x

Iklan

Fajar Anugrah Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Konflik Qatar

Qatar dan negara Arab sedang bersitegang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

            Konstalasi politik Timur Tengah kembali memanas. Kali ini bukan cerita tentang Suriah atau Israel-Palestina, tapi tentang Qatar. Qatar mengalami embargo dari beberapa negara Arab. Arab Saudi, Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, UEA, dan Maladewa memutuskan hubungan diplomasi secara beruntun dengan Qatar yang dimulai pada tanggal 5 Juni lalu. Pihak pemutus hubungan diplomatik beranggapan Qatar terlibat dalam gerakan radikal. Sementara Qatar membantah keterlibatan dalam gerakan radikal. Sanggah-menyanggah masih terus terjadi.

            Disaat sanggahan terus terjadi, dampak yang ditimbulkan pasca pemutusan hubungan diplomatik itu cukup signifikan. Akibat pemutusan hubungan diplomasi ini, jalur lalu lintas baik darat, air, dan udara terputus. Diplomat-diplomat Qatar diusir. Qatar dikeluarkan dari pasukan aliansi di Yaman. Jaringan televisi satelit Al-Jazeera diblokir. Harga minyak mentah Brent naik. Indeks saham Qatar di titik terendah sejak Januari 2016. Keadaan semakin parah ketika terjadi antrian panjang di pusat perbelanjaan akibat stok pangan yang terbatas.

Reformasi Ekonomi Politik

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh negara-negara Arab yang memutus hubungan diplomatik ini? Betul, hanya satu, yakni kecemburuan. Qatar dalam waktu belakangan ini tengah melakukan akselerasi reformasi di bidang ekonomi dan politik dalam negeri. Pengamat Timur Tengah dari Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) M. Hamdan Basyar berkata, Qatar terlalu maju dalam inovasi sektor politik dan ekonomi sehingga menimbulkan kecemburuan UEA dan Arab Saudi. Penghasilan per kapita Qatar mencapai 70 ribu dollar AS, yang 17 kali dari Indonesia. Setahun, warga disana memiliki gaji 800 juta. Ini disebabkan pada terpenuhinya indikator kemajuan negara yang berbasis pada geografi, geologi, demografi. Singkat kata, semua ada di Qatar.

Selain itu, Qatar juga telah membangun universitas ternama di Timur Tengah yang mengungguli UEA dan Arab Saudi. Keadaan inilah yang membuat Arab Saudi perlu ‘mencubit’ kuping Qatar agar tidak terlalu maju. Apalagi Arab Saudi yang notabene menjadi kiblat Timur Tengah selalu merasa ingin maju selangkah dari negara-negara lain di Timur Tengah. Ini apa? Inikah negara serumpun itu? Serumpun boleh, tapi itu dalam etnisitas. Dalam ekonomi, tunggu dulu. Tebas-menebas, sikat menyikat halal dilakukan. Ini menyangkut persoalan hajat hidup banyak orang. Ini juga menyangkut martabat negara. Pikir mereka, jangan sampai ditinggal gerbong. Bila perlu, gerbong yang lain harus diputus, guna memuluskan langkah mereka mencapai tujuan tertenu. Oh,,,, betapa liciknya.

            Memang secara geografi, Qatar dihimpit oleh negara-negara yang memutuskan hubungan diplomatik secara sepihak. Tapi, kekuatan Qatar tidak bisa dipandang rendah. Qatar tidak bisa sepenuhnya di blokade. Secara geopolitik, Qatar menjadi tempat yang strategis dan sentral di negara Teluk. Ia menjadi anak manis dalam perdagangan minyak dunia. Ia menjadi negara ketiga yang menghasilkan minyak terbanyak di dunia. Ia masih memiliki akses dalam menjalankan diplomasinya ke negara lain melewati Iran dan Turki.

            Keadaan inilah yang kemudian memicu Iran dan Turki bereaksi. Bahkan Turki dengan tegas mengatakan akan mengirimkan tentara membantu perbatasan Qatar. Jadi, jika Arab Saudi dan UEA bermain api, maka Turki siap membantu Qatar meledakkannya. Kita jangan lupa, bila dalam perang, Turki termasuk jago dan hebat. Strategi perang Turki sudah dikenal di masa Ottoman. Tapi, harapan kita tak sampai terjadi pertumpahan darah. Ini persoalan sepele, dan lagi-lagi, kita harus pahami ada devide et impera dibalik ini.

            Menanggapi kejadian ini, Kuwait yang juga menjadi negara penghasil minyak terbesar di Timur Tengah angkat bicara. Kuwait siap menjadi mediator antara negara Qatar dengan ketujuh negara itu. Apalagi Kuwait memiliki peran sentral pula dalam konstalasi politik Timur Tengah, khususnya di negara Teluk. Kuwait juga mendorong dilakukannya rekonsiliasi berbasis dialog guna menyelesaikan konflik internal negara kawasan Timur Tengah itu.

            Selain andil negara Timur Tengah, Donald Trump juga angkat bicara soal ini. Trump awalnya mendukung penuh apa yang dilakukan Saudi terhadap Qatar. Namun, akibat adanya pangkalan militer di Doha, pejabat pertahanan AS justeru memuji Doha, dan balik mendukung Qatar. Setelah itu, Trump pun akhirnya menelepon Emir Qatar untuk melakukan rekonsiliasi dengan negara yang memutuskan hubungan diplomatik tersebut guna mencairkan suhu politik yang memanas. Sungguh hebat, Trump yang notabene adalah sekutu Saudi melakukan demikian. Politik memang sulit ditebak.

            Konflik Timur Tengah terus menjadi headline pemberitaan media massa. Pasalnya, Timur Tengah menjadi penyumbang terbesar minyak dunia. Total 49 persen minyak dunia ada di Timur Tengah. Wajar saja kemudian Timur Tengah terus berkonflik. Inilah yang dikatakan oleh Anthony Smith, konflik terjadi karena adanya benturan kepentingan satu entitas dengan entitas lain. Jelas, di negara Timur Tengah, kita contohkan Qatar, ada dua kepentingan yang berbeda. Qatar yang ingin mengakselerasi ekonomi-politiknya di satu sisi. Namun disisi lain ada Arab Saudi yang tidak suka dengan kemajuan itu. Dan ini digembosi oleh dua negara yang bermusuhan pula. Satu Iran, dan di lain sisi ada Amerika Serikat. Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan bentrok politik negara-negara tersebut tak terhindarkan.

             Seharusnya, suatu negara tidak cemburu melihat perkembangan negara lain, yang itu serumpun pula masing-masing negara tersebut. Yang jadi masukan dan otokritik sebenarnya pada ketujuh negara yang memutus hubungan diplomatik. Ini adalah sinyal peringatan bagi mereka. Apalagi Yaman, negara miskin. Pintar-pintaran pula melakukan pemutusan dengan Qatar. Itu sama saja negara yang tak tahu diri. Sudah miskin sok jago dan ikut-ikutan pula. Perlu kita kritisi. Yaman itu pernah diserang oleh Arab Saudi. Tepat pada bulan Maret 2017 lalu, Arab Saudi menyerang Yaman dan menewaskan sekitar 106 orang (sipil tak bersalah). Nah loh, kini mereka berkoalisi. Dari sini saja kita dapat menyimpulkan bahwa ini semua soal kecemburuan. Cemburu melihat kemajuan negara lain.

            Kalau sudah begini, seharusnya negara-negara Arab harus berintrospeksi diri. Melakukan pengembangan negara dengan berbasis pada rakyat perlu dilakukan. Jangan justeru cemburu buta dengan negara lain yang maju perekonomiannya. Cemburu boleh saja. Tapi, cemburu itu tidak lantas direalisasikan menjadi tindakan politik dengan memutus hubungan diplomasi dengan yang lain. Justeru, itu menjadi pelecut dan menjadi akselerator dalam memajukan negara tersebut. Singkat kata, negara hanya bisa mencipta perubahan bila orang-orang yang didalamnya mau bersatu. Ini menjadi otokritik bagi negara-negara di seluruh dunia. Mari membangun negara masing-masing. Jangan justeru sibuk mengurusi negara orang lain. Semoga.

Penulis adalah anggota Toba Writers Forum dan alumni kelas menulis Tempo.

 

Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

23 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB