x

Iklan

Rachman Wellmina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Puasa dan Kesadaran Berbagi

Agama & Budaya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbagi, acapkali diasosiasikan dengan makanan, minuman dan sederet hal-hal material lainnya. Dalam bulan suci Ramadhan seperti saat ini, kita cukup mudah menemui banyaknya orang-orang dermawan yang membagikan makanan dan minuman dalam bentuk takjil atau buka bersama. Dan kita bersyukur, betapa masih banyak orang-orang pemurah di negeri ini. Ketika saya dulu masih kuliah, dan tidak punya cukup uang buat membeli makan, saya merasa terselamatkan dengan kedermawanan orang-orang pemurah di Ibu Kota Jawa Tengah, yang sering berbagi dalam acara buka bersama di Masjid. Momen tersebut, menjadi anak tangga kejiwaan saya hingga kini. Setiap menjalani Ramadhan, kenangan itu akan senantiasa hadir bagi saya, yang merasa terselamatkan dengan kesadaran berbagi dari orang-orang yang saya tak pernah mengenal mereka. Dan, mereka juga takkan pernah mengenal saya. Saya hanya bisa menitipkan doa pada angin malam kepada mereka. Agar kebaikan mereka dibalas secara berlipat oleh Dia yang Maha Bijak.

 

Namun, apakah hanya orang berpunya yang dapat berbagi kepada sesama ? Apakah orang-orang papa dan tak berpunya tak kuasa berbagi ? Dan jika kita, orang-orang, tak berpunya ingin berbagi, apa yang bisa kita bagikan ? Menjalani beberapa kali Ramadhan di Ibukota membuat saya memperhatikan hal-hal khusus yang terjadi di jalanan selama Bulan Ramadhan. Yakni, meningkatnya semangat ngebut dan saling serobot di jalanan, terutama pada saat menjelang maghrib. Dalam perjalanan pulang kerja, Ramadhan tahun lalu 2016, setidaknya 3-5 kali saya melihat orang terjatuh dari sepeda motornya. Dan kejadian ini, hampir tak pernah saya lihat di bulan-bulan lainnya. Kita mungkin bisa berkata, yah nasib, takdir, apes, dan sebagainya. Namun agaknya, menurut saya, (dan semoga ini tidak benar), karena hampir semua orang ingin berpacu dengan waktu supaya segera sampai ke rumah, dapat berbuka bersama keluarga. Karena bukankah maghrib menjadi saat favorit dan idola selama bulan suci ini. Hal ini membuat semua orang ingin mendahulukan dirinya saat berkendara di jalanan. tak peduli bagaimana dengan orang lain, yang juga memiliki tujuan yang sama dengan kita.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Maka berbagi, yang bisa kita jalankan dalam konteks bulan suci ini, bagi orang-orang yang terbiasa berkendara menjelang waktu berbuka, ialah dengan berbagi jalanan. Tak perlu memaksa menyerobot jalan orang lain. Alangkah anehnya, jika kita kehilangan kesabaran di detik-detik terakhir menjelang berbuka. Padahal seharian kita telah belajar menahan diri sepenuh hati. Bukankah salah satu tujuan yang ingin dicapai dari madrasah ruhaniah puasa ialah agar kita memiliki semangat berbagi kepada sesama makhluk ? agar kita memiliki kesadaran akan kehadiran orang lain dalam hidup kita. SUngguh menjadi ironis jika kita tekun berlapar-dahaga dalam puasa, namun tak mau berbagi untuk sekedar membagi jalan, yang bahkan kita tak pernah turut membangunnya dengan tangan kita (meskipun mungkin ada uang pajak yang kita setorkan ke negara). Seorang cendekiawan tanah air pernah berujar, salah satu ciri orang beriman ialah, mereka tertib saat di jalanan.

 

Seorang teman pernah bercerita, di sebuah negara muslim di Timur Tengah, tingkat kecelakaan lalu lintas di bulan suci, dan terutama pada saat menjelang berbuka, justru meningkat. Hal ini tentu membuat kita bertanya, adakah korelasi puasa dan pengendalian diri, dalam hal kehidupan bersama. Adakah "askari sujud" atau bekas nilai-nilai puasa dalam keseharian kita. Semisal spirit berbagi di jalan raya ? Seorang teman lainnya, yang baru pulang dari Tokyo bercerita bagaimana ketertiban orang-orang saat dilanda kemacetan disana. Dia bercerita bahwa tidak ada saling serobot jalanan orang, sebagaimana yang biasa kita saksikan disini. Sependek yang saya tahu, banyak orang Jepang yang tidak "beragama", setidaknya demikian informasi yang saya dapat dari interaksi dengan orang-orang Jepang selama ini. Shinto bukan keyakinan yang diwajibkan. Hanya sebagian saja yang meyakininya, yang mayoritas disana, "agama" nya ialah Kerja.

 

Maka saya jadi bertanya pada diri sendiri, mengapa "agama" bumi mampu men trigger umatnya untuk memiliki kesadaran berbagi sedemikian tinggi. Dan mengnapa lingkuangan sekitar saya berbicara hal lain, dalam konteks berbagi di jalan raya. Apakah ada ketidaktepatan dalam memaknai ajaran suci ini. Ataukah kita terlalu meremehkan hal-hal kecil yang sebenarnya berampak sangat besar bagi kelangsungan kehidupan bersama yang nyaman. Dan mengapa puasa yang diajlani secara kolosal di negeri ini, juga tak mampu menerbitkan kesadaran berbagi. Aku tak jua menemukan jawab akan hal ini. Namun aku teringat dengan kata-kata teman Jepang yang pernah berujar, Indonesia seharusnya dapat lebih baik dan lebih maju dari Jepang. Dia berkata sungguh-sungguh. Dan aku sempat bingung, kemudian saat aku tanyakan alasan dia berkata demikian, beliau berkata, karena kalian orang Indonesia memiliki Tuhan, sedangkan kami tidak. Aku terdiam, dan merasa sangat tertohok dengan pernyataannya tentang Tuhan. Dengan lirih aku mengingat judul fiksi Leo Tolstoy, Tuhan tahu, tapi Dia menunggu. Dia menunggu kesadaran berbagi terbit dari setiap kita. Karena Dia telah memberikan dan menunjukkan sarana untuk menerbitkan kesadaran berbagi tersebut. Maka sejauhmana puasa kali ini, mampu menerbitkan kesadaran berbagi diantara kita ?

 

Rachman-Wellmina

Penikmat Filsafat Islam

Ketua Komunitas Epistemis “Percikan” Jakarta

Ikuti tulisan menarik Rachman Wellmina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler