x

Iklan

Fadh Ahmad Arifan

Alumnus MI Khadijah kota Malang
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Semisal Hizbut Tahrir Dibubarkan

Masuk ke dalam HTI tidak serta merta kita mendapat kartu tanda anggota seperti di Persyarikatan Muhammadiyah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PP Muhammadiyah gelar pengakajian romadhon 1438 H di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pengkajian kali ini mengulas 3 gerakan keagamaan. Ikhwanul muslimin, ISIS dan HTI. Prof. Dr. Syamsul Arifin, Selasa 6 Juni 2017 diberi kesempatan presentasi tentang Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kata pria berdarah Madura ini, HTI masuk ke Indonesia tahun 1980an. Pada era 1980an masih belum berani untuk mengibarkan bendera organisasi. Dalam konteks kota kelahiran saya, tahun 1980an pertama kali muncul di IKIP negeri Malang.

Setelah Orde baru runtuh, demokrasi beri peluang gerakan keagamaan baru. Sebenarnya HTI diuntungkan dengan bergulirnya iklim demokrasi. Meski berkali kali mengkritik demokrasi sebagai sistem kufur seperti yang tertera di buku Syeikh Abdul qaddim zallum.

Mengapa kemudian berkembang pesat terutama punya basis di kampus? Kadernya militan juga. Jawabnya karena HTI merancang gerakan perjuangannya berdasar thariqah dan uslub. Uslub itu taktik. Thariqah itu metode baku. Uslub sifatnya kondisional. Di banyak negara HT menerapkan taktik yang berbeda. HTI masih merangkak di dua tahapan/marhalah yang mereka rencanakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masuk ke dalam HTI tidak serta merta kita mendapat kartu tanda anggota seperti di Persyarikatan Muhammadiyah. Ada baiat dan prosedur cukup panjang. Pengkaderan lewat halaqah 3-6 orang. Musyrif memantau pemikiran dan tingkah laku tiap anggotanya. Musyrif HTI juga bertindak sebagai teman dan tempat curhat para anggota. Tak heran ikatan mereka kuat bagai keluarga sendiri.

Di internal HTI, anggota wajib membaca 3 buku karangan Taqiyuddin an-Nabhani. At-Takattul hizby, Nidhomul islam dan mafahim Hizbut tahrir. Berkat pengkaderan seperti ini, mereka memiliki kader yang loyal dan pemikiran yang seragam. Karena seragam, maka cukup sulit menemukan varian pemikiran keagamaan seperti yang terjadi di Muhammadiyah maupun NU. Mereka dengan percaya diri menyebarkan buletin jumat di masjid-masjid Muhammadiyah dan mengadakan seminar, training remaja hingga bakti sosial di Pedesaan.

Masih menurut Prof Dr. Syamsul Arifin,"Karena sistem politik di Indonesia dianggap kufur. Mereka takkan gunakan hak politiknya termasuk mencoblos di perhelatan Pilkada, pileg dan pilpres". Terkait isu yang hangat diperbincangkan dua bulan belakangan, Pembubaran HTI tidak mudah dilakukan oleh pak Wiranto. Masih ada proses pembinaan. "Semisal HTI dibubarkan, saya profesor yang ahli dibidang apa? Kan meneliti HTI". Kelakar Prof Syamsul Arifn.

Ikuti tulisan menarik Fadh Ahmad Arifan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler