x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kuburan untuk Kisah Cinta yang Telah Mati

Kelenturan hati: pagi senang, siang tegang, sore gembira, malam gundah gulana, jelang tidur berbahagia, tidur dan bermimpi indah, terus bangun cerita lagi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya membuka akun Whatsapp seorang teman, dan di profile-nya terbaca kalimat berbahasa Arab, yang tampaknya penggalan syair Arab, yang entah ditulis oleh siapa: “Hatiku telah menjadi kuburan untuk kisah cintaku yang telah mati”.

(??????? ???????? ?????????? ????????? ?????? ???????)

Adakah yang baru dari cuplikan, yang terkesan menyentuh itu? Tidak juga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebab ada ungkapan Bahasa Inggris yang juga terkenal, yang biasanya diucapkan kepada orang yang sedang patah hati: “you are not alone” (Anda bukan yang pertama, dan tidak sendirian). Artinya, Anda – siapapun Anda – jika sedang patah hati, maka Anda bukanlah pemilik hati pertama yang menjadi kuburan cinta yang telah wafat.

Tapi hati adalah makhluk (bagian dari tubuh setiap insan), yang memiliki kelenturan paling luar biasa. Pagi senang, siang tegang, sore gembira, malam gundah gulana, tapi menjelang tidur bisa berbahagia, lalu tidur dan bermimpi indah, terus bangun ceria lagi.

Karena itu, ada ungkapan klasik Arab yang mengatakan “summiyal-qalbu qalban li taqallubihi” (hati disebut hati, justru karena kelenturannya, sering dan suka berubah-ubah”.

Dalam bahasa Arab, kata qalbu (lebih sering diartikan jantung) memang memiliki dua makna: bermakna fisik yang merujuk pada satu bagian jeroan tubuh yang disebut jantung, atau hati dalam pengertian abstrak yang semakna dengan pikiran atau akal.

Hati dalam pengertian perasaan yang abstrak lebih berkonotasi dengan hati yang bermakna pikiran atau akal, yang kadang lalai atau awas, gembira-sedih, puas-tidak puas, benci-rindu dan berbagai ungkapan perasaan lainnya.

Dan ungkapan itu, yang menyebut “hatiku telah menjadi kuburan untuk kisah cintaku yang telah mati” sungguh pernyataan hati yang tidak tertanggungkan. Mengibaratkan hati seperti sebuah kuburan atau makam yang tanpa batu nisan menunjukkan sebuah puncak kesengsaraan, klimaks sebuah gundah gulana dan kepedihan tak tertanggungkan.

Namun ungkapan itu (“hatiku telah menjadi kuburan bagi kisah cintaku yang telah mati”) juga bisa dimaknai secara intelektual: hati yang telah mengeras atau membatu, yang sulit tersentuh oleh pencerahan pengetahuan dan pemahaman tentang kebaikan atau hikmah. Hati yang tidak lagi mampu bergetar ketika telinga mendengarkan ayat-ayat suci. Hati yang tak tersentuh dan tidak mampu berempati kepada kesengsaraan orang lain, atau sangat sulit bersimpati pada keunggulan dan kebahagiaan orang lain.

Jika hati mungkin menjelma seperti kuburan cinta yang telah mati, maka sesuai karakternya yang suka berubah-ubah, hati pun bisa menjadi lahan subur untuk menanam bibit-bibit ketulusan untuk berbagi kebaikan kepada orang lain.

Syarifuddin Abdullah | 14 Juni 2017 / 19 Ramadhan 1438H.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB