x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kota Bogor Menuju Krisis Ekologi

Krisis ekologi di Kota Bogor diawali dengan lepasnya kendali ruang kota dari tangan pemerintahnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak orang menyebut Kota Bogor sebagai Kota Hujan. Karena sebutan sebagai Kota Hujan itulah segera terbayang taman-taman yang menghiasai kota tersebut. Sederetan pohon rindang yang membuat udara sejuk di perkotaan. Jika itu yang ada di benak Anda, dapat dipastikan Anda termasuk manusia produk jadul alias jaman dulu.

Pohon rindang dan taman luas di kota Bogor mungkin hanya bisa ditemui di areal Kebun Raya Bogor. Dan Kebun Raya Bogor adalah sebagian kecil wilayah Kota Hujan ini. Cobalah berjalan terus menelusuri jalan-jalan di Kota Bogor. Bukan sederetan pohon rindang yang akan Anda temui namun sederetan iklan-iklan perumahan baru di Kota Bogor.

Alih fungsi lahan di Kota Bogor untuk perumahan bukan lagi menjadi sebuah rahasia. Daerah pertanian yang bisa menopang kedaulatan pangan warga kini telah berubah menjadi perumahan-perumahan dengan harga yang selangit. Menurut data di Dinas Pertanian Kota Bogor, lahan pertanian pangan di wilayah Kota Bogor tercatat  seluas 900 hektar (tahun 2009), kini tersisa hanya sekitar 200 hektar saja. Sementara 700 hektar lahan pertanian lainnya telah berubah fungsi menjadi perumahan dan pusat-pusat bisnis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Serbuan pembangunan kawasan komersial baru dan perumahan di Kota Bogor juga mengakibatkan kota ini diambang krisis ekologis. Hingga kini, Kota Bogor baru memiliki Ruang Terbuka Hijau sebesar 2,7 persen merupakan RTH publik dan RTH privat 36,84 persen. Padahal berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, minimal 30 persen dari wilayah kota harus berwujud ruang terbuka hijau, dengan komposisi 10 persen RTH privat, dan 20 persen RTH publik dari total luas wilayah Kota Bogor.

Minimnya RTH publik, salah satu indikasi bahwa Pemkot Bogor tidak memiliki kendali sepenuhnya terhadap ruang kotanya. Dalam hal ini ruang terbuka hijau. Kedali ada di tangan privat. Siapa privat itu? Ya segelintir orang yang memiliki uang.

Teruskan perjalanan menuju jalan Sholeh Iskandar, Kota Bogor. Di daerah itu, saat artikel ini ditulis sedang dibangun jalan tol lingkar luar Bogor. Pembangunan itu katanya untuk mengatasai kemacetan. Benarkah? Tidak. Justru pembangunan jalan tol akan menambah kemacetan lalu lintas yang luar biasa di Kota Bogor. Pembanguan jalan raya baru, dimanapun itu, adalah upaya untuk memfasilitasi pergerakan kendaraan bermotor pribadi untuk melintas di atasnya, bukan transportasi massal. Artinya, setelah jalan tol itu selesai dibangun, arus lalu lintas justru akan semakin macet, karena pertambahan penggunaan kendaraan bermotor pribadi. 

Kemacetan lalu lintas akan bertambah seiring dengan kawasan komersial baru yang dibangkitkan setelah sebuah jalan tol dibangun. Di kawasan Jalan Sholeh Iskandar, Kota Bogor, tepatnya di sekitar pertigaan Yasmin misalnya, kini tengah dibangun mall baru. Milik siapa mall tersebut? Yang jelas milik konglomerat. Lantas apa artinya pembangunan mall baru di kawasan Sholeh Iskandar Bogor yang beriiringan dengan pembangunan tol lingkar luar itu? Kemacetan lalu lintas akan semakin parah. Apa artinya jika kemacetan lalu lintas di Kota Bogor makin parah? Polusi Udara. Inilah pertanda yang sederhana bahwa Kota Bogor sedang menuju satu arah, yaitu krisis ekologi.

Krisis ini diawali dengan lepasnya kendali ruang kota dari tangan pemerintahnya. Kota Bogor adalah salah satu contoh diserahkannya model pembangunan kota ke tangan berhala baru, yang bernama mekanisme pasar. Dan yang menjadi perhatian utama dalam mekanisme pasar adalah akumulasi kapital, bukan keberlanjutan apalagi keadilan ekologis. 

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler