut kiranya kurang nikmat dan kurang seksi bagi media massa dan kalangan terpelajar untuk mempersoalkan, sehingga seolah-olah FPI adalah satu-satunya organisasi yang fasis. Dalam tulisan berjudul “FPI Adalah Wajah Kita” di Indonesiana ini saya contohkan banyaknya kekerasan amuk massa yang terjadi sejak awal reformasi yang dilakukan oleh warga masyarakat pendukung tokoh-tokoh dan partai-partai politik.

Pilih Damai Terpaksa, Atau Dipenjara?

Sekarang ramailah media massa dan para pendekar HAM serta kaum liberal yang mengutuk-ngutuk FPI yang katanya melakukan tindakan persekusi, sebuah istilah yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Mereka mengatakan bahwa seharusnya jika ada tindakan yang diduga menghina Habib Rizieq maka jangan direaksi dengan persekusi, tapi dilaporkan ke Kepolisian.

Iya, pendapat mereka para pendekar HAM itu benar. Saya setuju. Tapi mungkin mereka kurang mendalami segala konsekuensinya. Sebenarnya FPI dan para warga pendukungnya menempuh cara agar pelaku penghinaan kepada Habib Rizieq didatangi ramai-ramai agar mau meminta maaf secara tertulis, diberikan peringatan, dan jika yang bersangkutan bersedia maka kasusnya selesai sampai di situ. Katakanlah mungkin itu perdamaian yang dipaksakan. Tapi kalau sampai terjadi pemukulan, itu tentu keterlaluan dan pelakunya juga harus dihukum.

Lalu bagaimana jika kasus-kasus penghinaan itu dilaporkan ke Kepolisian? Nanti akan ada seorang wanita yang meringkuk di dalam penjara beberapa bulan atau sekian tahun terjerat oleh UU ITE gara-gara tulisan di medsosnya yang bersifat merendahkan martabat orang. Nanti akan ada anak remaja umur 12 tahun ke atas yang apabila upaya diversi gagal mencapai kesepakatan dengan korban maka si anak remaja itu akan bisa masuk bui. Lalu para pendekar HAM juga akan marah-marah, “Itu pelanggaran HAM! Kenapa hak atas kebebasan berpendapat kok dikriminalisasi!”

Coba kembalikan kepada dirimu sendiri, jika Anda atau ibu Anda yang direndahkan orang dengan kata-kata, apakah kamu akan diam saja?” Jika iya, mungkin Anda mempersamakan orang lain dengan diri Anda, yakni tak perlu membela martabat. Padahal orang lain berhak membela martabat mereka.

Mungkin saja ini akan menjadi taktik FPI berikutnya. Jika upaya-upaya permintaan pernyataan maaf dipandang sebagai persekusi oleh kepolisian serta para pendekar HAM, maka FPI akan melaporkan setiap pernyataan di medsos yang menghina kalangan mereka atau menghina agama Islam, akan dipidanakan saja, meskipun pelakunya perempuan dan anak-anak remaja. 

Tapi memang benar bahwa kegaduhan di negara ini pada akhir-akhir ini terjadi karena orang tidak mampu menjaga lisannya dengan baik dan banyak orang yang suka menghina orang lain di medsos. Semoga penyakit demikian terlokalisir tidak menular kian meluas. Apa yang dilakukan oleh FPI dan para pendukungnya dalam membuat ribut para terduga penghinaan itu mungkin memang salah. Tapi itu bisa menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak gampang melontarkan ujaran kebencian dengan merendahkan dan menghina serta memfitnah orang.

Tapi jika hal demikian tidak menjadi pelajaran dan tetap banyak ujaran fitnah, kadangkala orang yang terbakar kemarahan karena merasa direndahkan, mereka sudah tak peduli lagi dengan penjara.

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler