x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Full Day School dan Pendidikan Agama: Emang Berkaitan?

pendidikan dasar keagamaan dan akhlak untuk anak-anak usia dini sampai remaja, jauh lebih efektif di lingkungan keluarga dan komunitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya mungkin keliru. Tapi terus terang, saya tidak menemukan argumen cukup kuat untuk mengaitkan antara kualitas pendidikan agama siswa-siwi sekolah umum dengan jam pelajaran agama. Keterkaitan itu hanya ditemukan di kertas Permendiknas, yang diteken pada 09 Juni 2017.

Lalu muncul pro-kontra, kritik dan penolakan dari sejumlah pihak, yang bersilewaran tanpa kejelasan logika. Sebab perdebatan menolak dan/atau setuju dengan full day school sama sekali tidak beralasan. Saya malah suka, karena memberi ruang berlibur keluarga selama dua hari (Sabtu dan Minggu). Tambah keliru lagi, ketika full day school itu dikait-kaitkan dengan materi atau kualitas pendidikan agama untuk siswa-siswi  di sekolah-sekolah negeri umum.

Mohon maklum juga, sekali lagi mungkin saya keliru, namun saya juga tidak termasuk orang terlalu khawatir bila benar-benar ada penghapusan materi pendidikan agama di sekolah negeri umum. Wong, kita punya madrasah diniyah. Silahkan pilih saja.

Dan biar tidak dianggap ngawur, berikut ini argumennya:

Pertama, sepanjang penelusuran saya melalui buku-buku sejarah tentang komunitas Muslim di  berbagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk di Indonesia, pendidikan dasar keagamaan untuk anak-anak usia dini umumnya diperoleh bukan justru di sekolah formal. Tapi di lingkungan rumah dan tetangga atau melalui guru-guru mengaji di kampung dulu.

Sebagai contoh kasus yang paling kasat mata: membuat anak rajin dan disiplin melakukan shalat lima waktu, misalnya, lebih ditentukan terutama oleh suasana di dalam rumah tangga atau lingkungan tetangga pergaulannya.

Lagi pula, jika berhitung jumlah waktu shalat, hanya ada dua shalat yang dilaksanakan di jam-jam sekolah (zhuhur dan ashar). Sementara tiga shalat lainnya (magrib, isya dan subuh) dilaksanakan ketika siswa-siswi berada di rumah dan lingkungan tetangganya.

Kedua, mohon maaf karena kesimpulan ini sangat personal: bahwa guru-guru agama di sekolah-sekolah umum saat ini, tidak memiliki acuan yang berlaku umum. Setiap guru agama lebih cenderung mengajarkan pendidikan agama kepada siswa-siswinya sesuai dengan aliran atau mazhab atau kelompok agama yang dianutnya. Sering malah sa’ena-e-dewe. Kalau nggak percaya, sesekalilah melihat dan mencermati buku-buku ajar mata pelajaran agama yang digunakan di setiap sekolah.

Dengan kondisi faktual para guru agama dan buku acuan ajarnya yang seperti ini, sebagian orang, termasuk saya, malah khawatir bahwa mempercayakan sepenuhnya pendidikan agama siswa-siswi kepada guru-guru agama di sekolah umum, dengan segala hormat kepada para guru agama, justru bisa membuat kacau pemahaman keagamaan putra-putri kita.

Ketiga, beda dengan Ponpes-ponpes, yang dengan hanya mengetahui kiai dan guru-gurunya serta buku-buku ajarnya sudah bisa diketahui misalnya apakah sebuah Ponpes lebih condong ke paham NU atau ke Muhammadiyah. Jangan berharap seorang anak akan beraliran seperti Persis, bila anak itu mengecap pendidikan di Lirboyo Kediri, atau Tebuireng Jombang, yang berorientasi ke NU.

Keempat, saya juga tidak habis pikir, kenapa orang meributkan soal 8 jam sekolah per hari dan 5 hari sepekan. Kayak gak tahu aja kondisi real proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah saat ini. Para guru lebih fokus menuntaskan kuota pelajaran (sesuai kurikulum dan satuan ajar) dibanding melakukan proses pembelajaran yang cerdas tentang pendidikan agama.

Kelima, saya pun termasuk yang tidak terlalu tertarik dengan sebutan yang terkesan amat bombastis: SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu). Berkali-kali saya coba mengobrol panjang dengan beberapa guru agamanya, dan mohon maaf jika kesimpulan saya sangat kasar: sebagian besar guru agama di sekolah umum tidak mungkin bisa menyampaikan konsep “Islam terpadu” kepada siswa-siswinya. Secara bercanda dan sederhana, kadang saya meminta guru-guru agama itu mempraktekkan cara ber-tayammum yang benar. Dan hasilnya mencengangkan: sebagian besar guru agama yang pernah saya temui itu ngawur ketika mempraktekkan cara ber-tayammum. Kalau soal cara ber-tayammum saja nggak beres, bagaimana mungkin mereka berbicara soal “Islam Terpadu”. Fakta seperti ini yang membuat saya berkesimpulan bahwa sebagian besar perdebatan tentang full day school yang dikaitkan dengan pendidikan agama, adalah perdebatan yang tidak memiliki pijakan yang logis dan faktual.

Keenam, mohon maaf juga jika dikatakan bahwa banyak lho lulusan pondok pesantren yang bejat dan jahat, padahal asumsi dasarnya jebolan Ponpes mestinya lebih agamis dan baik-baik. Pada saat yang sama, banyak juga lulusan sekolah umum yang baik-baik, padahal asumsi dasarnya para jebolan sekolah umum tidak terlalu bagus pengetahuan dan praktek agamanya. Fakta ini saja sudah membuktikan bahwa betapapun pentingnya mata pelajaran agama di sekolah-sekolah umum, tetapi harus diakui bahwa pendidikan agama bagi siswa-siswi sering tidak berkorelasi positif dengan baik-buruknya perilaku siswa-siswi di dalam melakoni kehidupan keseharian.

Ketujuh, dan ini yang paling utama: mengajarkan ilmu dasar keagamaan sering lebih sulit daripada mengajarkan uraian tentang aliran-aliran pemikiran dan sekte dan mazhab yang njlimet atau kajian filosofis yang shopisticated. Karena itu, untuk tingkat  SD, SMP, SMA, memang perlu guru-guru agama yang memiliki pemahaman yang relatif utuh tentang dasar-dasar ibadah yang wajib dan dasar-dasar ilmu akhlak.

Ibadah Shalat misalnya, yang perlu diketahui oleh siswa-siswi di tingkat SD, SMP, SMA adalah bagaimana melakukan setiap gerakan dalam shalat secara benar, dan membaca bacaan rukun dengan baik dan benar. Jangan dicekoki pembahasan tentang shalat khusyu’ dengan sentuhan sufistik. Wong, guru agamanya saja sendiri sulit untuk khusyu’, kok mengajari untuk khusyu’. Dan percaya deh, pelajaran seperti ini akan lebih efektif di lingkungan rumah dan/atau tetangga.

Kedelapan, kembali ke soal full day school, 8 jam belajar setiap hari, dan 5 hari sekolah setiap pekan, buat saya tidak perlu terlalu dipersoalkan. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan soal rekayasa strategis masa depan keagamaan anak bangsa. Ya, tidaklah Bung.

Kesembilan, saya masih cukup yakin bahwa pendidikan dasar keagamaan dan dasar-dasar akhlak untuk anak-anak usia dini sampai remaja, jauh lebih efektif jika masing-masing keluarga dan komunitas memaksimalkan suasan yang kondusif di lingkungan rumah tangga dan/atau lingkungan tetangga.

Syarifuddin Abdullah | 14 Juni 2017 /  19 Ramadhan 1438H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu