x

Iklan

An Deo Eich

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bunga Rampai Legalisasi Homoseksual

Warga negara berhak untuk hidup aman dan nyaman tanpa diskriminasi karena identitas apapun, pemerintah ada untuk memastikan hak itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Simalakama! Hukum itu dibuat untuk melindungi tiap warga negaranya tanpa diskriminasi karena identitas apapun, termasuk ketertarikan seksual atau gender. Di sisi yang lain, ada perangkat agama/moral, sebuah panduan dalam hidup untuk memandu manusia menilai sesuatu itu adalah hal yang baik atau jahat atau singkatnya melawan ajaran agama.

Praktisnya, aturan hukum dibuat, semata untuk memberi panduan untuk mengatur hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Keteraturan masyarakat!

Beberapa saat lalu, publik dikejutkan oleh berita “tangkap basah” pesta ratusan pasangan homoseksual–gay di sebuah tempat di Jakarta Barat. Penghakiman terjadi dilandasi moralitas bersandar (retorika) kebiasaan dan ajaran agama. Hal – hal terkait perilaku seksual sejenis ini, menjadi bahan tertawaan dan cemohan. Perilaku seksual yang menyukai sesama jenis ini (lesbian --L-- untuk wanita ; gay --G-- untuk pria) dalam kajian ilmu pengetahuan kedokteran, ternyata ada yang merupakan sebuah proses alamiah. Konstruksi kromosom dalam tubuh L/G membuatnya seperti itu. Hal – hal yang bersifat bawaan ini, harusnya menjadi sebuah pertanyaan berat buat para moralis yang menghakimi. Jika naturalnya seseorang adalah L/G maka konsep moral yang “kadung” mengikuti ajaran agama harus mengakui hal itu sebagai kreasi atau kehendak Tuhan. Kondisi biologis! Kondisi takdir! Sepatutnya semua bersepakat bahwa orang – orang yang menjadi L/G karena faktor "alami" ini haruslah diberikan hak yang sama, seperti juga hak yang diterima semua orang ciptaan “sempurna” Tuhan dalam bentuk pria dan wanita "sejati".

Tingkatan diskusi kemudian –jika berbicara tentang toleransi penerimaan eksistensi L/G ini-- akan(kah) diterima bahwa setiap orang berhak pada akhirnya memilih untuk menjadi L/G karena, di hadapan hukum, yang pasti hal itu bukan kejahatan. Tidak ada hukum yang mengatur menjadi L/G adalah kejahatan. Ironinya, negara Indonesia melihat dan mengetahui keberadaan warganya (L/G) ini, tetapi tidak (bisa) mengambil keputusan untuk melegalkannya dengan mengakui untuk memberi perlindungan atau mengaturnya sebagai kejahatan, masing - masing dengan pro dan kontranya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hukum yang berlaku memang tidak mengatur atau tidak mengenal tentang sebuah konsep/pengaturan akan warganya yang berperilaku seksual L/G dalam tataran pengakuan identitas mereka dengan aturan tersendiri. Konstruksi hukum, berangkat dari limitasi hukum pengakuan warga negara hanya 2 jenis identitas seksual, yaitu pria dan wanita. Asumsi umum, di dunia dan Indonesia, singgungan isu personal ketertarikan seksual (ruang privat) dalam laku sehari – hari (ruang sosial) dengan atau tanpa sebuah undang – undang mengaturnya, tetap saja akan menjadi sebuah “hal aneh dan risih” jika melihat pasangan itu adalah sejenis (homoseksual).

Fakta progress berkata lain. Dunia yang berkembang, mungkin sejak awal kemanusiaan ada, sudah ada orang – orang yang memang “ditakdirkan” atau “memilih” menjadi L/G. Dari rekaman sejarah perkembangan di dunia, kita mengenal Alexander The Great, Leonardo da Vinci, Alan Turing, Michelangelo, Barbara Gitting,  Sally Ride, Harvey Milk, Tammy Baldwin, Ellen DeGeneres, James Baldwin, Harry Hay, Oscar Wilde, Deborah Sampson yang memberi sumbangsih pada dunia. Mereka adalah tokoh dunia yang dicatat sebagai bagian dari kelompok L/G. Di Indonesia, mungkin individu – individu ini, tidak muncul ke permukaan karena sibuk dengan perang dalam dirinya dengan stigma sosial “masalah” identitas L/G ini, ketimbang kesibukan untuk memberikan waktu baginya, bereksplorasi dengan otak dan kemampuannya di segala bidang kehidupan.

Tokoh dunia L/G yang disebutkan sebelumnya adalah orang – orang yang memberi pengaruh dalam dunia. Amerika Serikat (30-an negara bagiannya) dan Belanda telah melegalkan dan mengakui eksistensi para L/G ini dalam hukumnya (dalam legalisasi perkawinan sejenis). Jangan lupa, negara – negara ini adalah negara dimana pondasi agamanya kuat (di Amerika mayoritas agama Kristen) sebagai pedoman hidup di ruang privat. Agama mereka tidak mengakui perkawinan sejenis, tetapi konstruksi hukum negara adaptif mengakui eksistensi mereka.

Di Indonesia, perkara pengakuan eksistensi L/G ini memang simalakama karena konsep nilai – nilai atau keyakinan dalam masyarakat yang beragam tetapi sepakat menolak perilaku L/G ini. Pengingkaran realita dengan penolakan tanpa solusi. Malangnya, adalah bahaya laten, berupa “teror psikologis” yang dialami para generasi muda yang “dikutuk” menjadi L/G. Remaja muda yang akan melihat diri mereka sendiri sebagai manusia yang cacat. Bisa mengarah kepada depresi, melukai diri sendiri dan bunuh diri. Diperparah, saat masyarakat memaklumkan untuk di-bully oleh lingkungan di ruang publik. Stigma terhadap L/G ini yang sangat tidak logis dari sisi pengetahuan dan keilmuan. Opsi, keharusan diberikan pendidikan/sosialisasi kepada masyarakat tentang cara memandang para masyarakat L/G ini. Karena sejak 1973, di Amerika, Asosiasi Psikiater Amerika telah menyatakan mencabut homoseksualitas sebagai disorder. Pendekatan penanganan dan perlakuan pada L/G ini harus diubah dari pendekatan keyakinan/agama ke pendekatan kesehatan/ilmiah.

Menjadi L/G itu sejatinya sudah merupakan “kutukan” bagi mereka, karena tentu mereka tidak bisa ekspresif menunjukkannya. Mereka tidak meminta untuk dilahirkan dengan kondisi biologis yang mengarahkan perilaku nyaman emosional dan seksual kepada sejenis. Sanksi cibiran dan sanksi sosial lainnya tentu sudah sangat memberatkan bagi perkembangan mereka sebagai warga negara atau masyarakat, yang dari "kacamata" persamaan, seharusnya juga diberikan kondisi sosial aman dan nyaman untuk berkembang dengan potensi yang dimiliki. Ujungnya, demi konstribusi bagi negaranya dan dunia.

Upaya pemerintah untuk mengakomodir para warganya yang “terpilih” menjadi L/G untuk diperlakukan setara dengan warga negara lainnya yang “normal” adalah keharusan. Hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sudah dibuat, dalam artian tidak ada dan tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apapun kepada mereka yang adalah L/G. Mereka harus dipandang sebagai warga negara yang harus mendapat perlindungan dari pemerintah yang didukungnya. Pelukan dari tanah airnya.

Jika, berpihak kepada fakta yang ada, sebuah pilihan hukum dari pemerintah untuk mengakui eksistensi mereka warga – negara L/G untuk dilindungi haknya dalam segala bidang kehidupan. Dimulai dengan merekonstruksi undang – undang perkawinan. Tidak harus antara pria dan wanita. Ini hanya logika berdasar fakta perkembangan pengetahuan dan hitungan pro dan kontra. Hanya menunggu waktu tibanya di Indonesia, saat pengakuan L/G ini dalam sistem hukum di Indonesia.*

Ikuti tulisan menarik An Deo Eich lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler