x

Iklan

Nurul Firmansyah

Advokat dan Peneliti Socio-Legal. https://nurulfirmansyah.wordpress.com/
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Masyarakat Adat dan Konflik Agraria

Keberadaan masyarakat adat identik dengan konflik agraria (tanah dan sumber daya alam). Bila dicermati, konflik agraria tersebut terkait dengan hak ulayat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keberadaan masyarakat adat identik dengan konflik agraria (tanah dan sumber daya alam). Bila dicermati, konflik agraria tersebut terkait dengan hak ulayat, yang setidaknya terbagi atas dua tipologi konflik, yakni konflik yang bersifat horizontal, dan konflik yang bersifat vertikal. Pada tipologi pertama adalah konflik hak ulayat dalam internal masyarakat adat dan konflik antar komunitas masyarakat adat, seperti konflik-konflik tanah kaum (tanah komunal) di Sumatera Barat dan konflik batas wilayah adat antar masyarakat adat.

Sedangkan pada tipologi kedua berhubungan dengan konflik yang melibatkan masyarakat adat dengan negara (pemerintah) dan atau pemilik modal, seperti; konflik masyarakat adat dengan otoritas kehutanan di kawasan hutan, konflik masyarakat adat dengan pemilik konsesi perkebunan skala besar kelapa sawit. Konflik dengan tipologi vertikal ini melibatkan peran aktif negara dan pemilik modal dengan masyarakat adat.

Akar Konflik

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konflik-konflik tanah dan sumber daya alam terkait dengan hak ulayat (konflik hak ulayat) berhubungan dengan kekuatan dari luar komunitas masyarakat adat. Kekuatan tersebut bersifat struktural yang menekan otonomi masyarakat adat dalam menyelesaikan konflik internal serta mengancam keberadaan hak ulayat itu sendiri (Afrizal, 2009).Dalam konteks ini, konflik horizontal hak ulayat berhubungan erat dengan konflik vertical yang bersifat struktural.

Kekuatan struktural yang menekan tersebut muncul dalam bentuk penerapan hukum formil (baca; hukum negara) secara represif terhadap masyarakat adat dan adanya pengabaian atas perlindungan hak ulayat. Dalam praktik, hal ini bisa ditemukan dalam kasus penunjukan kawasan hutan negara secara sepihak dan kasus klaim tanah negara atas tanah ulayat.

Dua kasus tersebut paling banyak merampas hak ulayat masyarakat adat. Areal – areal yang telah dikusai Negara tersebut kemudian diberikan kepada pemilik konsesi-konsesi industi ekstraktif sumber daya alam, akibatnya konflik tanah dan sumber daya alam membara hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Konflik juga memiliki efek samping berupa dampak sosial yang ditimbulkan yaitu makin melemahnya daya paksa norma-norma adat dalam mengatur lalu lintas pengelolaan sumber daya alam di internal masyarakat adat. Artinya, konflik hak ulayat sebenarnya adalah konflik hukum antara hukum negara dengan hukum adat. Konflik hukum ini mempengaruhi keteraturan sosial masyarakat adat yang notabene adalah mayoritas populasi Indonesia.

Politik Hukum Agraria

Konflik hukum dalam konteks hak ulayat tidak bisa dilepaskan dari adanya perbedaan paradigma pengelolaan sumber daya alam antara hukum negara dengan hukum adat. Pada sisi hukum negara menganut sifat penguasaan individual, formal dan menitikbertakan pada sisi ekonomi, sedangkan pada sisi hukum adat bersifat komunal, informal dan bukan hanya bersisi ekonomi, namun juga kultural.

Paradigma hukum adat ini belum sepenuhnya diakomodasi oleh hukum Negara. Akibatnya, terdapat jurang hukum (Legal Gap) antara hukum dengan kenyataan sosial kemasyarakatan. Jurang hukum ini mengakibatkan hak ulayat tersingkirkan dalam kerangka hukum Negara yang nasional dan melahirkan ketidakpastian hukum dari arti substantif.

Jurang hukum ini berakar dalam inti politik hukum (political legal concept) agraria kita. Hal ini bisa dilihat dalam UU Pokok Agraria yang merupakan undang-undang payung yang mempersyaratkan pengakuan hak ulayat. Persyaratan hukum tersebut berupa pembatasan berlakunya hak ulayat sepanjang tidak bertentangan dengan “kepentingan nasional.”

Memisahkan pemberlakukan hak ulayat dari kepentingan nasional nyata-nyata hal yang tidak logis, sebab kepentingan-kepentingan masyarakat adat seutuhnya bagian dari kepentingan nasional, karena memang masyarakat adat adalah bagian tidak terpisahkan dari negara. Pemisahan tersebut melahirkan semacam stigma negatif bagi keberadaan hak ulayat dan masyarakat adat itu sendiri.

Secara normatif juga tidak ada batasan yang jelas tentang kepentingan nasional. Akibatnya melahirkan penafsiran beragam oleh pelaksana hukum (rezim pemerintah) dalam pelaksanaannya, misalnya yang terjadi pada masa rezim orde baru. Rezim orde baru telah menggunakan dalil kepentingan nasional untuk menggusur masyarakat adat demi kepentingan proyek pembangunan maupun konsesi industri ektraktif sumber daya alam.

Sampai saat ini, penggunaan penafsiran kepentingan nasional masih berlangsung. Penafsiran kepentingan nasional telah dimanipulasi sedemikian rupa dalam kerangka kepentingan rezim-rezim berkuasa. Adapun motif utama kepentingan rezim – rezim tersebut adalah kepentingan pertumbuhan ekonomi berbasis lahan dan modal.

Kepentingan pertumbuhan ekonomi berbasis lahan dan modal menimbulkan perampasan tanah-tanah ulayat (Land Grabbing) masyarakat adat yang dilegitimasi oleh hukum masih terus berlangsung. Sampai saat ini, kecenderungan pola tersebut tidak banyak berubah, walaupun telah ada perubahan hukum seperti pengakuan hutan adat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.35 tahun 2012.

Perubahan hukum tersebut belum sepenuhnya maksimal mengatasi ketimpangan agraria, apalagi mengubah paradigma pembangunan ekonomi berbasis lahan dan modal menjadi ekonomi kerakyatan. Hal ini bisa terlihat secara gamblang dari indikator penguasaan tanah/lahan saja, dimana lahan yang dikuasai oleh pemilik izin-izin konsesi seluas lebih kurang 178 Juta hektar, sedangkan pengakuan atas hutan adat terhadap 9 komunitas adat masih seluas 13.100 hektar.

Akhir kata, masyarakat adat dan hak ulayatnya masih pada posisi marjinal. Kondisi ini melahirkan keniscayaan bahwa konflik-konflik hak ulayat, baik vertikal maupun horizontal akan masih tetap berlangsung. Persoalan konflik hak ulayat belum sepenuhnya terpecahkan karena akar konflik yang bersifat struktural tersebut belum juga berubah. 

Ikuti tulisan menarik Nurul Firmansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler