x

Petugas melakukan sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional di RS Fatmawati, Jakarta (01/01). Mulai 1 Januari 2014, pemerintah meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), JKN merupakan program jaminan kesehatan yang akan diterapkan secara nasi

Iklan

FX Wikan Indrarto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kendali Biaya Jaminan Kesehatan Nasional ~ FX Wikan Indrarto

Koreksi defisit direncanakan juga meliputi tindakan pencegahan menunggak iuran tapi tetap mendapatkan keuntungan dari program JKN.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

FX. Wikan Indrarto*

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dimulai 1 Januari 2014, ditargetkan dapat menjangkau segenap warga negara Indonesia (universal couverage) pada tahun 2019, dengan 257,5 juta warga menjadi peserta BPJS Kesehatan. Untuk mencapai kesinambungan operasional JKN, salah satu unsur terpenting adalah ketersediaan anggaran. Agar anggaran memadai, tentu tambahan pendanaan harus dioptimalkan dan pengeluaran biaya harus dikendalikan, tanpa mengorbankan mutu layanan. Apa saja yang seharusnya kita kendalikan?

 

Dalam aspek finansial, Sekretaris Jenderal Kemenkes Dr. Untung Suseno Sutarjo, MKes di Jakarta Senin 26 September 2016 mengatakan bahwa defisit BPJS Kesehatan ditaksir telah mencapai Rp 6,7 triliun. Defisit keuangan ini meningkat dari tahun 2014 yang baru Rp 3,3 triliun dan tahun 2015 meningkat menjadi Rp 6 triliun. Untuk menjaga kesinambungan program JKN, maka perlu mengoptimalkan kolektabiltas iuran, perbaikan manajemen sistem pembayaran kepada fasilitas kesehatan, dan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel. Selain itu, Staf Ahli Menkes Bidang Ekonomi Kesehatan dr. Donald Pardede, MPPM mengusulkan untuk menggandeng pemerintah daerah dalam mengatasi defisit dengan mempercepat pertumbuhan jumlah peserta BPJS. Juga Prof. DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Dirut BPJS Kesehatan mengusulkan penerbitkan Peraturan Presiden untuk Pengendalian Defisit BPJS Kesehatan, dengan pengendalian pemanfaatan layanan kesehatan, dan pembagian peran pembiayaan antara pemerintah pusat dan daerah.

 

Koreksi defisit direncanakan juga meliputi tindakan pencegahan ‘moral hazard’ yang dilakukan sekelompok orang peserta mandiri, yang ingin mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan program JKN, dengan menunggak iuran. Menurut Dr. Maya Amiarny Rusady, Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan, pada  31 Desember 2015 tingkat kolektabilitas iuran yang paling rendah adalah dari para Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri, yaitu hanya sebanyak 61.5%. Oleh sebab itu, peningkatkan penerimaan dari pembayaran iuran yang menunggak dan pengendalian pengeluaran, harus dilakukan. Prosedur penghentian sementara status eligibilitas peserta yang menunggak iuran, bahkan penambahan denda iuran yang terlambat, sudah dilakukan dengan baik. Tindakan pencegahan untuk kejadian ini adalah dengan meningkatkan kesadaran peserta tentang prinsip asuransi, yaitu tetap harus membayar iuran rutin pada saat sehat, yang berguna tidak hanya untuk perlindungan risiko saat kelak sakit, tetapi juga membantu sesama peserta yang saat ini sedang sakit.

 

Strategi pengendalian biaya yang utama adalah penerapan manajeman pembayaran. Manajemen pembayaran klaim di FKTP adalah dengan Pembayaran Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan (KBK) yang dilaksanakan di semua Ibukota Provinsi pada tahun 2016, pada seluruh FKTP, kecuali DTPK (Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan) pada tahun 2017. Penerapan KBK pada FKTP menggunakan 4 indikator, yaitu rasio kunjungan rumah, angka kontak komunikasi, kunjungan prolanis dan rujukan non spesialistik. Pada 31 Desember 2015, 73,6% biaya kapitasi telah diterima oleh Puskesmas dengan jumlah kasus yang dirujuk ke RS sebanyak 11,9 juta. Diagnosa terbanyak yang dirujuk ke RS adalah Hipertensi Esensial, Asthma unspecified, Impacted Cerumen, dan Bronchitis, dengan kasus rujukan yang Non Spesialistik mencapai 1,54 juta kasus.

 

Pengendalian pembayaran juga dilakukan dengan pengembangan manajemen e-claim dengan aplikasi Vedika (Verifikasi Di Kantor). Tujuan Vedika adalah untuk deteksi dini kecurangan klaim (fraud), menyederhanakan proses klaim, dan mempercepat pembayaran klaim kepada Faskes, bukan hanya di RS tetapi di seluruh Faskes termasuk di FKTP untuk prosedur non kapitasi. Vedika akan dilaksanakan secara bertahap dan diharapkan pada Desember 2017 seluruh RS telah menjalankan Vedika.

 

Total Biaya Pelayanan Kesehatan Rujukan di RS pada 31 Desember 2015 sebesar Rp. 45.47 Triliun terdiri dari, biaya rawat jalan Rp. 13.6 Triliun dan biaya rawat inap Rp. 31.85 Triliun. Biaya Pelayanan Rujukan paling banyak digunakan untuk 23.90% pelayanan katastropik dan 10.50 % penyakit kronis, yang keduanya sebenarnya tidak meningkatkan produktivitas peserta, dengan 8 % penyakit infeksi dan 7,14% pelayanan kehamilan maupun persalinan. Berdasarkan data utilisasi manfaat rujukan pada 31 Desember 2015, 3 besar diagnosis terbanyak rawat jalan di RS adalah penyakit kronis kecil, prosedur dialisis dan juga  prosedur therapi fisik pada muskuloskletal atau fisioterapi. Data 3 besar diagnosis terbanyak rawat inap di RS adalah operasi pembedahan caesar ringan, nyeri abdomen & gastroenteritis lain-lain dan persalinan vaginal ringan. Oleh sebab itu, strategi pengendalian biaya dapat dilakukan dengan penerapan sistem rujukan berjenjang dan rujuk balik dengan lebih ketat. Saat ini baru 34,05% dari 1,18 Juta peserta dengan diagnosa rujuk balik yang telah mengikuti Program  Rujuk Balik. Kesulitan yang masih terjadi dan harus segera diatasi berupa ketersediaan obat di apotek yang rendah, FKTP yang belum siap, dan kriteria pasien stabil di setiap RS yang berbeda. Pada hal, program rujuk balik mempermudah penderita penyakit kronis mengakses pelayanan kesehatan dan diharapkan dapat memperbaiki mutu layanan RS, dengan berkurangnya antrian peserta penyakit kronis yang stabil.

 

Selain itu, strategi pengendalian biaya juga dapat berupa perbaikan kontrol kehamilan (ANC) agar meningkatkan persalinan normal, pelayanan persalinan normal cukup di FKTP, dan menurunkan kejadian pembedahan caesar. Selain itu, diperlukan audit medis menyeluruh dan koreksinya, terkait prosedur hemodialisis yang non vital, fisioterapi yang subyektif, dan pembedahan caesar ringan yang sebenarnya dapat diantisipasi. Juga peningkatan rujuk balik ke FKTP, untuk kasus penyakit kronis yang sudah stabil.

 

Untuk mencapai kesinambungan operasional JKN, penambahan anggaran dilakukan dengan peningkatan kesadaran peserta mandiri tentang prinsip asuransi, yaitu tetap harus membayar iuran rutin pada saat sehat, dan pembagian peran pembiayaan antara pemerintah pusat dengan daerah. Selain itu, kendali biaya harus dilakukan dengan pengendalian pemanfaatan layanan kesehatan dan penerapan manajeman pembayaran. Apakah kita sudah ikut serta  melakukannya?

 

Sekian

 

Yogyakarta, 3 Juni 2017

 

* ) dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, anggota Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya JKN DIY

Ikuti tulisan menarik FX Wikan Indrarto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler