x

Iklan

Kang Nasir Rosyid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Full Day School : Penak Jamanku Le

Tentang Kebijakan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya bisa baca Alqur’an karena saya dulu sekolah agama

Saya bisa mengerti tentang Ibadah karena saya dulu sekolah Agama

Saya bisa mengerti Fiqh karena saya dulu sekolah Agama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya bisa ikut Ujian Skripsi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta karena saya dulu sekolah Agama (di UII, prasyarat untuk Ujian Skripsi harus bisa baca Alqur’an).

Ya itulah sedikit pengalaman saya terkait dengan Sekolah Agama yang kini menjadi perbicangan akibat adanya Kebijakan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan yang memberlakukan Sekolah Sehari Penuh atau Bahasa sononya Full Day School (FDS) dengan durasi 8 jam kerja.

 Sudah sejak jaman dahulu,  sistem Pendidikan kita memungkinkan anak anak ikut sekolah pagi dan sekolah sore, sebutan untuk anak anak di kampung. Sekolah pagi (SD) pelajaran  umum sedangkan sekolah sore adalah  sekolah agama di madrasah, orang menyebutknya madrasah Ibtidaiyah.

Di SD belajar berhitung, belajar sejarah, belajar Pancasila, sedangkan di Madrasah Ibtidaiyah belajar agama yang pelajarannya diawali dengan belajar membaca huruf hijaiyah, alif, ba, ta, tsa dst,,. Alif fathah A, alif dhomah U, alif kasroh I, A I U, setelah itu belajar membaca sambungan Alama, Alami, Ulama, Kataba, Kutiba, Kutibu, Jaka, Jakawa.

Sekolah Agama, seperti juga sekolah umum, sejak dulu punya jenjang yakni Madrasah Ibtidaiyah/Diniyah (setingkat SD), Tsanawiyah (SMP) Aliyah (SMA). Adapun penyelenggaranya, kurang lebih 80% adalah pihak swasta/Yayasan, sisanya berstatus negeri yakni Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTS Negeri) dan Aliyah Negeri dibawah Kementrian Agama.

Waktu pembelajaran, biasanya untuk Madrasah Ibtidaiyah swasta dilaksanakan sore hari sehabis dhuhur, kecuali yang Negeri, dilaksanakan pagi hari sama dengan SD, sedangkan untuk tingkat Tsanawiyah dan Aliyah hampir seluruhnya dilaksanakan pagi hari.

Sekolah Agama, hususnya Madrasah Ibtidaiyah, bisa dilihat di daerah daerah yang punya basis kultural Islamnya kuat, di Banten misalnya, hampir disetiap desa bahkan tiap kampung punya Madrasah Ibtidaiyah swasta, yang negeri bisa dihitung dengan jari. Oleh karena itu, anak anak pagi sekolah SD, sorenya sekolah Agama.

Saya yang hidup dikampung, ikut merasakan sekolah rangkap, pagi SD, sore Madrasah Ibtidaiyah, bahkan ketika naik jenjang ke tingkat SLTP, saya memilih pagi sekolah di Madrasah Tsnawiyah, sorenya sekolah di SMP swasta.

Dengan adanya Kebijakan  FDS  yang diterapkan pada seluruh jenjang Pendidikan, maka dalam satu minggu, sekolah melaksnakan pembelajaran hanya lima hari. Sabtu minggu sekolah libur sama dengan hari kerja aparatur pemerintahan.

Yang terdampak.

Adanya Kebijakan Mentri Pendidikan tentang FDS ini tentu berdampak pada proses belajar mengajar di Madrasah Ibtidaiyah yang merupakan bentuk dari Pendidikan Agama (Islam) secara formal  hususnya yang dilaksanakan pihak swasta dengan waktu penyelenggaraan sore hari.

Meski Kebijakan itu secara resmi tidak menghapuskan Pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, tapi secara procedural pelaksanaan pembelajaran dampaknya sangat jelas, siswa Madrasah Ibtidaiyah akan kosong melompong tersebab siswanya masih bertafakkur dan berkutat di ruang Sekolah Dasar.

Ini bukan sekedar isapan jempol, seperti diberitakan di beberapa harian local Banten, dengan adanya kebijakan FDS ini, sekitar 4000 madrasah diniyah akan guulung tikar dan 20 ribu guru madrasah was was.

Oleh karena itu, nyata sekali Pak Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah membuat keresahan yang amat luar biasa dikalangan ummat Islam, entah berapa ratus ribu atau bahkan jutaan Madrasah Ibtidaiyah swasta yang akan mengalami kekosongan murid, dan berapa juta anak yang kemudian tidak bisa belajar baca Qu’ran, tidak bisa belajar Tajwid, tidak bisa belajar Ahlak, tidak bisa belajar Fiqh, tidak bisa belajar ibadah, tidak bisa belajar Nahwu Shorof secara husus.

Jadi pak Mentri Pendidikan dan Kebudayaan yang pernah menjadi Rektor sebuah Universitas Muhammadiyah ini telah membunuh salah satu aspek Pendidikan yang sangan fundamental bagi kehidupan bangsa ini yakni tentang pentingnya Pendidikan agama bagi anak bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Meski ada dalih bahwa pelaksnaannya tergantung dari kesiapan sekolah, namun dalam praktek, sebuah peraturan akan tetap menjadi peraturan yang secara terstruktur akan tergantung adanya instruksi atasan, jika atasan menginstruksikan pelaksanaan secara penuh, maka secara perlahan dan pasti, Madrasah Ibtidaiyah akan tertelan oleh Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 yang mengatur tentang Sekolah 5 hari itu..

Kalau sudah demikian , maka layak diungkapkan disini tentang sebuah sindiran situasi yang  beberapa waktu silam  menjadi trend melalui stiker yang tertempel di kendaraan umum termasuk juga dalam cetakan kaos yakni sebuah sapaan akrab mantan Presiden Soeharto “Piye Kabare Le, Penak Jamanku To…?.

Ikuti tulisan menarik Kang Nasir Rosyid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler