x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membidik Emosi, Titik Lemah Konsumen

Manajemen perusahaan kerap memandang peran emosi secara berbeda dalam memandang konsumen dan pekerja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Wooww, desain dan warnanya keren!” Komentar inilah yang biasa muncul pertama kali ketika Anda melihat sebuah produk sepeda gunung. Dalam beberapa detik yang amat singkat, Anda terpesona oleh penampilan sepeda itu. Baru kemudian Anda mencari tahu seluk beluk produk tersebut: material yang dipakai, ukuran roda, unsur keamanan dan kenyamanan, pilihan warna, serta harga dan ketersediaan suku cadang.

Emosi merespons kurang dari tiga detik terhadap rangsangan luar. Emosi merespons lebih cepat dari pikiran. “Emosi memproses rangsangan inderawi dari luar hanya seperlima dari waktu yang diperlukan otak kognitif yang sadar untuk berasimilasi dengan rangsangan yang sama,” tulis Dan Hill dalam buku Emotionomics: Leveraging Emotions for Business Success. “Alih-alih pemikiran kognitif, emosi berpengaruh lebih dalam terhadap tindakan kita, menciptakan impresi yang sukar dihapus, dan menimbulkan kecondongan pada diri kita untuk melakukan tindakan serupa di masa mendatang.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudah sangat lama emosi diabaikan dikarenakan ‘kalah’ oleh rasionalitas. Padahal kita hidup bukan hanya berpikir, tapi sekaligus merasa melalui mata (warna), rasa (makanan), ataupun telinga (musik). Bahkan, dari sudut konsumen, seringkali faktor kesukaan—desain dan warna mobil, misalnya—kerap menjadi penentu yang lebih penting dalam pengambilan keputusan dibandingkan dengan pertimbangan mengenai spesifikasi mobil. Suka atau tidak suka, hal itu biasanya lebih dilandasi oleh emosi—“Pokoknya, saya sudah seneng banget sama sepeda ini.” Nasihat rasional lantas dikesampingkan.

Penekanan pada rasionalitas itu lazimnya tidak berlaku dalam hal ‘memancing emosi konsumen’ [dalam hal harga, konsumen mudah terkecoh oleh harga perpindahan, misalnya harga Rp 99 ribu menimbulkan pengaruh berbeda dibandingkan harga Rp 100 ribu, padahal beda tipis]. Pengembang merek suatu produk atau jasa paham benar kekuatan emosi, bahkan sejak lama. Sebab itulah, pengembang merek mengkapitalisasi ‘emosi’ konsumen dengan menciptakan iklan-iklan emosional yang dirancang untuk langsung menembus jantung pertahanan konsumen agar goyah, untuk kemudian tergoda membeli produk atau memakai jasa.

Pemahaman mengenai hal itu pula yang dipakai produsen dan pemasar rokok. Ketika regulasi tidak mengizinkan penayangan orang merokok di media televisi, mereka membuat iklan tentang kehidupan ‘orang-orang sukses’ untuk mengesankan bahwa rokok bagian dari gaya hidup orang sukses. Impresi ini dilekatkan dalam waktu singkat dengan sasaran emosi penonton televisi. Dalam iklan lain, iklan ‘emosional’ dirancang untuk memancing rasa empati, kepedulian, maupun kesenangan dan kebahagiaan. Pengetahuan mengenai produk dan jasa yang ditawarkan disajikan belakangan.

Di ranah yang berbeda, emosi justru sering dikesampingkan. Di tempat-tempat kerja, faktor emosi kurang memperoleh tempat. Emosi kita tekan seolah-olah penghalang yang merintangi kemajuan. Betapa bidang manajemen telah lama memerlakukan pekerja seolah-olah manusia yang tidak memiliki emosi. Seluruh pekerja diasumsikan sepenuhnya rasional.

Asumsi tersebut memang membuat analisis mengenai perilaku di tempat kerja jadi lebih sederhana. Tapi, di sisi lain, asumsi ini menciptakan penilaian situasi yang tidak realistis dan tidak akurat, sebab mengabaikan unsur emosi dalam diri pekerja. Kita tak bisa menampik kenyataan bahwa pekerja membawa serta unsur emosi ke dalam pekerjaan, setiap hari. Juga tidak ada pembahasan perilaku organisasi yang dapat komprehensif atau akurat tanpa mempertimbangkan peran emosi dalam perilaku di tempat kerja. Ketika seorang paman meninggal dunia, Anda tidak akan memperoleh izin untuk melayat, sebab ia bukan ayah kandung Anda, sekalipun umpamanya beberapa tahun Anda pernah tinggal di rumah paman. Ikatan emosional Anda dan paman diabaikan.

Mengapa kajian-kajian manajemen selama ini cenderung mengecilkan emosi? Diskusi mengenai emotionomics umumnya menyebut dua penjelasan. Pertama, adanya mitos rasionalitas di balik manajemen-ilmiah yang merancang organisasi secara spesifik dengan obyektif mengendalikan emosi. Perasaan marah, kesal, takut, frustrasi yang dialami karyawan, bahkan para manajer dan direksi sekali pun, harus dilepaskan dari organisasi.

Kedua, keyakinan bahwa emosi itu mengacau. Persepsi ini muncul karena pembahasannya terfokus pada emosi negatif, terutama marah. Karyawan yang marah akan turun kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Tapi, jarang sekali emosi dipandang sebagai konstruktif atau mampu menstimulasi perilaku yang meningkatkan kinerja. Misalnya, karyawan akan bersemangat bila ditempatkan di bidang yang ia sukai atau jadi passion-nya.

Manajer kerap tidak mau tahu apakah seorang karyawan menyukai pekerjaannya atau tidak. Jebloskan saja. Padahal, orang-orang yang sangat termotivasi dalam pekerjaan adalah orang-orang yang berkomitmen secara emosional. Jika seorang karyawan ditugaskan untuk menangani pekerjaan yang ia sukai, ia akan tenggelam secara emosional dalam pekerjaan itu, dan kemungkinan ia akan lebih produktif. Muatan emosional memengaruhi secara signifikan upaya yang dicurahkan karyawan.

Konflik di tempat kerja adalah contoh lain di mana emosi diyakini akan muncul ke permukaan. Seorang karyawan mungkin menolak suatu penugasan, tapi bukan karena ketidakadilan dalam pembagian pekerjaan, melainkan karena manajer yang memberi tugas jauh lebih muda darinya. Manajer yang mengabaikan unsur-unsur emosional dalam konflik, yang fokus semata-mata kepada yang rasional dan tugas, tidak mungkin akan sangat efektif dalam menyelesaikan konflik-konflik tersebut.

Nilai penting emosi di dunia bisnis—di tempat kerja maupun di pasar—ditopang oleh perkembangan ilmu pengetahuan mengenai otak (brain science). Dalam risetnya yang didanai pemerintah AS, Paul MacLean menemukan bahwa manusia mempunyai otak tiga-bagian yang kompleksitasnya berkembang secara berurutan berdasarkan waktu. Yang berkembang paling awal adalah otak yang mendukung kemampuan inderawi kita, misalnya penciuman. Menyusul kemudian bagian limbic system yang merupakan pusat emosi kita. Limbic system juga menjadi penghubung bagian inderawi dengan bagian otak yang terakhir berkembang, otak rasional.

Apa implikasi dari penemuan itu? Yang pertama, seperti disampaikan ilmuwan saraf (neuroscientist) terkemuka, Joseph LeDoux, otak inderawi dan emosional, berusia lebih tua, mendominasi proses pengambilan-keputusan manusia. Emosi itu sentral, bukan marjinal, sebab, menurut LeDoux, emosi menggerakkan nalar lebih daripada sebaliknya. Kita hampir tidak serasional seperti yang kita bayangkan.

Implikasi kedua, kita jauh lebih menyerupai nenek moyang kita dari zaman purba ketimbang menyerupai pelanggan dan pekerja canggih yang kita sangkakan. Warisan neuro-biologis kita mempunyai makna bahwa emosi menikmati keunggulan pre-emptive (bergerak lebih dulu), sebagai first mover, dalam setiap proses pengambilan keputusan. Aroma pandangan evolusioner amat tercium di sini: otak yang asali diperkirakan berusia 500 juta tahun, limbic system berumur 200 juta tahun, dan neocortex yang rasional 100.000 tahun.

Para pendukung emotionomics, karena itu, menyimpulkan bahwa proses pengambilan-keputusan manusia berlangsung sangat cepat, emosional, dan bawah-sadar; dalam satu kata: intuitif. Pikiran yang sadar hanya merupakan bagian kecil dari aktivitas mental. Dalam komunikasi pemasaran, pesan-pesan rasional saja menjadi tidak seefektif yang emosional. Konsumen merasakan lebih dulu sebelum mereka berpikir, dan perasaan berlangsung cepat. Begitu seorang konsumen bertemu dengan sebuah iklan, “gotcha!” karena kepentingan dan relevansi tidak bisa menunggu sampai ia selesai melihat iklan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB