x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pejabat pun Mengharapkan Tunjangan Hari Raya

Saat menerima insentif/hadiah, tidak ada perbedaan signifikan antara orang kaya dengan orang kaya tanggung atau sangat miskin: Semuanya sumringah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Soal hadiah atau insentif di luar penghasilan reguler, apapun namanya, selalu memiliki daya pikat tersendiri. Untuk kasus Indonesia, salah satu yang paling fenomenal adalah THR (Tunjangan Hari Raya), khususnya menjelang lebaran Idul Fitri. Disebut fenomenal, karena bahkan warga yang sebenarnya tidak memiliki peluang untuk mendapatkan THR, pun ikut-ikutan berbicara dan sibuk tentang THR.

Dan harus dicatat, THR adalah fenomena yang Indonesia banget. Karena itu, kita sulit menemukan padanan istilahnya dalam bahasa lain, misalnya, ketika akronim THR mau diterjemahkan ke Bahasa Inggris atau Bahasa Arab.

Selain itu, THR adalah tema umum setiap menjelang lebaran Idulf Fiti. Seorang petani atau tukang parkir atau ibu rumah tangga, misalnya, sebenarnya tidak memiliki jalur formal-informal untuk mendapatkan THR. Tapi coba cermati deh, hampir semua group chatting ibu-ibu rumah tangga, bahkan kadang lebih ribut berbincang soal THR.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan jangan dipikir para pejabat tinggi negara, katakanlah pejabat setingkat menteri dan eselon-1, tidak ngomong soal THR. Mereka juga ngomongin THR. Tentu sambil memikirkan berapa besaran THR untuk jajaran pejabat di bawah menteri, hingga pegawai paling rendah golongannya dalam struktur kepegawaian, baik di pemerintahan ataupun di swasta.

Jumat pagi hari ini, sebagai contoh, saya baru saja menerima sms dari seorang teman bahwa dalam rapat koordinasi yang melibatkan empat unsur peradilan nasional  (PN, PA, PTUN, Militer) di tingkat provinsi, para hakim justru antusias curhat soal THR.

Saking seriusnya, THR yang notabene bukan persoalan resmi kenegaraan, tapi mekanismenya harus diatur melalui peraturan pemerintah dan bahkan keputusan eksekutif (Kepres, Kepgub, Kepbup dst), untuk menentukan kapan deadline THR harus dibagikan dan besarannya (biasanya setara gaji), berikut sanksi terhadap lembaga atau perusahaan yang "mangkir membagi THR".

Dan mengacu pada pengalaman bertahun-tahun mengamati fenomena THR, di tingkat lokal ataupun secara nasional, saya punya tiga catatan umum sebagai berikut:

Pertama, sesuai nama dan peruntukannya: THR (Tunjungan Hari Raya), maka semua uang THR, berapapun nilainya, biasanya juga akan ludes selama lebaran tahun itu. Dia tandas dan selesai sesuai dengan nama dan peruntukannya. Total THR yang katakanlah Rp5 juta akan habis di musim lebaran, begitu juga jika THR itu bernilai Rp10 juta atau Rp15 juta.

Kedua,akibat dari pembayaran THR berlangsung di semua level, konsekuensi lanjutannya adalah fenomena THR berjenjang. Maksudnya, pimpinan kementerian akan memberikan THR kepada Eselon-1, dan Eselon-1 akan membagi THR kepada Eselon-II, dan begitu seterusnya sampai pegawai golongan terendah di setiap instansi.

Ketiga, saat menerima insentif/hadiah berupa THR atau oleh-oleh lainnya, ternyata tidak ada perbedaan signifikan antara orang kaya dengan orang setengah kaya atau kaya tanggung atau agak miskin atau orang miskin. Mungkin gampang memahami dan dianggap normal jika orang miskin bergembira saat menerima THR. Tapi percaya deh, jika THR itu diberikan kepada orang yang sangat kaya sekalipun, sumringahnya sama persis dengan sumringahnya orang miskin. Sebab bukan semata karena nilainya, tetapi di dalam setiap hadiah apapun jenisnya, apalagi berupa THR menjelang lebaran, terkandung makna penghargaaan dan penghormatan dari pihak pemberi kepada pihak yang penerima.

Syarifuddin Abdullah | 16 Juni 2017 / 21 Ramadhan 1438H.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler