x

Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin (tengah) didamping Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany (kanan) berbincang dengan siswa yang baru saja menyelesaikan Soal Ujian Nasional (UN) di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendikia Serpong, Tanger

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Madrasah Dalam Polemik Aturan Baru Sekolah

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 tentang hari sekolah yang diatur selama lima hari menuai polemik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 tentang hari sekolah yang diatur selama lima hari menuai polemik. Pasalnya, beban jam sekolah ditambah menjadi delapan jam perhari sebagai bentuk implementasi Program Full Day School (FDS) yang beberapa waktu yang lalu pernah diwacanakan pemerintah. Bagi beberapa sekolah yang sudah lebih maju dan berada di daerah perkotaan, tentu saja tidak begitu menjadi beban, karena beberapa sekolah juga sudah banyak yang mengimplementasikan jam belajar sekolah hingga sore hari. Aturan tersebut jelas akan berbeda ketika harus “dipaksakan” kepada sekolah-sekolah yang belum maju, terutama yang jauh dari pusat perkotaan, terlebih masih banyak madrasah-madrasah yang memanfaatkan waktu jam belajar konvensional sekolah yang selesai siang hari. Madrasah memanfaatkan pasca jam sekolah konvensional dari siang hingga sore hari dan murid-muridnya adalah mereka yang dari pagi hingga siang bersekolah di sekolah konvensional.

Aturan baru Kemendikbud jelas bermasalah ketika disatu sisi harus memberangus madrasah-madrasah yang banyak bertebaran di daerah. Menurut data dari Kementrian Agama, terdapat kurang lebih 37.102 Madrasah Diniyah (MD) di Indonesia yang menerapkan jam belajarnya selepas jam sekolah konvensional. MD ini ada yang memang berada dan berafiliasi dengan pondok pesantren ada juga yang tidak. Keberadaan Madrasah Diniyah sejauh ini sangat membantu peserta didik yang sekolah secara formal tetapi ingin memperdalam pengetahuan keagamaan secara lebih intensif. Jam belajar siswa diatur, pagi sampai siang hari mereka sekolah formal, dan selepas itu ikut madrasah diniyah hingga sore hari. Saya kira, program FDS secara tradisional sudah dijalankan oleh mereka yang bersekolah formal dan juga ikut pendidikan MD.

Entah apa yang menjadi target ambisius Kemendikbud untuk membuat aturan Hari Sekolah yang sudah harus dijalankan per Juli 2017 nanti. Apakah aturan ini terkait dengan urusan pembangunan mental manusia yang diselaraskan dengan Nawacita, ataukah hanya sekadar “proyek regulasi” yang harus segera diputuskan demi terpenuhinya program-program unggulan kementrian terkait. Sejauh ini, program FDS yang sempat disosialisasikan kepada masyarakat, justru banyak mengalami hambatan dan bahkan protes dan kritik dari berbagai pihak. Tidak semua sekolah—bahkan lebih banyak—siap menjalankan program ini, terbentur oleh banyak kendala di lapangan, termasuk kompetensi guru, keberadaan lingkungan siswa, sarana dan prasarana sekolah yang belum memadai, termasuk gaji tambahan untuk guru yang mengajar hingga sore hari. Program FDS sangat tidak rasional jika diterapkan untuk seluruh sekolah, kecuali bila diimplementasikan sebagai “model” bagi sekolah-sekolah yang telah siap.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Asumsi saya, keputusan Mendikbud ini terlalu terburu-buru, tanpa didahului oleh kajian mendalam termasuk dampak yang terjadi terutama terhadap eksistensi madrasah. Kecuali, jika memang dalam pandangan Kemendikbud, madrasah tidak dianggap sebagai “sekolah”, tetapi hanya semacam “ekstrakurikuler” yang waktunya dapat menyesuaikan dengan jam belajar sekolah. Jika memang ini yang dipersepsikan, berarti sama saja dengan secara tidak langsung akan memberangus juga keberadaan pesantren, karena madrasah adalah salah satu ikon kemajuan pesantren tradisional di seluruh Indonesia. Saya khawatir, secara lebih jauh jika Keputusan Hari Sekolah ini tetap dipaksakan, akan menimbulkan polemik baru: yaitu lembaga pesantren sebagai simbol NU dan Mendikbud yang mewakili suara ormas Muhammadiyah.

Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menegaskan bahwa Peraturan Menteri Muhadjir perlu dievaluasi. Kalla menilai aturan tersebut tak bisa diputuskan di tingkat menteri tetapi harus di tingkat kabinet, karena aturan Muhadjir jelas berdampak pada jutaan siswa lain yang bersekolah, termasuk mereka yang mengenyam pendidikan di madrasah. Pihak yang paling berkepentingan terhadap peraturan ini jelas adalah Kementrian Agama, karena diyakini bahwa aturan “sepihak” Kemendikbud ini jelas akan menggerus pendidikan keagamaan di seluruh Indonesia. Paling tidak, keberadaan MD yang akan terkena dampak paling dirugikan dari pemberlakuan aturan Hari Sekolah selama delapan jam tersebut.

Saya kira, sebuah kebijakan publik semestinya harus sudah mengantisipasi dampak terburuknya ketika memang harus diputuskan pemerintah. Paling tidak, sebuah kebijakan sudah terlebih dahulu disosialisasikan, didialogkan dengan berbagai pihak yang berkepentingan, serta ada tawaran solusi bagi yang terkena dampak negatif dari regulasi tersebut. Sebuah kebijakan yang digulirkan adalah sebuah keputusan politik sehingga berasal dari keterlibatan banyak pihak di dalamnya, bukan “gaya-gayaan” atau sekadar untuk memuaskan segelintir pihak dan mengorbankan pihak yang lainnya. Memutuskan sebuah kebijakan yang terburu-buru tanpa didasarkan keterlibatan pihak lainnya yang berkepentingan, justru dicurigai jangan-jangan terjadi “kongkalikong” sepihak yang menginginkan pendidikan lain yang belum bisa, “dipaksa” harus ikut kebijakan yang ada. Kebijakan seperti ini jelas otoriter dan saya kira, akan terus mendapatkan perlawanan dari masyarakat.

Sebuah kebijakan, terlebih soal pendidikan, jangan sampai memicu polemik, terlebih menyoal  keberadaan pendidikan lainnya. Kemendikbud tidak boleh mendikotomisasikan antara sekolah dan madrasah, dimana seakan-akan madrasah adalah wilayah kebijakan Kementrian Agama dan sekolah berada di wilayah kebijakan Kemendikbud. Sekolah dan madrasah adalah sama-sama dua model pendidikan yang memiliki akar kuat dalam masyarakat Indonesia dan mampu meningkatkan kecerdasan masyarakat. Madrasah mungkin sudah menjadi bagian dari “subkultur” bangsa ini dan keberadaannya mungkin lebih tua dibandingkan sekolah. Walaupun keduanya memiliki konotasi yang sama, namun dalam model pendidikannya memiliki kecenderungan keilmuan yang berlainan.

Membuat dikotomi antara sekolah dan madrasah, justru sama artinya bahwa pemerintah hanya mengakui satu model pendidikan dan tak bertanggungjawab terhadap model pendidikan lainnya. Tingkat kesadaran masyarakat ini terhadap pendidikan yang jelas masih kurang, jangan sampai dibebani oleh aturan-aturan yang malah memberangus keberadaan madrasah yang sempat menjadi pilihan masyarakat rural karena akses dan biaya yang terjangkau bagi mereka. Madrasah sejauh ini sukses menjadi alternatif bagi pendidikan di luar sekolah yang tidak terikat oleh syarat-syarat khusus sehingga memudahkan masyarakat untuk mengenyam setiap jenjang pendidikannya. Lagi pula, konsep Madrasah Diniyah yang menjadi ikon pesantren, semestinya dibantu, dimajukan dan dimodernisasi tata-kelolanya agar lebih mandiri dan profesional, bukan malah diberangus oleh aturan yang mematikan fungsi madrasah sebagai alternatif model pendidikan. Saya berharap, aturan baru Kemendikbud dapat dievaluasi, mengingat kebijakan ini terus menuai polemik di ruang publik.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu