x

Iklan

Flo K Sapto W

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Edukasi dari The Boss Baby

Kala Anak Anjing Menggantikan Anak Manusia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Edukasi dari The Boss Baby

Oleh: Flo. K. Sapto W.

 

            Setiap orang dewasa pasti cukup bisa mengerti -setidaknya pernah menyaksikan- repotnya membesarkan bayi. Sisi inilah yang menjadi salah satu episode menarik dari flim The Boss Baby. Kehebohan yang timbul oleh kehadiran seorang bayi digambarkan cukup realistis. Sekaligus dramatis karena dikemas dengan sudut pandang imaginatif kakak si bayi yang berusia 7 tahun. Tim, si anak sulung, menyaksikan kepanikan kedua orang tuanya setiap kali si adik bayi harus minum susu di jam tidur orang dewasa. Demikian juga ketika ayah dan ibunya seolah-olah harus memenuhi berbagai ‘perintah’ lainnya dari  si bayi.

            Dalam film yang di Indonesia dirilis pada awal April ini, peta ‘kekuasaan’ (baca: perhatian) keluarga Templeton mulai bergeser dari Tim ke si adik bayi. Pergeseran itu sangat dirasakan Tim, misalnya dengan tidak-adanya lagi pembacaan buku cerita dan nyanyian pengantar tidur bagi dirinya. Sampai pada suatu ketika Tim tahu bahwa si adik bayi -disuarakan oleh Alec Baldwin- ternyata adalah bagian dari sebuah konspirasi market intellegence perusahaan bayi (Baby Corp). Si bayi -dengan serum khusus temuan perusahaan Baby Corp, yang memungkinkannya menjadi bayi dengan intelejensi tinggi- sebetulnya merupakan salah seorang top eksekutif yang ditugasi memata-matai pasangan Templeton. Bukan sebuah kebetulan jika keluarga Templeton yang dipilih untuk diawasi, sebab kedua orang tua Tim itu bekerja sebagai tenaga pemasaran di perusahaan Puppy Co -kompetitor Baby Corp. Misi si bayi adalah mengetahui sebuah rencana besar dari Puppy Co terkait launching produk baru anak anjing yang tidak bisa menua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Di dalam film yang diadaptasi dari buku cerita bergambar karangan Marla Frazee itu, keseluruhan latar belakang cerita bisa lebih dipahami dalam konteks tren sosial-budaya Amerika. Di negera yang sekarang dipimpin oleh Donald Trump itu, pada 2012 terdapat 36.5 persen keluarga yang memelihara anjing (www.avma.org). Persentase itu setara dengan 43 juta lebih populasi anjing. Sementara populasi anak usia 0 – 5 tahun pada periode yang sama hanya 23.3 juta (www.childstats.org). Fakta sosial ini sedikit banyak menumbuhkan kekhawatiran sosial publik atas kecenderungan orang lebih memilih memelihara anak anjing daripada memiliki bayi (berkeluarga/berketurunan). Kerepotan memiliki bayi sebagai tanggung jawab dari niatan mulia membangun sebuah keluarga dirasakan tidak menarik lagi. Tanggung jawab moral-sosial itu digantikan oleh sebuah ‘keasikan’ memelihara seekor anak anjing. Uniknya lagi, anak-anak anjing yang ditawarkan oleh Puppy Co –setelah diberi serum bajakan dari Baby Corp- akan tetap menjadi anak anjing. Sensasi memiliki anak anjing yang senantiasa menggemaskan dan tetap lucu itulah yang dijadikan fitur-fitur produk untuk dijual ke konsumen. Baby Corp merasa market share-nya akan tergerus oleh produk baru keluaran Puppy Co. Secara filosofis, pergeseran pasar itu sekaligus simbolisasi sosial ketika rasa cinta kepada anak-anak dikalahkan oleh rasa suka memelihara anak anjing.

Di sisi lain, keberadaan anak anjing dalam kapasitasnya sebagai hewan peliharaan, secara positif agaknya bukan lagi dimaknai sekedar sebagai penjaga rumah atau teman dalam menjalani hidup sendiri (kesepian). Pemeliharaan anak anjing sebagai salah satu mahkluk bernyawa ternyata bisa juga menjadikan hidup seseorang menjadi lebih baik (www.express.co.uk). Jadi kepemilikan atas mahkluk hidup -bisa meluas juga ke tanaman- terbukti mampu menumbuhkan sikap kepedulian seseorang terhadap lingkungan di luar dirinya. Pribadi yang awalnya selfish atau individualis dapat terdorong untuk memiliki empati terhadap mahkluk lain (peliharaannya). Asumsi logisnya, kehadiran seekor anak hewan atau sejumlah tanaman di rumah akan mendorong situasi batin pribadi pemiliknya untuk pulang dan memberinya makan. Minimal terpikir untuk menitipkannya ke pihak lain yang bisa memberikan pemeliharaan. Kelalaian dalam pemeliharaan itu bisa memunculkan sebuah ‘dosa’ sosial. Salah satu contoh yang sedang mengemuka adalah berkenaan dengan kematian anjing peliharaan Melani Subono (MS), anak promotor pertunjukkan musik Adrie Subono (www.tribunews.com, 12/04/17). Nina, anjing MS yang dititipkan di Animal Defender Indonesia (ADI) ternyata diketahui mati. Kematian itu mengundang kecurigaan MS hingga hendak menuntut pihak ADI ke pengadilan. Sebaliknya dari pihak ADI sudah mencoba memberikan penjelasan terkait kematian Nina. Di dalam penjelasannya pihak ADI sekaligus minta maaf atas kematian Nina yang disebabkan oleh luka gigitan anjing lain. Namun penjelasan Doni Herdaru, pemillik ADI, ditolak oleh MS (tempo.co, 12/04/17). Lalu apa pentingnya kasus pertikaian anjing mati di shelter pemeliharaan anjing itu untuk publik?

Sebetulnya tidak penting benar bagi publik mengetahui detail kasus matinya anak anjing milik artis tersebut. Hanya, seperti yang diamanatkan dalam buku bergambar The Boss Baby, pergeseran rasa sayang dari bayi manusia ke anak hewan inilah yang dijadikan sebuah pesan sosial mendalam. Tentu tidak apple to apple jika hendak memperbandingkan hakekat manusia dan hewan. Sehingga perselisihan hukum yang muncul akibat matinya hewan tidak semestinya diartikan dalam konteks komparasi. Lebih tepat jika kasus itu diberi bobot sebagai penyadaran publik bagi kepedulian terhadap mahkluk hidup pada umumnya. Artinya, anjing peliharaan adalah salah satu mahkluk bernyawa yang kehidupannya sudah tergantung pada manusia. Perilaku menyia-nyiakan terhadapnya dengan demikian adalah sebuah kezaliman.

Hewan peliharaan, pada 2010 ternyata adalah juga sumber ide Marla Frazee membuat cerita bergambar The Boss Baby. Awalnya, ibu rumah tangga ini mengamati anak lelakinya yang berusia 15 tahun. Khususnya dalam relasionalnya dengan seekor anak kucing peliharaan (www.npr.org). Sejak lama anak terkecil Marla Frazee itu menginginkan seekor anak kucing. Lalu pada momentum Natal, Marla Frazee menghadiahkannya. Dua minggu setelahnya, si anak berubah pikiran. Sebab si anak kucing ternyata berak disembarang tempat. Si anak meminta maaf karena perilaku si anak kucing peliharaannya sangat membuat stres seluruh keluarga. Lalu anak kucing peliharaan itu hendak diberikan kepada orang lain saja. Marla Frazee dengan bijak mengumpamakan anak kucing seperti saat si anak lelakinya masih bayi: memang sangat merepotkan. Namun toh kedua orang tuanya tetap membesarkan si anak lelaki. Sehingga demikian juga dengan anak kucing peliharaan. Mereka akan tetap memeliharanya dan belajar menyayanginya saat berproses tumbuh dewasa. Berdasarkan kisah nyata inilah Marla Frazee terinspirasi untuk menuliskannya ke dalam cerita bergambar sebanyak 32 halaman dan yang kemudian juga telah difilmkan dengan durasi 90 menit.

Di kehidupan sosial yang lebih luas, kepedulian terhadap mahkluk hidup lain bisa diejawantahkan dalam tanggung jawab – tanggung jawab yang lebih humanis. Sebagai contoh, di lingkungan terdekat pasti masih bisa dijumpai kendala-kendala yang dialami anak-anak, lansia atau keluarga-keluarga dalam mendapatkan kehidupan manusiawi. Sederhananya adalah hambatan dalam bersekolah atau ketiadaan sarana – prasarana untuk hidup dalam standar minimal harkat kemanusiaan dasar. Di luar berbagai instansi pemerintah maupun swasta yang telah bergerak dalam banyak kegiatan sosial, agaknya kini publik sendiri yang sebaiknya juga sudah mulai bersepakat. Kongkretnya adalah dalam bersikap peduli. Maka seandainya ada tetangga terdekat sampai kelaparan, tidak bisa bersekolah, atau menderita sakit tanpa mendapatkan akses ke rumah sakit, maka publik terdekatlah yang paling wajib merasa bersalah. Spirit inilah yang bisa berfungsi sebagai pembeda bagi kita. Jika terhadap hewan peliharaan saja kita musti bersikap asih maka lebih-lebih kepada manusia.

Penulis adalah praktisi pemasaran, penikmat film

Ikuti tulisan menarik Flo K Sapto W lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu