x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ikhtiar Memahami (Ayat) Semesta

Sanggupkah sains modern menjelaskan sepenuhnya misteri alam semesta?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Kisah tentang beberapa anak muda yang bersembunyi di gua Kahfi itu, seperti tercantum dalam ayat “Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi),” memang selalu mengundang tanya. Bagaimana mungkin mereka ada di sana selama itu, dan keluar dari dalam gua untuk menemukan hewan bawaan mereka telah menjadi tulang-belulang. Dan mereka? Masih sehat dan utuh tubuh dan jiwanya.

Sebagian orang berhenti pada jawab bahwa itulah bukti kemahakuasaan Tuhan. Sebagian yang lain berikhtiar memahaminya, hingga ada yang sampai pada penafsiran dengan memanfaatkan teori relativitas khusus. Surah Al-Kafi ayat ke-18 itu menyinggung perbedaan waktu yang dirasakan oleh para pemuda di dalam gua dengan waktu yang berjalan di luar gua. Mereka merasa baru sehari atau malah kurang berada di dalam gua, sementara tulang-belulang hewan itu menunjukkan bahwa mereka telah melewati masa bertahun-tahun, bahkan tigaratus tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam peristiwa itu terkesan ada dilasi atau pemoloran waktu, yang merupakan salah satu implikasi dari teori relativitas khusus. Tapi tepatkah memakai teori ini untuk memahami peristiwa itu? Tidak tepat, menurut Agus Purwanto dalam bukunya, Ayat-ayat Semesta, karena ada elemen atau faktor yang tidak dipenuhi jika fenomena itu dikaitkan dengan teori relativitas khusus, yakni gerak relatif. Pemuda yang berada di dalam gua tidak bergerak relatif terhadap orang-orang di luar gua. Untuk memahami ayat-ayat ini, menurut Purwanto, perlu penyelidikan lebih lanjut terhadap banyak aspek, termasuk aspek fisik atau biologis.

Peristiwa di gua Kahfi ini salah satu contoh ayat kauniyah (ayat yang melukiskan fenomena alam) yang coba dipahami oleh Purwanto dengan perspektif pengetahuan modern (sains kealaman). Dalam Al-Quran bertebaran ayat-ayat kauniyah. Syaikh Jauhari Thantawi, guru besar Universitas Kairo, dalam tafsirnya Al-Jawahir, menyebutkan, dalam Al-Quran terdapat lebih dari 750 ayat kauniyah, ayat tentang alam semesta, dan hanya sekitar 150 ayat fikih. Anehnya, para ulama telah menulis ribuan kitab fikih, tapi nyaris tidak memerhatikan serta menulis kitab tentang alam raya dan isinya. Mereka berdebat tentang persoalan fikih, tapi kurang perhatian terhadap fenomena terbitnya matahari dan kelap-kelipnya bintang.

Keprihatinan ini yang mendorong Agus, seorang ahli fisika teoretis, untuk mengkaji lebih jauh ayat-ayat kauniyah. Mula-mula ia memilah ayat-ayat yang memuat istilah atau kata seperti air, api, batu, bulan, bumi, langit, matahari, zarah, dan seterusnya. Hasilnya adalah 1.108 ayat, angka yang berbeda secara signifikan dari yang disebut Syaikh Thanthawi. Selanjutnya, ia memilah ayat-ayat tersebut mana yang merupakan ”ayat kauniyah” dan menuntun pada konstruksi ilmu kealaman, dan mana yang bukan. Melalui pemilahan berikutnya, didapat 800 ayat, yang kemudian diklasifikai berdasarkan subjek dan berdasarkan surah.

Tidak semua ayat kauniyah ini diulas secara panjang-lebar oleh penulis. Hanya sebagian ayat saja dan dikelompokkan dalam bagian astronomi, relativitas dan kosmologi, mekanika kuantum, dan transendensi. Pilihan terhadap ayat-ayat yang terkait dengan kelompok-kelompok tersebut memang tak bisa dilepaskan dari latar belakang penulis yang ahli dalam fisika teoretis. Ayat-ayat yang beraroma ilmu hayati atau kimiawi kurang memperoleh kupasan. Kekayaan telaah ini akan kian terasa apabila, misalnya, ada bahasan tentang ayat 56 surah Al-Hud: ”Sesungguhnya aku betawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binantang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.”

Betapapun demikian, upaya penulis untuk membuat klasifikasi ayat kauniyah berdasarkan subyek dan berdasarkan surah patut dipuji, sebab ini amat membantu kita untuk dengan relatif mudah dan cepat menelusuri ayat-ayat kauniyah itu. Pilihan atas ayat-ayat yang berbau fisika-astronomi itu niscaya bisa diperkaya oleh mereka yang berlatar belakang ilmu hayati atau kimia, dan mempunyai minat untuk melakukan pengkajian serupa.

Apakah ini berarti Bucaillisme telah menemukan penerusnya? Rasanya tidak persis seperti itu, kecuali bahwa Agus Purwanto, seperti halnya Maurice Bucaille, menaruh perhatian besar pada ayat-ayat kauniyah yang ia sebut, seperti tertera pada judulnya, sebagai ”Sisi-sisi Al-Quran yang Terlupakan.” Dalam karyanya ini, Agus Purwanto tidak melakukan apa yang terkesan pada Bucaille sebagai usaha menemukan kesesuaian ayat-ayat kauniyah itu dengan pengetahuan modern, dalam hal ini sains alam.

Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj yang dikupas dalam bab Dunia Lain, penulis mencoba mencari penjelasan dengan memakai teori relativitas khusus. Alih-alih menyatakan bahwa peristiwa luar biasa itu ”sesuai” dengan teori temuan Albert Einstein tersebut, Agus malah menyebutkan bahwa teori ini tidak memadai untuk menjelaskan peristiwa Isra’ Mi’raj karena tiga alasan. Pertama, jika teori itu berlaku untuk peristiwa Isra’ Mi’raj, berarti perjalanan Nabi Saw hanya sebatas ruhnya. Kedua, perjalanan dengan kecepatan cahaya hanya mampu mencapai jarak terjauh Planet Neptunus. Menurut Purwanto, sangat mustahil bahwa Sidratul Munthaha dan tempat Nabi Saw. Berdialog dengan Tuhan terjadi di dana. Ketiga, andai Nabi Saw. benar begerak dengan kecepatan mendekati cahaya, tubuh Nabi akan ”meledak” sesuai dengan hasil relativitas khusus.

Karena teori relativitas khusus tidak memadai, Purwanto mencoba mencari penjelasan dengan ruang-waktu yang melengkung, juga dirumuskan oleh Einstein. Kesimpulan Purwanto, teori ini juga tidak memadai, dan karena itu diperlukan penjelasan lain. Seperti apa? Ia tidak menjelaskan, namun ia menyebutkan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj memberi pesan bagi eksistensi dimensi yang lebih tinggi dari dimensi ruang material kita.

Agus Purwanto memang tidak memberi jawaban tuntas atas pertanyaan yang ia ajukan terhadap ayat kauniyah yang dibahasnya. Ia bahkan lebih kerap mengajak pembaca untuk menelaah lebih jauh. Ia menghindari jebakan bahwa ayat-ayat Al-Quran itu ilmiah karena ”sesuai” dengan sains modern. Namun, dengan bersikap kritis terhadap ketidakmemadaian sains modern sebagai alat untuk membantu memahami ayat kauniyah itu, seperti terhadap peristiwa Isra’ Mi’raj, secara tidak langsung ia telah menyatakan posisinya bahwa kebenaran Al-Quran itu mutlak, dan kebenaran sains itu relatif, belum final. Namun, di sisi lain, bila konsep atau teori dalam sains itu ”cocok” atau ”memadai” untuk memahami ayat tertentu, muncullah kesan bahwa Al-Quran benar secara ilmiah. Posisi ini berisiko, sebab apabila ”kebenaran” yang didapat ilmu pengetahuan saat ini terbantah di kemudian hari, apakah ini berarti kebenaran ayat tersebut akan batal? (Sumber foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler