x

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apa yang Bisa Kurampok Dari Negara Ini?

Apakah seumpama saya menjadi borjuis yang kaya maka saya juga hanya menjadikan Indonesia ini sebagai ladang untuk menanam dan dapur.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konon ada Presiden Amerika Serikat yang mempunyai slogan patriotik: “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepada saya, tapi tanyakan apa yang saya berikan kepada negara!” Slogan patriotik tersebut mengingatkan pada kenangan masa lalu saya saat saya mengikuti penataran P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), bahwa salah satu prinsip dasar ajaran Pancasila adalah: mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi dan golongan.

Lalu apa yang sudah saya berikan kepada negara? Saya lahir di Indonesia, sejak dalam kandungan sudah tidak punya pilihan untuk menjadi janin yang dikandung Ratu Inggris atau permaisuri Kaisar Jepang. Saya dipaksa untuk menjadi janin yang dikandung ibuku yang buta huruf dan sudra, yang melahirkan aku di negeri Indonesia. Tapi saya bersyukur lahir dari kandungan ibuku, bukan dari kandungan ibu yang lain.

Saat saya masih kecil, ibuku mengalami pendarahan hebat, hampir mati kehabisan darah, negara tidak berbuat apa-apa. Tapi ibuku, atas ketidakpedulian negara kepadanya, tidak membalas dengan cara murtad, keluar sebagai warga negara Indonesia, dan sedikitpun tidak pernah protes dan mengeluh mengapa ia yang miskin tidak dipedulikan oleh negara. Mengapa? Ibuku tak pernah tahu apa itu negara. Mengapa? Karena negara tak pernah mengenalkan diri hadir kepada ibuku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat ibuku lahir sebenarnya sudah ada negara Hindia Belanda. Tapi ketika negara Indonesia lahir, mungkin ibuku tidak sadar tahu. Terkadang ia pernah bercerita tentang masa penjajahan Nippon yang sulit dan kesulitan-kesulitan sesudahnya yang digambarkannya sebagai masa-masa “larang pangan” (kesulitan pangan atau mahalnya pangan). Itu terjadi hingga sampai pada jaman Orde Baru, Di tahun 1975-an saya biasa makan umbi-umbian yang kami ambil dari dalam hutan jati.

Saya pun juga terlahir sebagai anak Indonesia, tak punya pilihan kecuali menjadi warga Indonesia. Tentu saja orang-orang yang miskin atau terbatas tidak mampu menjadi seperti kaum borjuis kaya yang bisa memilih menjadi warga kehormatan negara lain, selain menjadi warga negara Indonesia, karena memang kekayaan yang diperoleh dari negara ini disimpan  di bank-bank asing di negara yang memberikan kehormatan kepada mereka karena uangnya itu. Singapura, Swiss, Panama, Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara lain adalah para orang tua angkat bagi kaum borjuis Indonesia yang bahkan lebih diistimewakan daripada Indonesia sebagai orang tua kandungnya.

Indonesia ini hanyalah ibu atau ayah kandung yang dikuras hartanya. Bahkan ada seorang konglomerat yang secara terbuka mengatakan bahwa Indonesia hanyalah bapak angkatnya, sedangkan negeri China adalah ayah kandungnya, meskipun dia dilahirkan dan menjadi kaya di Indonesia. Seolah ia tidak rela mempunyai orang tua kandung bernama Indonesia. Ikatan batinnya bukan pada Indonesia. Kepada Indonesia dia hanya mengikatkan pikiran ekonominya.

Apakah seumpama saya menjadi borjuis yang kaya maka saya juga hanya menjadikan Indonesia ini sebagai ladang untuk menanam dan dapur untuk memasak hasil ladang itu, dan lalu saya akan membawa hasil masakan itu ke  negara lain agar masakan saya yang aduhai nikmat dan banyak itu aman untuk saya konsumsi sendiri bersama keluargaku di negara lain? Mungkin karena di sini banyak kere yang suka meminta-minta dan bahkan kadang meminta paksa hasil masakanku itu?

Orang yang memberi itu biasanya adalah orang yang mampu atau kaya. Mampu ekonomi, intelektual, atau mampu-mampu lainnya. Kalau orang hanya memiliki kemampuan doa, mungkin yang bisa diberikan juga hanya doa. Biasanya semua orang mampu untuk berdoa. Sedangkan orang miskin atau tidak mampu, bisa memberikan apa? Jika ada orang borjuis kaya raya tak memberikan apa-apa kepada negara ini dan bahkan bersekongkol dengan hukum untuk menggarong negara ini, maka dia bukan sekadar miskin jati diri dan moral, tapi juga bajingan. Seorang bajingan raksasa tidak mungkin akan bertanya: “Apa yang bisa kuberikan kepada negara?” Tapi dia akan bertanya: “Apa lagi kekayaan negara ini yang bisa dicuri, kurampok, kubawa pergi?”  

Apa yang kita baca sehari-hari di negara ini adalah kisah-kisah tentang perampokan dan pencurian kekayaan negara yang berhasil dibongkar. Tapi tahukah kita bahwa ada sekian banyak kejahatan terhadap kekayaan negara yang jauh lebih besar yang tak terbongkar?

Orang-orang terkesima dengan apa yang disebut dengan upaya pemberantasan korupsi, tetapi kekayaan negara yang berada dalam jangkauan pikiran mereka hanyalah “uang negara” yang dianggarkan (APBN dan APBD). Kerugian negara yang mereka pikirkan adalah uang negara yang tercuri.

Mereka tidak berpikir bahwa kerugian negara dan masyarakat yang tak kalah besar dan berat, yang bahkan jauh lebih besar dan berat adalah kerugian akibat rusaknya lingkungan hidup yang membutuhkan biaya pemulihan tak terbatas, bahkan mungkin tak terpulihkan dan menimbulkan bencana di kini dan masa depan, sebagaimana kita melihat setiap tahun banyak nyawa lenyap akibat bencana alam, anak-anak terlahir dalam keadaan down syndrome atau asperger syndrome gara-gara polusi udara dan makanan ayah dan ibunya yang tercemar logam berat. Berapa rupiah atau dollar kita bisa menghitung kerugian-kerugian semacam itu? KPK tak akan mampu mengusut kejahatan-kejahatan terstruktur semacam itu. Tapi apakah negara ini bisa punya Super KPK dan Super Pengadilan yang kuat untuk mengusut dan menghukum para penjahat raksasa itu?

Betapa konyolnya misalnya ada orang yang dipuji-puji sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi di negara ini, tetapi orang itu bersekongkol dengan para borjuis dengan menggunakan kekuasaannya memberikan izin kepada para borjuis raksasa untuk menimbun lautan demi membuat pulau-pulau yang hanya akan dapat dibeli oleh orang-orang yang menjadikan negara ini sebagai dapur?

Apakah mereka tidak berpikir bahwa material yang digunakan untuk menimbun lautan itu berasal dari bukit-bukit yang digempur, tanah-tanah yang dilubangi, pasir laut yang dikeruk dalam jumlah besar? Ada berapa besar kerusakan yang menjadi korban di mana rakyat kecil dipaksa rela menjadi korban kerusakan itu demi kenyamanan kaum borjuis kaya?

Mengapa rakyat kecil kebanyakan disuruh rela berkorban untuk kepentingan kenyamanan hidup kaum kaya yang jumlahnya segelintir tapi menjadi para penguasa yang mendikte berbagai macam kebijakan negara? Hukum dibuat untuk kenyamanan segelintir kaum kaya. Rakyat jelata dan kaum miskin yang jumlahnya banyak dijadikan kambing-kambing korban persembahan, nasib mereka disembelih. Aparatur negara hanya seperti para dukun di zaman kuno, menjadikan rakyat jelata sebagai korban persembahan bagi para dewa kemakmuran, dengan harapan negara ini akan menjadi makmur.

Mulut kita masih bicara tentang Pancasila, tangan kiri membuat lembaga pengarah dan Pembina ideologi Pancasila, tetapi tangan kanan mengambil apa yang telah diberikan oleh negara kepada rakyat bawah yang konon uangnya dipakai untuk membangun jalan-jalan, dermaga, Bandar udara, yang semuanya itu demi kepentingan Dewa Kemakmuran.

Akan menjadi sesakti apa Pancasila yang kini nilai-nilainya akan dipromosikan kembali? Apakah Pancasila akan mampu merebut lebih dari 75 persen tanah di negara ini yang dikuasai segelintir orang kaya yang kurang dari 2 persen dari jumlah rakyat di negara ini, untuk didistribusikan kepada rakyat pada umumnya agar terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Jika Pancasila hanya berada di bibir para promotornya yang melahirkan ucapan-ucapan harapan, tapi jiwa aparatur negara ini tak mampu terlepas dari kecintaan dan kegandrungannya kepada neo-liberalisme, maka perampokan akan terus terjadi di mana hukum dipergunakan untuk melegalkannya, sambil dibuat hiburan-hiburan kepada rakyat tentang gagah beraninya para pendekar dalam memberantas korupsi, tapi hanya menjadi proyek sebab biayanya lebih besar daripada uang negara yang diselamatkan. Apalagi jika memberantas korupsi sambil korupsi.

Negeri yang dipegang dan dikendalikan kaum borjuis-individualistis tak mungkin mengamalkan nilai-nilai Pancasila selain hanya bersolek dengan aksesoris dan emblemnya saja. 

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler