x

Iklan

Fajar Anugrah Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

'Membelejeti' Jokowi Lewat Kritik Logis

Vox Populi, Vox Dei

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

            Pemerintah dalam sistem demokrasi dipilih langsung oleh rakyat. Secara yuridis, pemerintah dalam menjalankan amanat rakyat bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Seperti yang dikatakan oleh Lincoln, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ini adalah bukti, rakyat pemegang kedaulatan suatu negara. Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei). Artinya, suara rakyat lah yang menjadi jarum kompas berlangsungnya suatu pemerintahan.

            Memang begitu indah kata itu, suara rakyat adalah suara Tuhan. Tapi, keindahan aksara tak seindah implementasinya. Suara rakyat (apalagi yang berbau kritik), tak akan mendapat tempat di hati pemerintah. Pemerintah suka yang dipuji-puji. Kinerjanya luar biasa. Telah melakukan ini-itu. Membuat ini-itu. Menjalankan ini-itu. Tanpa menyadari, banyak hal yang dikorbankan dibelakangnya. Lebih hebatnya lagi, ia kemudian membungkus itu semua lewat berita-berita yang pro kinerjanya. Begitulah hebatnya suatu rezim. Mampu membisukan suara dan kritikan perlawanan, menenggelamkan bahkan membunuhnya.

            Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan rezim Jokowi, rezim yang sudah berkuasa hampir tiga tahun ini? Ayo bung, kita berselancar di Google. Mari searching program Nawacita Joko Widodo, dan dari situ kita bisa belejeti presiden yang rajin blusukan ini. Siapkan snack dan kopi hangat. Karena perbincangan cukup panjang dan kompleks.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nawacita

            Nawacita memuat sembilan poin cita yang dicanangkan Jokowi. Pertama, menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Kedua, membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Keempat, menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

            Kelima, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia Pintar”, serta peningkatan kesejahteraan  masyarakat dengan program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” dengan mendorong Land Reform dan program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi, serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019. Keenam, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Ketujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

            Kedelapan, melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Kesembilan, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan, memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

            Bagaimana, anda pusing membacanya? Apalagi saya. Betapa indahnya untaian program yang dicanangkan Jokowi. Tapi, bagaimana sekarang implementasinya? Kritik perlu kita berikan, karena hari ini, Jokowi selalu mencoba mengeufemisme kata yang tidak menggambarkan realita yang sebenarnya. Misal, pelaku ujaran kebencian diamankan, padahal ditahan/dipenjara. Harga bahan bakar minyak atau tarif dasar listrik sedang disesuaikan, padahal dinaikkan. Rumah direlokasi, padahal digusur. Inilah kehebatan pemerintah. Membungkus kata yang ‘menyejukkan’ masyarakat (padahal sebaliknya). Pemerintah kita seperti mengalami paranoid. Takut dengan hal-hal yang berbau kritik. Takut bila dibongkar kebusukannya. Takut bila ada whistle blower. Takut didemo. Takut, takut, dan takut. Akh, kalau sudah begini, saya pastikan sedikit lagi kita akan menuju rezim otori.... Akh, sudahlah.

            Kembali soal program tadi. Sudah hampir tiga tahun Jokowi berkuasa, tapi realisasi program masih jauh panggang dari api. Pertama, ketergantungan pada asing. Janji surga Jokowi akan terus mendorong kemandirian ekonomi tampak sudah hampir menunjukkan kegagalannya. Alih-alih ingin mendorong, utang kita terus membengkak. Di Kuartal I tahun 2017, utang kita berada di angka USD323,3 miliar, naik 2.9 persen dari kuartal sebelumnya. Bagaimana kita mau mendorong pembangunan, bila kita terus mengandalkan utang? Apa jadinya bila suatu waktu pendonor pinjaman menginginkan uangnya kembali? Tumpur lah UMKM, makin malanglah hidup dia. Itu ibarat kita lagi cinta-cintanya sama seseorang, tapi kemudian diputuskan dengan alasan yang tak jelas (sungguh sakit tak berdarah). Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sial kali nasibnya tante.

            Itu masih contoh. Apalagi yang perlu kita kritisi? Benar, revolusi mental. Bagi saya, ini yang paling fundamental. Merevolusikan mental manusia Indonesia. Sampai sekarang, gaung seperti apa bentuk, manifestasi, dan metode revolusi mental ini pun masih absurd. Buktinya, kalau program-program itu ada, mengapa masih banyak pejabat kita yang korup? Apa yang salah? Kritik pun kembali menemukan definisi terbaiknya untuk melucuti kinerja Jokowi. Revolusi mental yang ia gaung-gaungkan seharusnya menyasar elemen penegak hukum, birokrat, pendidik, dan seluruh elemen masyarakat. Payung-payung kebijakan yang pro-rakyat dan mendidik perlu digalakkan. Bukan malah membuat hal-hal yang tidak esensial, simbolitas dan buang-buang anggaran seperti pembentukan UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila). Memang kita lupa dengan cerita P4 Soeharto yang justru kering makna dan tak terealisasi dalam tataran praksis. Menurut penuturan dosen saya, Taufan Damanik (pakar konflik-yang pernah ikut P4), penataran kala itu hanya sebatas simbolitas dan jadi prasyarat saja dalam ujian-ujian di kampus. Jangan sampai program revolusi mental menjadi hal yang serupa.

            Apa lagi yang perlu dikritisi? Benar, masalah kenaikan (bukan penyesuaian) Tarif Dasar Listrik (TDL) yang mulai berlaku 1 Juli 2017. Jokowi dengan tak tahu malu telah mengingkari semangat menciptakan negara sejahtera. Alih-alih sejahtera, Jokowi kembali mencekik rakyatnya dengan menaikkan harga listrik. Harga listrik naik drastis. Untuk kategori 900 VA (rata-rata penggunaan masyarakat Indoensia) naik dari Rp. 1.034 per KWH (bulan Maret) menjadi Rp.1.352 per KWH (Mei) hingga Rp.1.467.28 per KWH (Juli). Apa-apaan ini? Skemanya sangat kentara. Jokowi yang terus menggenjot sektor infrastruktur memerlukan utang. Utang didapat dari pinjaman luar negeri. Dengan keadaan APBN yang terus defisit, mau tidak mau pemerintah memainkan skema liciknya, mencuri uang rakyatnya sendiri. Memalukan. Ini bukan cerita baru. Skema yang sama telah dilakukan oleh Bank Federal Reserve (The Fed) yang mencuri uang rakyat AS melalui pengetatan likuiditas dan suku bunga yang mencekik sejak tahun 1930-an sampai sekarang. Skemanya sama, False Flag. Dipancing dulu, kemudian ditarik kembali. Ini skema sudah usang, kita saja yang naif. Atau lebih tepatnya, pelupa yang naif.

            Kenaikan ini tentunya akan memicu terganggunya kemampuan beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Listrik di Indonesia sudah menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi seluruh rakyat Indonesia. Tak elok rasanya makan sayur tanpa garam. Pun, tak elok rasanya hidup tanpa listrik. Dipastikan aktivitas akan terganggu, dan bahkan melumpuhkan masyarakat dan aktivitasnya. Keadaan inilah yang ditangkap pemerintah, bahwa masyarakat yang kebanyakan tak pintar itu mudah dibodoh-bodohi dengan beragam skema. Karena dapat dipastikan, hanya beberapa orang saja yang mengerti, kritis dan mau melakukan riset kecil-kecilan perihal kenaikan harga listrik itu. Bahkan, intelektual organik/akademisi (meski tak semua) juga bergeming, karena sudah terlalu enak di menara gading. Maka, jangan salahkan pemerintah semakin berjaya di atas penderitaan rakyatnya. Yang peduli sedikit. Jangankan itu, yang mau tahu saja bisa dihitung jari. Ibarat peribahasa Melayu, alamatlah kapal akan tenggelam.

            Apa lagi? Sudah cukup? Saya pikir belum. Mari kita belejeti poin ketujuh Nawacita Jokowi yang berbicara tentang land reform (reforma agraria). Reforma agraria sejatinya berbicara tentang adanya redistribusi lahan sesuai dengan UUPA 1960. Semangat pengembalian tanah, hak dan sumber mata pencaharian masyarakat yang selama ini dirampas oleh korporat dan antek-anteknya merupakan isu krusial yang harus diperhatikan pemerintah. Jokowi-JK membuat land reform menjadi prioritas dalam kerjanya hingga 2019.

Tapi, hingga tulisan ini dibuat, land reform yang diidamkan itu keadaanya justru sebaliknya. Perampasan tanah masih marak terjadi. Apalagi perampasan tanah adat yang mengatasnamakan pembangunan. Kita sama sama tahu, ada mafia besar yang bermain di belakang layar (invincible hand). Mafia-mafia besar yang menjadi dalang di balik ini semua harusnya ‘dijinakkan’. Jangan sampai mereka yang menghegemoni kebijakan agraria yang ada di Indonesia. Jokowi harus kembali ke oritentasi UUPA yakni menciptakan kesejateraan masyarakat. Jangan sampai terjadi konflik tanah berkepanjangan antara aparat dengan masyarakat, korporat dengan masyarakat, hingga pemerintah dengan masyarakat. Karena tanah begitu berharga bagi masyarakat. Singkanya, mereka hidup dan mati dari tanah.  Atau dalam peribahasa Jawa disebut, sadamuk bathuk sanyari bumi ditohi satumekaning pati (walau hanya menyentuh kening atau sejengkal, tanah akan di bela sampai mati--berjuang sampai titik darah penghabisan). Betapa pentingnya tanah bagi mereka.

Poin selanjutnya yang patut jadi sorotan adalah poin keempat tentang reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Bagaimana implementasinya? Sangat mengecewakan. Institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan masih saja terlibat kasus korupsi dan bahkan tindakan pungli. Dalam hal pengurusan SIM dan STNK sudah menjadi rahasia umum, uang pelicin menjadi ‘syarat’ khusus bagi berjalannya pelayanan. Begitupun dengan instansi kejaksaan dan kehakiman yang kembali ditampar dengan temuan korupsi di PTUN Medan dengan melibatkan hakim dan pengacara kawakan OC Kaligis.

Lalu yang jadi tanya, apa yang salah? Sistem atau individu? Dua-duanya saya pikir bermasalah. Selama ini, sistem penegakan hukum kita tebang pilih, tumpul keatas dan tajam ke bawah. Apakah sudah adil sekarang? Masih sama saja. Buktikan sendiri. Orang yang memiliki jabatan dan harta akan lama diproses hukum. Sedang yang miskin, akan segera ditindak dan dijebloskan ke penjara. Sialnya, individu-inididu yang menjadi subjek hukum juga tak mau diatur untuk kebaikan. Singka kata, semua keras kepala. Egosentrisme telah merajalela dalam diri manusia. Jadi jangan heran penegakan hukum kita belum berkategori bermartabat dan terpercaya. Sistemnya masih kacau. Still a lot weakness of our law system. Maka dari itu,perbaiki dulu sistemnya. Dengan sistem yang baik, niscaya individu yang ada didalamnya mau tidak mau, suka tidak suka, akan mengikutinya.

            Terakhir, satu lagi yang bisa menguatkan pendapat saya adalah intervensi elit dan partai politik yang mengusung ia. Jokowi rasa Mega, Surya Paloh, Wiranto, dan lain-lain telah menghegemoni diskursus berpikir Jokowi menjadi selaras dengan kehendak mereka. Jokowi yang tadinya bersumpah atas dasar agama, mengabdi sepenuhnya untuk rayat, terus dibayang-bayangi oleh oligarki yang menagih utang layaknya rentenir. Jelas, parpol pengusunya sudah keluar banyak uang untuk mendukungnya. Selayaknya, jatah itu, ini, dan sebagainya, dan seterusnya harus diberikan. Politik balas budi telah mengunci kedaulatan Jokowi sebagai presiden.

            Seharusnya Jokowi mampu meniru presiden pertama Indonesia, Soekarno yang gagah berani terus memperjuangkan rakyatnya hingga kemudian dikudeta tahun 1966. Atau seperti Ahmad Dinejad yang dengan lantang menentang intervensi Amerika. Atau bahkan seperti Jhon F Kennedy yang mampu menerbitkan mata uang US Dollar versi pemerintah, bukan swasta (elit global)  hingga kemudian dia ditembak. Kita sekarang butuh pemimpin yang berani. Berani melawan oligarki konglomerat. Berani melawan tirani partai. Dan berani melawan mafia-mafia besar. Melalui alat politik seperti TNI dan kepolisian, Jokowi harusnya memberikan pengaruh besar dalam perbaikan bangsa. Jangan sampai dia terus dibayangi oleh oligarki partai.

            Suatu rezim harus terus dikritik. Mengkritik adalah bagian dari membangun. Tepatnya, membangun kesadaran masyarakat atas problema dan realita yang terjadi. Jangan sampai pemerintah menjadi rezim yang anti-kritik. Karena kalau sudah begitu, pemerintah adalah rezim feodal yang tak bisa lagi diberi nasihat. Bukankah pemerintah adalah pemimpin kita, atau dalam keluarga ia layaknya ayah kita? Apakah ayah tak pernah salah? Ya pasti pernah. Nah, disitulah penting memberikan nasihat dan masukan. Caranya pun harus elegan. Jangan sampai anarkis.

            Pemerintah harus terus berinterospeksi diri, sudah sejauh mana ia menjalankan amanat rakyat. Di akhir, penting merenungi apa yang dikatakan oleh V  dalam film V for Vendetta (2006) karya Alan Moore dan David Llyod. Pemerintah seharusnya tunduk pada rakyat (bukan mafia), karena pemerintah adalah pelayan rakyat. Vov Populi, Vox Dei, bukan?

 

Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu