Tiba-tiba dunia dikejutkan oleh aksi pemboikotan sekelompok negara terhadap negara lain. Pemboikotan itu tidak meminta pendapat (resolusi) PBB. Pemboikotan tidak seputar merek, produk barang dan jasa. Tapi total: blokade ekonomi, blokade darat laut udara, pengusiran diplomat, pengusiran warga negara yang diboikot, penutupan perbatasan, dan terutama permintaan tegas terhadap negara yang diboikot untuk tidak lagi memainkan akrobatik politik yakni berangkulan dengan teroris? Itulah vonis Arab Saudi dkk terhadap negara “terdakwa”: Qatar.
Serangkaian momen dipercaya memicu naik pitamnya Saudi terhadap Qatar yakni: Qatar dianggap plin plan. Qatar dituding: di satu sisi rajin berkonferensi di GCC (Gulf Cooperation Council), di sisi lain bermuka dua, menyuapi teroris. Qatar seringkali menyindir negara monarki tetangga dengan nilai-nilai demokrasi. Qatar dinilai sebagai “sunni rasa syiah”, atau “sunni rasa liberal”. Saudi tak suka kedekatan Qatar dengan Iran. Sebagaimana diketahui Iran dan Qatar berbagi cadangan gas lepas pantai. Puncaknya ketika Qatar secara vulgar mengatakan "Iran adalah kekuatan regional dan Islam yang tidak dapat diabaikan." Qatar dinilai sering turut “jahil” dalam mengubah harga minyak dunia menjadi turun, dan mengatur harga lpg, dst. Qatar dinilai ingin mengajari negara-negara monarki Arab tentang demokrasi, sebagaimana diketahui index democracy Qatar (135) lebih tinggi daripada negara-negara pemboikotnya. Salah satu keberanian Qatar menegakkan demokrasi di semenanjung Arab adalah mendukung hadirnya televisi Al Jazeerah yang membolehkan berita-berita berasal dari Arab tanpa sensor, dst.
Qatar dinilai ingin disebut sebagai negara top di jazirah Arab. Qatar dinilai sebagai negara kecil tapi over dosage confident, ingin melampaui kemajuan negara-negara monarki “senior” di Timur Tengah. Faktanya sekarang, Qatar tak ubahnya seperti Singapuranya semenanjung Arab. Itu ditandai spirit perubahan Qatar, dan keunggulan-keunggulan Qatar dalam aspek bisnis internasional, media internasional, gas alam, pariwisata, penerbangan, dst. Tapi bedanya, Singapura lebih cair, lebih terbuka dan lebih mendengar terhadap negara-negara tetangga (Asean).
Qatar dinilai terlampau percaya diri menyentil negara-negara monarki Timur Tengah karena berasumsi bahwa mereka lebih dirangkul Amerika sebagai penyokong utama demokrasi dunia, apalagi negara adi daya itu memiliki pangkalan militer di Qatar. Tapi Qatar lupa, bahwa Donald Trump bisa memainkan “politik banyak kaki” dan bisa mengubah secara mendadak jarum kompaspolitik 180 derajat, terutama ketika kepentingannya terdesak di timur tengah. Donald Trump tidak sungkan menyetujui proposal pembelian alutsista bernilai $300 milyarke Arab Saudi. Artinya dengan alutsista itu, Saudi tak ingin berlama-lama untuk menghabisi teroris-teroris yang selama ini disuapi Qatar seperti ISIS, militan Yaman, dst. Atau pada puncaknya, Saudi menganeksasi Qatar pasca Qatar dikucilkan masih tak mau juga berubah? Maka tak heran empat hari pasca Saudi memutus hubungan dengan Qatar, menlu AS, Rex Tillerson gusar akan kepentingan AS di Timur Tengah dan meminta negara-negara yang bersitegang melonggarkan tensinya. "Blokade itu mencederai aktivitas AS dan bisnis internasional lainnya di kawasan", ujar Tillerson.
Selain merasa didukung Amerika, Qatar pun merasa didukung Iran, Turki, dan Rusia. Gerak cepat Iran dan Turki memasok bantuan makanan, air dll pasca diboikot Saudi dkk menunjukkan betapa erat hubungan negara-negara itu. Iran mempersilakan wilayah udara dan lautannya untuk dilalui kapal-kapal dan pesawat maskapai Qatar. Iran menyiapkan tiga pelabuhannya untuk menjadi lalu lintas angkutan dan perdagangan dengan Qatar. Dan patut dipahami, kini Qatar hanya memiliki satu-satunya akses laut yakni melalui lautan Iran. Sementara Saudi, UAE, dan Bahrain sudah menutup jalur laut mereka untuk Qatar.
Dalam perseteruan memuncak ini, Qatar diprediksi bisa menciptakan Perang Dingin (cold war) Jilid 2 yakni seperti terjadi antara AS-Uni Soviet pasca Perang Dunia II. Blok barat Arab akan diisi Saudi, UAE, Bahrain, Mesir, Libya, Maladewa dan beberapa negara lain yang kemungkinan akan bergabung. Dan blok timur diisi Qatar, Iran, Turki, Suriah, dan Rusia. Tentu Iran merasa diuntungkan dengan persitegangan ini. Setelah berhasil merayu Rusia untuk mem-back up Suriah, kini Iran seperti kejatuhan buah manis matang dari pohon, yakni bingungnya Qatar dan dipercaya akan lebih merangkul Iran. Blok Timur Arab seakan membesar dan siap head to head dengan Blok Barat pimpinan Saudi yang selalu mendominasi wilayah Timur Tengah selama ini. Akankah jalan itu yang akan diambil oleh Qatar yakni tidak menggubris tekanan dan blocking Saudi cs, atau melunak dan berlepas tangan dengan Iran-Turki? Rasanya mustahil.
Ada kemungkinan Qatar akan melunak sebagian, yakni menuruti kemauan Saudi dengan tidak membantu lagi sekutu Iran (militan di Yaman), tapi tetap mengendap-ngendap membantu milisi yang tertekan di Palestina, dan bagian dunia lainnya. Namun persoalannya apakah Saudi dan aliansi akan menerima perubahan sebagian semacam itu? Rasanya tidak. Jadi trend-nya kedepan kawasan ini akan tetap panas dan terbelah menjadi dua blok menciptakan Perang Dingin Ala Arab.****
Noprizal Erhan
Direktur Institut Paradigma Indonesia
Ikuti tulisan menarik Noprizal Erhan lainnya di sini.