x

Sejumlah anak-anak membawa lampion berbentuk bintang saat melakukan takbir keliling di Mataram, NTB, 5 Juli 2016. Takbir keliling dilakukan untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1437 H yang jatuh pada hari Rabu, 6 Juli 2016. ANTARA/Ahmad Suba

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyoal Takbir Keliling Malam Lebaran

Himbauan aparat keamanan agar prosesi takbir menyambut kedatangan Idul Fitri cukup dilakukan di masjid-masjid tak akan mengurangi kemeriahan lebaran

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Himbauan Kapolda Metro Jaya, Irjen Mochamad Iriawan agar warga Jakarta tidak melakukan takbir keliling di jalan-jalan dalam menyambut Idul Fitri haruslah dipandang sebagai “perintah umara” yang sudah seharusnya ditaati. Menjalani dan mengikuti perintah “ulil amri” atau pemerintah adalah sebuah keharusan terlebih terkait erat dengan soal ketertiban dan keamanan masyarakat. Dalam kitab suci al-Quran bahkan disebut bahwa ketaatan kepada pemerintah levelnya sama dengan ketaatan kepada  Tuhan dan juga pada Rasul, sehingga apa yang diperintahkan jika itu akan membawa kebaikan, wajib untuk diikuti dan ditaati. “’Athii’u allaha wa ‘athii’u ar-rasuula wa ulil amri minkum” (Taatilah Tuhanmu, taatilah para Rasulmu dan pemerintah diantara kalian).

Himbauan aparat keamanan agar prosesi takbir menyambut kedatangan Idul Fitri cukup dilakukan di masjid-masjid tak akan mengurangi kemeriahan bahkan akan lebih memperoleh kekhusukan bagi seluruh rangkaian kegiatan takbir ini dijalankan. Bukankah takbir itu merupakan dzikir yang butuh ketenangan dan keheningan batin? Sehingga lantunan-lantunan dzikir yang kita dengungkan justru akan menambah kuat kekokohan hati kita kepada Tuhan? Jika lantunan dzikir justru keluar dari dimensi kekhusukan terlebih dilantunkan dengan teriakan-teriakan yang “merusak” suasana batin kita kepada Tuhan, maka dipastikan, takbir itu akan hilang begitu saja tanpa manfaat, tak pernah menghunjam ke dalam batin kita. Esensi dzikir sejatinya adalah pembentukan karakter batin  dan suasana jiwa seseorang agar lebih lembut sehingga tumbuh rasa kasih sayang kepada sesamanya.

Takbir yang dikumandangkan pada malam Idul Fitri adalah ungkapan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan atas segala nikmat yang dianugerahkan kepada manusia dan seluruh makhluk hidup yang ada. Hitungan berpuasa yang telah mencukupi—sesuai dengan proses hisab dan rukyat—menjadi pertanda akhir dalam gemblengan madrasah ruhaniyah yang selama Ramadan diperoleh, sehingga ketika hitungan puasa disempurnakan, manusia patut bersukur atas selesainya serangkaian kegiatan Ramadan dengan mengumandangkan kalimat takbir. Sepanjang pengetahuan saya, bahwa tak pernah ada dalam sejarah Islam, bahwa kumandang takbir kemudian diteriakkan dengan menaiki kendaraan dan berkeliling sepanjang jalan. Alangkah khidmatnya ketika takbir justru berkumandang dari sebuah masjid, dilantunkan bersama-sama secara khusyuk dan tertib, pasti akan lebih merasakan kenikmatan berdzikirnya dibanding teriak-teriak sepanjang jalan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai seorang muslim, saya justru melihat bahwa kebanyakan diantara kita terlalu terpukau dan bangga dengan hal-hal yang bersifat simbolik, tetapi seringkali abai terhadap nilai-nilai terdalam yang mampu membangun keutuhan karakteristik. Pemandangan keagamaan kita dipenuhi oleh hal-hal yang serba “kaget”, memposisikan seakan diri kita “orang baru” dalam hal agama. Seringkali tanpa sadar, kita bangga dan hormat kepada urusan jubah yang panjang atau serban yang melilit di kepala, tetapi kita melupakan mereka yang berpakaian alakadarnya, sederhana, tetapi benar-benar menjalankan kewajiban agamanya. Fenomena ini kadang mengingatkan saya ketika baru saja resmi menjadi mahasiswa baru yang bangga dengan jaket almamaternya dan selalu dipakai kemana-mana.

Anehnya, ketika kemudian himbauan takbir yang dikeluarkan pihak keamanan agar dilakukan di masjid-masjid, tentu ada saja ada yang nyinyir bahkan melawan dengan beragam upaya, termasuk menunjukkan seakan-akan takbir telah dilarang dikumandangkan oleh aparat dan pada akhirnya pemerintah  dianggap melakukan penodaan agama. Padahal, takbir adalah kalimat yang mengagungkan Tuhan, yang jelas akan lebih bermakna jika dikumandangkan di “Rumah Tuhan” dan bukan di jalanan. Ketika kita memahami bahwa takbir adalah bentuk dzikir dan cara seseorang mendekatkan diri kepada Tuhannya, maka sudah seharusnya takbir dilakukan secara tenang dan khusyuk dalam suasana keheningan batin di dalam masjid atau tempat-tempat hening lainnya.

Bagi saya jelas, bahwa tidak ada satupun dasar keagamaan yang kuat menyuruh agar mengumandangkan takbir saat malam Idul Fitri di jalanan dengan cara melakukan arak-arakan kendaraan. Bahkan perintah dalam al-Quran terkait akhir Ramadan ketika diperintahkan bertakbir menyambut Idul Fitri hendaklah tetap dijalankan dalam suasana bersyukur penuh khidmat selaras dengan petunjuk Tuhan yang selama ini selalu dihadirkan kepada manusia. Nuansa syukur yang terbaik adalah menunjukkan “timbal balik” atas seluruh kenikmatan Tuhan, melalui bertambahnya kebaikan yang ada dalam diri seseorang. Kebaikan tentu saja tidak hanya akan kembali menjadi kebaikan bagian bagi dirinya, tetapi akan dirasakan kemanfaatannya oleh orang lain.

Saya justru sangat mengapresiasi pihak aparat keamanan yang melarang agar kumandang takbir menyambut Idul Fitri tidak dilakukan di jalanan, tetapi dihimbau dapat secara tenang dan khusyuk dilakukan di masjid-masjid. Himbauan ini jelas, tidak hanya berdampak pada tercapainya ketertiban dan kedamaian di tengah masyarakat, tetapi juga akan memberikan dampak batin pada setiap pelantun takbir ketika benar-benar dirasakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Dengan menganggap takbir sebagai dzikir, maka ia akan menjadi satu-satunya perbuatan yang lebih baik dan bahkan jika dinilai dengan kekayaan maupun materi, dzikir masih tetap lebih mulia disisi Tuhan. Lakukanlah dzikir secara khusyuk, penuh ketenangan untuk mencapai kebersihan jiwa sehingga kotoran-kotoran seperti kebencian, permusuhan, fanatisme, kesombongan justru terkikis oleh lantunan dzikir.

Berakhirnya Ramadan yang hanya tinggal hitungan hari memang sudah seharusnya diiringi oleh rasa syukur tak terhingga, karena kita masih bisa dipertemukan dan diberikan keistimewaan dalam bulannya. Tidak lantas diiringi dengan kesenangan yang berlebihan, yang seakan-akan itu diyakini sebagai sebuah kebenaran, padahal justru merusaknya. Takbir yang dikumandangkan sebagai perintah Tuhan di setiap akhir Ramadan hendaklah menjadi ungkapan rasa syukur yang dilantunkan menjadi dzikir yang berkumandang di masjid-masjid secara khusyuk dan damai. Penuhilah seluruh ruang batin yang tersisa dengan dzikir kepada Tuhan, hayati dan yakini bahwa dzikir akan meningkatkan derajat seseorang di mata Tuhan, bukan derajat seseorang di mata orang lain. Bertakbirlah dengan dorongan rasa syukur dan iman, bukan atas dorongan nafsu dan kesombongan!

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler