x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ideologi Kesejahteraan

Kesejahteraan atau lebih tepatnya harapan untuk sejahtera adalah tujuan akhir setiap ideologi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita bisa berdebat panjang dan berdarah-darah semalam suntuk, bahkan sampai subuh berikutnya, tentang urgensi sebuah ideologi. Tapi setajam apapun perdebatan itu, saya-anda-dia pada akhirnya akan sampai pada satu kesimpulan inti: bahwa apapun ideologinya, kesetaraan dalam meraih kesejahteraanlah yang menjadi kunci segala-galanya.

Saya hanya ingin mengatakan, kesejahteraan atau lebih tepatnya harapan untuk sejahtera adalah tujuan akhir setiap ideologi.

Sebab dalam sejarah nation-state (negara-bangsa), tujuan dasar kenapa sebuah idelogi negara dirumuskan adalah untuk mengelola sumber daya, agar semua penganut ideologi itu, merasakan persamaan hak dalam meraih kesejahteraan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Silahkan berteori tentang keadilan, persatuan dan kesatuan, kebersamaan dan tepo seliro, tentang toleransi dan tujuan bersama dalam berbangsa dan bernegara. Namun ketika sebuah ideologi negara tak lagi mampu memelihara dan mengelola persamaan peluang bagi warganya, saat ada satu kelompok secara kasat mata mendapatkan previlage yang kemaruk, lalu di sisi yang lain, ada kelompok lain yang makin hari semakin termarginalkan, maka saat itulah, ideologi negara itu akah kehilangan legitimasinya. Seberbusa apapun mulut kita berteori tentang perlunya ideologi negara.

Alasan utama kapitalisme masih mampu bertahan, terutama karena pengusungnya masih memberikan argumentasi yang relatif valid bahwa kapitalisme pada akhirnya akan menciptakan peluang yang sama bagi penganutnya untuk meraih kesejahteraan, melalui gerbong kesejahteraan yang menarik gerbong kemelaratan.

Alasan utama kenapa sosialisme masih mampu bertahan, juga terutama karena pengusungnya masih memberikan argumentasi yang relatif valid bahwa sosialisme pada akhirnya akan menciptakan peluang yang sama bagi penganutnya untuk meraih kesejahteraan, meski untuk mewujudkannya, diperlukan kebijakan yang keras dan tegas.

Artinya, kapitalisme dan sosialisme pada akhirnya akan berujung pada ideologi kesejahteraan, betapapun ringkihnya dan betapapun susahnya untuk direalisasikan.

Anda kapitalis, Anda nasionalis, Anda sosialis, Anda globalis, Anda Pancasilais. Atau Anda Jerman, Anda Amerika, Anda Swiss, Anda Jepang, atau Anda Indonesia. Terserah saja. Tapi sekencang apapun suaramu menyuarakannya, selantang apapun argumentasi dan dalil ideologismu, takkan mampu meyakinkan banyak orang bila kebijakanmu justru bertolak belakang dari tujuan awal perumusan ideologi negara-bangsa: selalu berusaha mengelola sumber daya untuk menciptakan peluang kesejahteraan yang setara. Saya menyebutnya ideologi kesejahteraan.

Dan jangan sampai lupa atau pura-pura lupa, bahwa di era Medsos saat ini, dengan segala keunggulan dan kekuragannya, tak banyak lagi ruang yang tersedia untuk berbohong dan membohongi publik. Setiap kebijakan akan menjadi bancakan oleh berbagai komentar, analisis dan kritikan dan juga pujian. Dan jika sebuah kebijakan lebih menguntungkan kelompok tertentu dan pada saat yang sama justru semakin menutup peluang bagi kelompok lain, secara alami publik akan menghujatmu. Kebijakan itu akan kehilangan legitimasinya bahkan sebelum ditawarkan ke ruang publik.

Saya Pancasila, saya Indonesia – meski sangat ego sentris – adalah rumusan kalimat yang sarat muatan patriot dan kejuangan. Namun kesetiaan pada ideologi tidak pernah berawal dari ruang hampa, dan tidak pernah berhenti pada argumentasi dan dalil ideologisnya, juga tidak akan pernah peduli pada sejarahnya, bila harapan untuk hidup sejahtera itu seolah terlindungi oleh tembok yang tak tembus.

Soal etika dan akhlak, bukan wilayah kerja pejabat publik. Sebab pejabat publik hanya dituntut membuat kebijakan dan menegakkan ketegasan pada kebijakannya untuk kepentingan semua pihak. Jangan menutupi kemandulan dalam menegakkan peraturan lantas berperilaku sebagai pengajur moral dan akhlak. Soal etika dan akhlak, biarlah masing-masing warga mencarinya sendiri.

Banyak fakta sejarah yang membuktikan bahwa banyak pejabat publik yang tak bermoral dan tak beretika, namun tetap disanjung, semata karena pejabat itu dinilai tegas dan komit berusaha menciptakan peluang kesejahteraan bagi warganya. Begitu pula sebaliknya.

Syarifuddin Abdullah | 12 Juni 2017 / 17 Ramadhan 1438H.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler