x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menemukan Diri di Hari-hari dan di Malam-malam Ramadhan

Di hari-hari berpuasa dan di malam-malam Ramadhan ini, agenda tunggal kami, tiada lain tiada bukan kecuali mendamba Ridha Allah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya, dan mungkin juga termasuk Anda, sering lebih sibuk ingin menemukan dan mengenali diri orang lain. Tapi nyaris tak peduli untuk menemukan dan mengenali diri kita sendiri.

Sering kita menyalahkan diri sendiri, dengan berpatokan kepada diri orang lain. Sering pula kita bangga dengan diri sendiri, juga dengan mengacu pada diri orang lain.

Padahal, siapapun yang mengenali dirinya sendiri, umumnya akan cenderung bisa mengenali diri orang lain. Namun mengenali diri orang lain tidak lantas mengantar kita untuk mengenali diri sendiri. Ada sebuah ungkapan sufis yang terkenal, “siapapun yang telah mengenali dirinya sendiri, berarti dia telah mengenal Tuhan-nya”, yang sebenarnya mengacu pada sebuah ayat Quran yang mengatakan, “Dan pada dirimu, maka lihatlah”. Ternyata jalan pintas untuk mengenal Tuhan adalah lewat mengenali diri sendiri.

Dan upaya mengenali diri sendiri merupakan momen kontemplasi tentang diri sendiri, yang cenderung lebih fokus dan serius mempreteli kelemahan-kelemahan diri sendiri, satu per satu, lalu mencoba mencari cara memperbaikinya. Dan mestinya, upaya atau proses mengenali diri sendiri tidak terbatas untuk bulan puasa saja. Meski harus diakui bahwa Ramadhan menyediakan momen-momen yang lebih mengundang khusyu’.

Contoh: saya sering mengklaim diri sebagai seorang pembaca yang serius, dan kadang memposisikan diri – seringkali dengan angkuh – mengklaim diri sebagai the best, atau one of the best. Tapi setiap saat pula saya menemukan kekurangan dan kelemahan saya, setiap kali membaca postingan pendek teman, atau artikel orang lain, atau ceramah dan buku-buku karya orang lain. Dan akhirnya saya malu sendiri. Ternyata saya ini belum ada apa-apanya.

Saya termasuk orang yang tidak enteng memuji kehebatan orang lain, dengan asumsi bahwa saya juga memiliki kapasitas untuk meraih kehebatan orang lain, minimal bisa menyamainya. Nyatanya, banyak kehebatan dan keunggulan orang lain yang tidak bisa saya raih.

Mungkin karena memiliki latar belakang pendidikan agama, punya kemampuan membaca literatur keagamaan dari sumber aslinya, dan sempat berguru langsung kepada beberapa tokoh dan ulama modern yang sering dijadikan rujukan, akhirnya saya sering memposisikan diri lebih banyak tahu tentang agama, hukum dan sejarah keagamaan. Akibatnya saya sering menganggap orang lain bodoh dan tidak tahu apa-apa, ketika berdebat atau menyikapi setiap persoalan keagamaan atau persoalan umum yang dikaitkan dengan hukum keagamaan. Nyatanya, pandangan pribadi sering lebih sarat kepentingan yang sangat subyektif.

Secermat-cermatnya seorang Muslim menjaga dan memelihara laku puasanya di bulan Ramadhan, dia tidak akan pernah bisa memastikan bahwa puasanya lebih berterima di sisi Allah, dibanding laku puasa orang lain.

Seikhlas-ikhlasnya seorang Muslim menunaikan ibadah qiyamullail (shalat malam berupa tarwihan dan tahajjud di bulan Ramadhan),  dia tidak akan pernah dapat memastikan bahwa qiyamullail-nya lebih layak diterima oleh Allah dibanding qiyamullail orang lain.

Melakoni puasa, menunaikan qiyamullail, bersedekah-berinfak, menyediakan ta’jil puasa bagi orang lain, menahan amarah, menghentikan dengki-hasad, semuanya adalah semata hanya momentum “perlombaan” menuju dan meraih ridha Allah. Dan kecil kemungkinan meraih ridha Allah jika laku ibadah itu dilakukan dengan sebersit perasaan angkuh dan sombong.

Saya sering lupa bahwa ridha Tuhan itu tidak terikat dengan usia seseoang, jabatan seseorang, status sosial seseorang, tidak juga ditentukan oleh ilmu dan pengalaman amal seseorang.

Fenomena kehidupan tentang tua-muda, besar-kecil, kaya-gembel, atasan-bawahan, berilmu-tidak berilmu, meski secara kasat mata bisa dibedakan, tetapi pada pada akhirnya, kita semua adalah hamba, kita hanya sekedar makhluk (baca: yang diciptakan). Dan Tuhan tidak pernah pilih kasih, Tuhan tidak akan pernah tebang pilih, terhadap semua hambanya atau makhluknya.

Dan kita semua berharap, di hari-hari berpuasa ini, di malam-malam Ramadhan ini, kita senantiasa terdorong untuk lebih berupaya mengenali diri sendiri, sebelum sibuk mengurusi orang lain, dengan agenda tunggal, tiada lain dan tiada bukan kecuali meraih Ridha Allah semata.

Ridhaka Ya Rabb (Ridha-Mu ya Allah, yang kami dambakan).

Syarifuddin Abdullah | 07 Juni 2017 /  12 Ramadhan 1438H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler