x

Muslim Indonesia tidur saat mereka menunggu berbuka puasa selama bulan suci Ramadan di Masjid Istiqlal, Jakarta, 9 Juni 2017. REUTERS/Beawiharta

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Potret 'Kemanusiaan' Akhir Ramadan

Fenomena jelang akhir Ramadan sepertinya telah mentradisi dalam bangsa ini, tidak hanya bagi mereka yang selalu mengejar setiap jengkal kebutuhannya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Idul Fitri masih kurang lebih dua minggu lagi, namun geliat roda perekonomian terasa semakin cepat, melaju menyesuaikan dengan kebutuhan setiap orang. Fenomena jelang akhir Ramadan sepertinya telah mentradisi dalam bangsa ini, tidak hanya bagi mereka yang selalu mengejar setiap jengkal kebutuhannya, namun juga mereka yang tampak sangat bernafsu mengumbar kedermawanannya, membagi-bagikan “THR” kepada masyarakat sekitarnya. Akselerasi kebutuhan manusia Indonesia jelang lebaran yang terkadang sulit dikontrol, malah semakin ruwet oleh kenyataan berbagai kebutuhan pokok yang “menyesuaikan” dengan antusiasme berlebaran masyarakat. Entah kenapa, sulit sekali tradisi jelang lebaran ini diluruskan, menjadi sekadar hal biasa saja yang tak perlu dilebih-lebihkan.

Idul Fitri jelas merupakan Hari Besar Umat Islam yang ditandai oleh haramnya berpuasa di setiap masuk tanggal 1 Syawal. Artinya, puasa Ramadhan berakhir, dan kembali seluruh umat muslim menjalani hari-harinya seperti sebelum Ramadhan, biasa saja dan tidak memerlukan banyak kebutuhan atau hal lainnya yang dipaksakan. Makna terdalam dari “Idul Fitri” yang semestinya “kembali” menjadi humanis setelah satu bulan umat muslim “disekolahkan” oleh Ramadan, lebih banyak tak berpengaruh, kebanyakan manusia hanya larut dalam tradisi lebaran, berlomba-lomba dalam hal keekonomian, menikmati kemeriahan lebaran dan jelas “habis-habisan” diperdaya oleh hasrat yang berlebih terhadap berbagai kepentingan materi.

Lebaran seringkali menjadi potret kemanusiaan yang paradoks: kebutuhan ekonomi meninggi dan pada saat yang sama, antrian para pencari sedekah tak terhitung banyaknya. Potret kemanusiaan di akhir Ramadan justru seringkali diwarnai emosi atau protes atas nilai-nilai humanisme yang terpasung. Sebut saja, jelang akhir Ramadan, puluhan pegawai TransJakarta melakukan mogok massal, karena mereka kalut menghadapi lebaran karena tak mendapatkan “THR” akibat perubahan kebijakan perusahaan: memutus kontrak mereka yang memiliki hubungan keluarga dalam satu perusahaan, atau mereka yang sudah melewati usia 35 tahun. Aksi mogok ini mungkin tidak terlalu massif jika perusahaan menerapkan kebijakannya justru pasca lebaran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para pencari sedekah kurang lebih sama, mereka antri massal dan rela berdesak-desakan selama berjam-jam hanya untuk memperoleh “amplop” dengan sejumlah uang yang mungkin jauh dari harapan dapat memenuhi kebutuhan lebaran. Fenomena jelang lebaran nampaknya menjadi tradisi tahunan yang mengakar dalam budaya bangsa ini, menjadi sebuah potret abadi kemanusiaan yang entah kapan akan berakhir. Padahal, sedekah para dermawan “dadakan” tidak harus diukur oleh kenyataan lebaran, sebab sedekah dalam ajaran Islam tak pernah dibatasi waktu ataupun situasi. Sedekah bahkan semestinya dilakukan oleh setiap muslim, dalam keadaan lapang maupun sempit, sehingga kapanpun dan dimanapun, sedekah bisa selalu dilaksanakan.

Memang harus diakui, bahwa beragama akan lekat dengan simbol-simbol dan cenderung jauh dari nilai-nilai substantif yang dibawanya. Idul Fitri jelas merupakan Hari Raya Besar umat muslim yang dianalogikan sebagai sebuah “kemenangan” atas berhasilnya perjalanan meneladani ibadah puasa yang dijalankan. Nilai yang dikandung dalam Idul Fitri seakan memberikan makna, bahwa manusia “terlahir kembali” menjadi suci (Idul Fitri), karena nilai-nilai kemanusiaan diteladani dan diaktualisasikan dalam kurun satu bulan melalui ibadah puasa. Namun, nilai-nilai hakikinya terkikis bahkan hilang, tergantikan oleh simbol “kebahagiaan” yang ditunjukkan melalui tradisi mudik, THR, melejitnya segala hal keekonomian, atau kebutuhan hidup yang seringkali tanpa kontrol.

Saya teringat akan sebuah bait ayat terakhir dalam kitab suci al-Quran yang merupakan rangkaian ayat berpuasa di bulan Ramadan dan apa yang semestinya diteladani ketika Ramadan hendak berakhir. “…dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS. al-Baqarah: 185). Mengakui akan keagungan Tuhan melalui kesadaran bersyukur kepada-Nya adalah nilai-nilai terdalam dari sebuah hari raya. Mengakui keagungan-Nya, berarti sadar atas kesalahan dan keserakahan yang senantiasa melekat dalam diri seseorang, sehingga tak pantas manusia menjadi sombong atau bahkan “berlebihan” dalam memandang hidup. Adapun rasa syukur merupakan kesadaran diri akan anugerah Yang Maha Agung yang tak mungkin kita hitung satu persatu.

Sulit dipungkiri, bahwa akhir Ramadan selalu disuguhkan fenomena kemanusiaan yang tak biasa dan ini khusus hanya terjadi di Indonesia dan tak akan pernah dijumpai di negara manapun, termasuk di negara dimana agama Islam itu pertama kali hadir. Lebaran kali ini bahkan bertepatan dengan cairnya gaji ke-13 PNS yang PP-nya telah diteken oleh Presiden Jokowi. Pemerintah harus menggelontorkan dana segar sebesar 23 triliun rupiah yang akan dibayarkan sebagai THR dan gaji ke-13 yang kemungkinan dicairkan bulan ini. Kekurangan APBN yang saat ini sedang diupayakan ditutupi oleh beragam cara, termasuk program Pengampunan Pajak, nampaknya masih jauh panggang daripada api. Inilah fenomena “kemanusiaan” yang tak akan pernah luput disepanjang tahun setiap akhir bulan Ramadan, bulan dimana umat muslim justru semestinya menggali nilai-nilai kemanusiaan dari rangkaian ibadah puasa yang dijalankannya.

Kita memang tak akan sanggup merubah tradisi yang sudah sekian lama berakar dalam masyarakat, tetapi paling tidak, tanpa harus terjebak pada simbolisasi lebaran yang ditandai oleh meningkatnya segala kebutuhan kemanusiaan, kita masih harus diingatkan akan nilai-nilai substantif dari puasa itu sendiri yang seharusnya mampu “mendobrak” simbolisasi menjadi aktualisasi atas nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam rangkaian ibadah puasa Ramadan. Bangsa ini sudah terjebak oleh hasrat konsumerisme yang berlebih, bahkan tidak saja di akhir bulan Ramadan, walaupun puncaknya selalu dirasakan justru di akhir bulan Ramadan. Fenomena ini seakan gambaran mengejar “kulit” tetapi membuang jauh-jauh “isinya”. Humanisme yang semestinya terbentuk oleh puasa, justru tergilas oleh praktik kapitalisme yang membabi-buta, mengejar “kebahagiaan” secara materi yang pasti tak akan pernah ada habisnya.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler