x

Iklan

Flo K Sapto W

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penciptaan Karya Sastra dari Perspektif Pemasaran

Pendekatan Keinginan Konsumen dalam Penciptaan Karya Sastra

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penciptaan Karya Sastra dari Perspektif Pemasaran[1]

Oleh: Flo. K. Sapto W.

 

Karya sastra merupakan potret kehidupan yang diangkat pengarang dalam dunia imajinasi dan dengan kreativitasnya mampu disuguhkan layaknya realitas kehidupan. Proses penciptaannyapun sangat beragam dan unik. Namun banyak sastrawan meyakini bahwa 80 persen diantaranya ditentukan dengan kerja keras dan 20 persen sisanya melalui talenta (Sutejo, 2010). Sehingga dapat dikatakan bahwa sastra lahir bukan atas kekosongan jiwa. Ada makna tersurat dan tersirat yang perlu dihayati serta dipetik sehingga bermanfaat untuk proses kehidupan manusia.

Secara umum karya sastra harus bertujuan dan berfungsi -dulce at utile (menghibur dan bermanfaat). Keindahan karya sastra dapat dinikmati dari suguhan diksi, gaya bahasa, maupun temanya. Namun demikian, manfaat karya sastra kadang sulit dinikmati oleh masyarakat secara luas karena keengganan untuk membacanya. Keengganan membaca karya sastra diyakini muncul karena berbagai sebab. Secara obyektif bisa jadi produk karya sastra itu sendiri yang memang tidak layak dikonsumsi -paling tidak menurut versi konsumen. Sementara itu tidak dimungkiri juga bahwa tudingan banyak ditujukan pada masih rendahnya minat baca pada masyarakat kita. Sehingga karya sastra belum bisa menemukan konsumennya yang tepat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di dalam banyak kajian tentang kesusastraan sampai saat ini masih banyak yang berkutat hanya pada domain ekpresif (penulis), isi (obyektif), dan kaitannya dengan realitas (mimetik), maupun respon pembaca (reseptif). Kajian yang berkaitan dengan faktor lain yang sebetulnya juga sangat menentukan sukses tidaknya sebuah karya sastra sampai ke end user masih jarang dilakukan. Kajian itu misalnya berkaitan dengan penerbitan, distribusi, dan promosi (Wiyatmi, 2008). Terlebih lagi adalah mengenai pendekatan yang lebih spesifik pada kepedulian tentang apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh konsumen. Untuk itu, studi tentang perilaku konsumen (pembaca) kiranya perlu dilakukan sebagai bagian dari pendekatan penciptaan karya sastra yang berbasis market driven[2].  

Di dalam pendekatan market driven, karya sastra dipandang sebagai sebuah produk dari hasil proses kreatif penulis bagi pembaca yang ditempatkan sebagai konsumen. Karya sastra sebagai sebuah produk dengan demikian harus bisa menyajikan sebuah performa tertinggi pada konsumen. Performa tertinggi merupakan salah satu instrumen yang harus dipenuhi oleh sebuah produk dalam pemasaran. Hal ini merupakan sebuah kondisi yang menunjukkan sebuah produk yang berkualitas. Performa tinggi yang menunjukkan kualitas itu pada gilirannya akan mampu memberikan kepuasan kepada konsumen. Karya sastra sebagai sebuah produk tidak bisa lepas dari tujuan mendasar ini, yaitu memberikan kepuasan kepada end user consumer (pembaca). Produk yang mampu memberikan kepuasan kepada konsumen pada akhirnya akan memberikan pengaruh positif atas image dan reputation terhadap produk karya sastra itu sendiri.

Sebuah image dan reputation positif atas sebuah produk yang muncul setelah dilakukan evaluasi terhadapnya mendorong konsumen untuk bersikap loyal. Selanjutnya sikap loyal akan menuntun konsumen untuk melakukan pembelian ulang terhadap produk (karya sastra) berikutnya di masa depan. Kondisi ini akan dengan sendirinya menjadikan eksistensi karya sastra sebagai sebuah produk yang sustainable.

Permasalahan.Keberlanjutan(sustainability) karya sastra erat kaitannya dengan terbeli-tidaknya karya sastra oleh konsumen. Untuk itu, tidak dengan maksud hendak memancing perdebatan panjang antara hasil penilaian kritikus sastra dan tingkat konsumsi konsumen terhadapnya yang kadang justru kontradiktif, di dalam makalah ini terutama memang sedikit mengabaikan hal itu. Berdasarkan sudut pandang pemasaran, penetapan sebuah produk yang baik pertama-tama adalah pada kalkulasi terbeli-tidaknya produk tertentu tersebut. Produk yang terbeli dalam skala massif dan berulang kali (naik cetak) dengan demikian adalah produk yang sekaligus menunjukkan kemampuannya memberikan kepuasan kepada konsumen. Namun makalah ini tentu saja juga tidak bermaksud mengabaikan unsur tanggung jawab moral para sastrawan dalam sumbangsihnya terhadap humanisme dan peradaban dengan kemudian -misalnya- membuat karya sastra asal laku. Sebab di dunia pemasaran juga memiliki koridor legal ethic yang kurang lebih sama.

Di era 2000-an ini, dunia sastra di nusantara diwarnai oleh beberapa produk sastra yang bisa menunjukkan kemampuan daya jual tinggi serta naik cetak berulangkali. Hal itu salah satunya ditandai dengan terbitnya beberapa novel best seller seperti misalnya adalah Trilogi Supernova (2006), Ayat-ayat Cinta (2006)[3], Laskar Pelangi (2006), dan Hafalan Shalat Delisa (2008). Keempat novel tersebut paling tidak sudah naik cetak lebih dari 5 kali. Sebuah pencapaian cukup fenomenal terutama jika dibandingkan dengan novel-novel karya para senior di dunia sastra sebelumnya seperti Putu Wijaya, Budi Darma, Y.B. Mangunwijaya, dan Ahmad Tohari (Wiyatmi, 2008). Kenyataan di atas sekaligus menepikan sinyalemen bahwa karya sastra Indonesia saat ini kurang diminati oleh publik sendiri.   

            Fenomena di atas sekaligus bisa menjadi pertanyaan khususnya bagi para produsen (penulis) dan jaringan pemasaran karya sastra (penerbit, biro iklan, distributor, agen, dsb-nya), serta konsumen (audience). Pertanyaan tersebut adalah (1) apakah karya-karya best seller di era 2000-an itu murni karena tema dan keindahan bahasa yang diusungnya atau karena kolaborasi dengan kecanggihan strategi pemasarannya? (2) Jika betul karena kolaborasi diantara keduanya, apakah lalu berarti karya sastra harus selalu menjadi best seller dahulu untuk bisa dinikmati oleh konsumen?

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu kiranya dipahami juga bahwa situasi pasar konsumen (pembaca sastra) sudah berubah seiring dengan kemajuan jaman. Dunia sastra yang tidak bisa dipisahkan dengan realitas juga dengan sendirinya terpengaruh. Penggunaan teknologi informasi menjadi salah satu faktornya. Maraknya penggunaan jejaring sosial di dunia maya (Facebook, Twitter, Blog, dsb-nya) maupun kecanggihan berbagai smart phone turut membawa perubahan signifikan. Salah satu dampaknya adalah pada kemudahan akses untuk berekpresi dalam komunikasi atau sekedar sebagai narasi pribadi. Hal yang menarik adalah bahwa 58 % isi blog ternyata didominasi oleh cerita pribadi (Putera, 2008).

Kemudahan serupa dalam bentuknya yang paling klasik dan sederhana sebetulnya sudah bisa ditemui juga dalam media short message service (SMS) maupun dalam bentuk evolusinya melalui Blackberry Messenger (BBM). Di saat pengguna Facebook dan Twitter cenderung menurun media komunikasi yang disebut terakhir justru menunjukkan tren pertumbuhan yang cukup tinggi. Paling tidak saat ini ada lebih dari 3 juta pengguna BBM di Indonesia dan berpotensi terus bertumbuh. Kelompok pengguna BBM ini merupakan representasi segmentasi konsumen tertentu yang mampu mendapatkan kemudahan menikmati broadcast[4] nukilan cerita, kata-kata bijak penuh makna (puisi), maupun sekedar humor ringan dalam keleluasaan yang nyaris tak terbatas frekuensi penerimaannya.

Jika materi broadcast tersebut bisa dianggap sebagai kristalisasi karya sastra maka segmen konsumen ini merupakan penikmat sastra dalam bentuknya yang singkat dan padat. Untuk itu, mengkaji keberadaan pengguna BBM atas apresiasinya terhadap karya sastra kiranya cukup menarik diketahui. Di dalam paper ini sampel responden dipilih secara acak dari berbagai BBM grup yang dikenal oleh penulis. Materi pertanyaan dibroadcast melalui BBM dan jawabannya pun demikian juga. Jawaban yang kembali dan diolah berasal dari sejumlah 45 responden.

Pembahasan.  Di dalam pendekatan pemasaran,karya sastra sebagai sebuah produk kreatif tentunya tidak bisa lagi hanya didasarkan pada konsep pemikiran bahwa sastra adalah untuk sastra. Pemikiran semacam itu tidak hanya egois dari sisi spiritual tapi juga tidak produktif sama sekali bagi sebuah upaya memberikan manfaat melalui sebuah karya sastra yang bisa terjual bagi masyarakat dunia. Kesalahan yang ditimpakan kepada konsumen sebagai end user yang tidak memiliki minat baca tinggi tidaklah adil. Sebaliknya dari sisi konsumen sebagai pihak yang mengkonsumsi karya sastra juga sah-sah saja jika merasa bahwa tidak berguna menikmati karya sastra yang memang unsatisfication.

            Pada hakekatnya, sastrawan sebagai produsen harus juga melihat karakteristik konsumen yang akan dibidiknya. Sehingga pendekatan terhadap apa yang dimaui oleh pasar konsumen adalah sangat penting. Di dalam dunia pemasaran prinsip bagi pemenuhan kebutuhan konsumen adalah yang utama. Salah satu perangkat untuk mengetahui karakteristik konsumen adalah dengan melihat komposisi demografisnya.

Di dalam paparan ini profil pengguna BBM yang disurvei didominasi oleh wanita (87 %) dengan tingkat pendidikan S 1 (47 %) dan usia di < 30 tahun (27 %) serta pekerjaan didominasi oleh pegawai swasta (40 %). Selanjutnya peringkat penghasilan terendah adalah < 5 juta (47 %) dan berturut-turut kemudian adalah > 5 – 7.5 juta (27 %), diikuti > 7.5 – 10 juta (13 %) dan terakhir adalah > 10 juta (13 %).

Sedangkan profil jawaban responden tentang ketersediaan waktu untuk membaca karya sastra adalah masih ada waktu (40 %), kadang-kadang (27 %), berharap bisa punya waktu (13 %), dan tidak punya waktu sama sekali (20 %). Selanjutnya terhadap pertanyaan tentang hal yang menarik dalam pertimbangan membeli karya sastra adalah rekomendasi dari teman (33 %), judul / tema (27 %), nama besar pengarang / best seller (27 %), serta desain cover (13 %. Berikutnya mengenai pertanyaan tentang pengaruh tebal-tipisnya buku atau panjang-pendeknya cerita jawabannya adalah tidak berpengaruh sama sekali (40 %), berpengaruh (33 %), dan sangat berpengaruh serta kadang-kadang berpengaruh (13 %). Adapun berkaitan dengan besarnya nominal atau ada-tidaknya budget bulanan untuk membeli  karya sastra jawabannya adalah tidak tentu (33 %), < 100 ribu (27 %), > 100 ribu – 500 ribu serta tidak ada budget (13 %). Terakhir adalah respon responden terhadap broadcast yang diterimanya melalui BBM jawabannya adalah kadang-kadang menikmati (47 %), sangat menikmati (33%), biasa saja (13 %), dan tidak menikmati sama sekali (7 %).

Implikasi Menejerial.Profil responden yang diteliti di atas bisa digunakan untuk memulai sebuah penciptaan karya sastra dengan mempertimbangkan tema yang sesuai untuk golongan usia terbanyak (wanita), dengan profesi sebagai wanita karier (pegawai swasta), berpendidikan (strata 1), dengan ketebalan buku yang sedang, dan strategi harga jual buku yang sesuai dengan budget bulanan di bawah 100 ribu. Selanjutnya promosi bisa dilakukan dengan memaksimalkan potensi WoM (word of mouth) melalui para endoser yang pas sebagai pemberi rekomendasi buku-buku berkualitas.

Profil tersebut sekaligus juga bisa dipakai sebagai gambaran untuk membidik segmen konsumen tertentu berupa ceruk pasar (niche market) yang belum disasar oleh produsen besar. Sehingga karya sastra tidak harus menunggu menjadi best seller untuk bisa dinikmati oleh konsumen. Sebab segmen pasar tertentu bisa jadi tidak membutuhkan predikat best seller untuk mau membelinya.

Kesimpulan dan Saran.Pemahaman terhadap target konsumen melalui profil mereka akan membantu penciptaan karya sastra yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini mengarahkan penciptaan karya sastra yang berpeluang lebih besar untuk dibeli oleh target pasar. Pemahaman terhadap kondisi dan motivasi serta proses yang menuntun konsumen melakukan pembelian akan bisa juga digunakan untuk menetapkan strategi kemasan (desain cover) dan saluran promosi.

            Pada akhirnya proses penciptaan karya sastra bukan lagi merupakan kegiatan menengadahkan tangan untuk ide yang diharapkan jatuh dari bawah pohon atau muncul dari ruang-ruang sunyi tempat bersemedi melainkan sebuah proses kreatif yang dilakukan melalui arahan-arahan jelas dan kerja keras. Selamat mencipta karya sastra dengan produktif.

Penulis adalah praktisi pemasaran, penikmat karya sastra.



[1] Paper ini pernah dipresentasikan pada Seminar Nasional Linguistik dan Sastra, Fakultas Sastra Inggris, Universitas Trunojoyo, Madura, 2011

[2] Market driven adalah sebuah pendekatan pemasaran yang dimulai dari oirentasi pada kemauan pasar. karakteristiknya adalah dengan menggali informasi tentang konsumen, kompetitor, dan pasar yang ada serta menggunakan informasi itu dalam keseluruhan perspektif bisnis (Craven & Piercy, 2006).

[3] Novel karya Habiburrahman El Sharazy ini sudah naik cetak tak kurang dari 29 kali hanya dalam kurun waktu 3 tahun. Hal ini sangat prestisius manakal dibandingkan dengan  Burung-Burung Manyarnya Y.B. Mangunwijaya yang membutuhkan waktu 26 tahun untuk bisa naik cetak yang ke 15 (Sharazy, 2008).

[4] Contoh bentuk-bentuk materi broadcast yang masih terbuka untuk didiskusikan kategorialnya sebagai karya sastra atau bukan dijadikan lampiran dalam paper ini.

Ikuti tulisan menarik Flo K Sapto W lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler