x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tarekat Mason Bebas

Sebuah organisasi keagamaan/kepercayaan yang berhubungan erat dengan banyak tokoh Indonesia, tetapi hilang dari sejarah Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1762 - 1962

Judul Asli: Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands – Indie en Indonesie 1764-1962

Penulis: Th. Stevens

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Pericles Katoppo

Tahun Terbit: 2004

Penerbit: Pustaka Sinar Harapan 

Tebal: xxxix + 623

ISBN: 979-416-804-1

Ada sebuah tarekat atau perkumpulan yang mempunyai jasa besar terhadap pergerakan kemerdekaan Indonesia, tetapi tidak terlalu banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Sebab tarekat tersebut tidak ditulis dalam sejarah formal Republik Indonesia. Tarekat tersebut adalah tarekat Mason Bebas. Tarekat ini peduli kepada kesenian dan kebudayaan di Hindia Belanda dan kemudian Indonesia. Tarekat Mason Bebas telah mendirikan sekolah-sekolah (hal. 159) saat pemerintah Belanda masih menganggap pelayanan pendidikan dianggap belum penting. Tarekat ini telah menyediakan dana studi, mendirikan sekolah-sekolah industri dan kejuruan (hal. 159), taman kanak-kanak, perpustakaan rakyat (hal. 157), ceramah-ceramah untuk pemuda-pemudi, dana bantuan pakaian sekolah dan dana bantuan makanan, memberi dukungan beasiswa kepada banyak pemuda Indonesia untuk melanjutkan studi ke negeri Belanda. Banyak dari pemuda yang didukung studinya oleh Tarekat Mason Bebas di kemudian hari menjadi pemimpin pergerakan dan pemimpin kemerdekaan. Bahkan organisasi ini telah berhubungan dengan Budi Utomo yang merupakan salah satu organisasi perintis pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hubungan yang sifatnya personal melalui pertemuan-pertemuan di loge (rumah perjamuan) antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi yang menjadi anggota Tarekat Mason Bebas dilakukan dalam prinsip persamaan ini telah menggugah rasa kebangsaan. Salah satu karya Tarekat Mason Bebas di Semarang adalah berdirinya “Universitas Djojobojo” yang menjadi cikal-bakal Universitas Diponegoro (hal. 497).

Tarekat Mason Bebas adalah sebuah organisasi yang sangat progresif pada jamannya dalam memperjuangkan kesamaan hak. Tujuan penting dari Tarekat Mason bebas adalah untuk “menjalin persahabatan yang erat antara orang-orang yang dipisahkan satu sama lain oleh ras, agama, lembaga gereja, dan politik, supaya di dalam Tarekat dan masyarakat mengupayakan kesederajatan. Tarekat berupaya menghubungkan semua orang” (hal. xxxii). Bahkan mereka sudah menyatakan untuk mengupayakan asimilasi berbagai ras supaya di Batavia semua orang bisa bersaudara.

Tarekat Mason Bebas memiliki sejarah yang penting di Hindia Belanda dan Indonesia karena peran dan anggotanya yang adalah para pejabat pemerintah dan para profesional (hal. 73). Pada tahun 1815, Thomas Stanford Raffles dilantik menjadi anggota Tarekat Mason Bebas di Hindia Timur (nama yang dipakai di era Inggris) sebagai seorang ahli (gezzel) dan kemudian ditingkatkan menjadi suhu (meester) (hal. 82). Anggota lainnya adalah Gubernur Jenderal Deandeles (hal. 101), H. M. de Kock (hal. 104), J. van den Bosch (hal. 107), Van Mook (hal 338) dan sebagainya. Keanggotaan Tarekat Mason Bebas bukan hanya di pusat (Batavia) tetapi pejabat daerah, seperti Semarang, Surakarta dan Surabaya serta Makassar juga banyak yang menjadi anggota tarekat ini. Bukan saja para penguasa Eropa, tetapi Tarekat Mason Bebas juga diikuti oleh para pribumi seperti Paku Alam V (hal. 150) dan Paku Alam VI dan VII ( hal. 302), Aryo Notodirojo dan Mas Boedihardjo (pengurus Boedi Oetomo), Raden Adipati Tirto Koesoemo (Bupati Karanganyar), Dr. Radjiman Wediodiningrat (BPUPKI), Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Polisi) (hal. 167 - 172). Raden Saleh adalah anggota tarekat yang menjadi pengurus dalam loge (hal. 290). Keanggotaan juga meliputi para bupati di daerah setelah tahun 1890.

Penyebaran ajaran Tarekat Mason Bebas tidak terbatas kepada elite pribumi. Sejak tahun 1921 upaya untuk menyebarkan ajaran tarekat kepada penduduk pada umumnya telah dimulai. Penyebaran ini tidak berarti kemudian rakyat berbondong-bondong menjadi seorang Mason Bebas, namun hanya bersifat memberikan penerangan kepada rakyat kebanyakan. Upaya tersebut dimulai oleh seorang pegawai negeri di Semarang bernama Poerbo Hadiningrat (hal. 318). Ia menulis sebuah artikel dalam Bahasa Jawa untuk membela pentingnya tarekat dikenalkan kepada masyarakat umum. Gagasan Poerbo ini mendapat sambutan yang baik di kalangan anggota tarekat bangsa Eropa. Bukan hanya dari kalangan Eropa, Poerbo juga mendapat dukungan dari para pribumi baik yang menjadi anggota tarekat maupun yang di luar tarekat. Bahkan dari agama lslam tidak ada halangan untuk mengambil alih asas-asas Tarekat Mason Bebas (hal 330).

Tarekat Mason Bebas bisa diterima oleh masyarakat Jawa karena prinsipnya yang menghargai kesetaraan manusia dan memperjuangkan kebaikan bagi semua manusia. Bahkan dalam hal membuat simbol, Tarekat Mason Bebas mau menyerap kebudayaan lokal. Misalnya tentang penerimaan Islam yang menjadi agama mayoritas di Keraton Mataram. Hubungan antara loge ''Mataram" dengan para sultan itu masih digarisbawahi oleh logo yang digunakan dan yang juga dipancangkan di atas pintu gerbang masuk ke gedung loge tersebut: suatu segitiga samasisi, dengan di dalamnya bulan sabit dan bintang bersudut lima (hal. 306).

Tarekat Mason Bebas lahir di Inggris pada tahun 1717. Pada tahun 1734, berdiri loge di Belanda. Pada tahun 1762 berdirilah loge pertama di Batavia. Sekretaris Agung dijabat oleh Radermacher yang saat itu baru berumur 23 tahun. Kehadiran Tarekat Mason Bebas di Hindia Belanda terjadi pada jaman VOC, saat gubernur jenderal dijabat oleh Petrus Albertus van der Parra (1761-1775) (hal 49). Sebenarnya di Hindia Belanda sudah banyak penganut Tarekat Mason Bebas pada tahun 1756 (hal. 56). Berdirinya loge ini dianggap sebagai sebuah tindakan yang berani karena saat itu kekuasaan gereja Gereformeerd sangat kuat dan jumlah orang Eropa (Belanda) sangat sedikit saja.

Menurut Hageman dan van der Veur (hal. 57) berdirinya loge pertama di Batavia berhubungan dengan kekalahan Belanda terhadap Inggris. Kehadiran orang-orang Tarekat Mason Inggris ke Batavia memicu berdirinya La Choisie. Sedangkan sejarahwan Gelman Taylor berpendapat bahwa munculnya Tarekat Mason Bebas di Hindia Belanda berhubungan dengan maraknya budaya Mestizo. Tarekat Mason Bebas menjadi sarana untuk meng-eropa-kan kembali para pemukim di Batavia yang sudah mulai berbudaya Mestizo. Menjadi anggota tarekat Mason Bebas merupakan tanda bahwa mereka adalah orang Eropa yang menolak budaya Mestizo (hal. 63). Bersamaan dengan modernisasi van Imhof, Tarekat Mason Bebas mendesak budaya Hindia Timur (Mestizo) sehingga para pemukim Belanda dan Eropa menjadi lebih eropa. Taylor juga menengarai bahwa Tarekat Mason Bebas telah dipakai sebagai alat promosi pegawai negeri.

Terdapat dua kelompok Tarekat Mason Bebas di Hindia Belanda, setelah loge yang pertama berdiri. Hal ini disebabkan karena perbedaan status sosial anggotanya dan latar belakang gereja anggotanya. Kelompok kaya bergabung dalam loge La Verteuse dan mereka yang kurang mampu bergabung ke loge La Fidele Sincerite. Uniknya, anggota loge Vertueuse berlatar belakang Kristen Gereformed, sedangkan anggota La Fidele Sincerite kebanyakan adalah anggota gereja Lutheran. Sebenarnya agak aneh apa yang terjadi di Batavia ini. Sebab Tarekat Mason Bebas sesungguhnya memperjuangkan kesamaan manusia tanpa dibatasi oleh latar belakang ekonomi, sosial dan agama. Namun pada kenyataannya di Batavia tumbuh dua loge untuk mewadahi perbedaan anggotanya.

Sejak berdirinya di Batavia tahun 1762, Tarekat Mason Bebas seratus tahun kemudian telah menyebar ke berbagai kota di Hindia Belanda, seperti Semarang, Surabaya, Surakarta dan Padang. Bahkan di Padang, melalui Loge Mata Hari telah menerima anggota dari golongan Tionghoa pada tahun 1859 (hal. 137). Artinya tarekat ini menyebar dengan cukup cepat melalui para pegawai negeri Belanda dan Inggris, serta telah menerima anggota dari kelompok non Eropa kira-kira 100 tahu kemudian.

Periode selanjutnya (1870-1890) ditandai dengan mudahnya pelayaran dari Eropa ke Hindia Belanda, masuknya para perempuan Eropa ke Hindia Belanda dan tumbuhnya sektor pertanian di Jawa dan Sumatra. Namun era ini juga ditandai dengan kesulitan keuangan pemerintah Hindia Belanda karena sedang membangun infrastruktur (jalan raya, perkereta-apian dan irigasi).

Dengan semakin banyaknya pemukim Eropa di Hindia Belanda, pertumbuhan Tarekat Mason Bebas juga bertumbuh. Sejak tahun 1870 berdiri loge di Mataram (Jogjakarta), Surakarta, Rembang dan Probolinggo di Jawa dan di Kuta Raja (Banda Aceh), Deli (Medan) dan Makassar di luar Jawa (hal. 149). Loge-loge baru ini didirikan untuk mewadahi para anggota Tarekat Maosn Bebas yang kebanyakan berusaha di bidang pertanian dan perdagangan. Berdirinya loge-loge di daerah ini diikuti dengan diterimanya orang-orang pribumi menjadi anggota tarekat. Pada tahun 1871 Pangeran Ario Sorejodilogo (Paku Alam V), seorang keturunan raja Mataram disahkan menjadi anggota tarekat (hal. 150). Selain keanggotaan keluarga raja, loge Mataram juga menggunakan gedung yang disewa dari keluarga istana. Hal ini menunjukkan betapa akrabnya tarekat dengan penguasa Mataram.

Lahirnya politik etis di Hindia Belanda tidak lepas dari peran para anggota Tarekat Mason Bebas. Pendeta Carpentier Alting (hal. 210), Th. G. J. Resink (hal. 213) dan Janssen van Raay (hal. 288) adalah tiga diantara anggota tarekat ini yang akif memberi saran kepada pemerintah Belanda untuk memberi kesejahteraan kepada masyarakat pribumi. Bahkan Pendeta Carpentier Alting menjadi anggota komisi yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda untuk mengetahui penyebab kemiskinan pribumi (hal. 264). Pandangan Tarekat Mason Bebas tentang politik etis adalah evolusioner. Artinya penduduk pribumi belum siap diberikan kekuasaan untuk memerintah. Oleh sebab itu pemerintah Belanda harus menjadi leader untuk menyiapkan pribumi. Pandangan ini sangat bertentangan dengan Indische Partij yang revolusioner (hal. 283).

Bagaimana usulan kongkrit tarekat untuk menjalankan politik etis? Agar dapat tercapai kemajuan sosial bagi kaum lndo-Eropa, pertama-tama keadaan ekonomi dan perkembangan intelektual perlu diperbaiki, dan dengan sendirinya kemajuan moral pun akan menyusul (hal. 289). Bukan hanya memberikan nasihat kepada pemerintah Belanda, tarekat secara langsung bergerak untuk mewujudkan apa yang disampaikan. Mereka mendirikan rumah perawatan orang buta, mendirikan rumah yatim piatu, asrama bagi siswa perempuan, perpustakaan rakyat, pendidikan kaum perempuan, sekolah kejuruan untuk pemuda, pendidikan menengah, dan sebagainya (hal. 239 – 289). Mereka juga memberi kesempatan kepada pribumi untuk mengambil peran dalam kepengurusan loge-loge, khususnya di loge Mataram di Yogyakarta. Sebenarnya pelibatan pribumi menjadi pengurus loge sudah diawali oleh Raden Saleh sang pelukis (hal. 290) di Den haag pada tahun 1836. Itulah sebabnya para anggota tarekat ini menjadi penyumbang kesadaran kebangkitan nasional yang tak bisa dipungkiri (hal. 311). Salah satu anggota loge Mataram yang menonjol adalah Van Mook (hal. 338). Ia begitu yakin bahwa kemerdekaan pribumi bisa diberikan melalui kerjasama yang baik dengan pemerintah Belanda.

Berbeda dengan suasana politik tahun 1990-1930 dimana kebanyakan elite, baik Belanda maupun pribumi masih beranggapan bahwa kemerdekaan Hindia Belanda harus diraih melalui kerjasama, sejak tahun 1930 suasana politik berubah. Banyak pihak sudah tidak lagi meyakini bahwa kerjasama antara Belanda dengan pribumi akan menghasilkan kemerdekaan seperti yang diwacanakan. Perubahan suasana politik ini membuat lebih banyak orang Belanda mendukung pihak-pihak yang menginginkan keberlanjutan pemerintahan Belanda di Hindia Timur dalam bentuk persemakmuran (hal. 336). Perubahan politik yang cukup drastis ini tidak dilihat oleh tarekat. Tarekat masih merasa bahwa tugas mereka adalah untuk untuk memperbaiki hubungan-hubungan dengan masyarakat Hindia Timur melalui perluasan toleransi dan rasa hormat (hal. 381). Bahkan Van Mook yang datang setelah kekalahan Jepang pun menganggap remeh para pemimpin bangsa seperti Sukarno. Upaya membangun jembatan antara Indonesia dengan Belanda yang diupayakan oleh Tarekat dianggap terlalu pro Belanda (hal. 527).

Di Hindia Belanda Tarekat Mason Bebas menghadapi situasi politik yang berubah. Sementara itu di Eropa sedang terjadi peristiwa pembantaian orang Yahudi oleh Nazi. Di saat yang sama krisis ekonomi melanda Eropa dan juga Hindia Belanda. Akibatnya banyak pengangguran terjadi pada para anggota tarekat. Terjadi perbedaan sikap terhadap pembantaian Yahudi, sementara itu kemampuan anggota untuk menolong para pengangguran sangat terbatas. Akibatnya terjadi penurunan anggota secara drastis. Pada jaman Jepang, semua kegiatan loge berhenti. Di era ini para anggota diinstruksikan untuk melaksanakan prinsip-prinsip masonik dengan sebaik-baiknya. Banyak dari mereka yang kemudian bekerja di rumah sakit atau palang merah. Sebagian besar dari anggota menjadi tawanan Jepang. Setelah kekalahan Jepang, kebanyakan loge dibuka kembali. Demikian juga dengan pelayanan, khususnya sekolah-sekolah segera dibuka kembali dengan bantuan Tarekat Mason Bebas Amerika Serikat. Namun demikian pembukaan loge-loge ini tidak mulus karena sebagian gedungnya telah beralih fungsi sebagai tangsi militer atau sebagai gedung palang merah.

Setelah kemerdekaan, Tarekat Mason Bebas berupaya untuk meningkatkan eksistensinya kembali di Indonesia. Namun upaya ini tidak banyak mendapat sambutan, karena loge-loge sangat bernafaskan Belanda (hal. 483). Kemerosotan jumlah anggota yang sangat besar itu kemudian memunculkan ide untuk mendirikan organisasi baru bernama “Poerwa Daksina” (hal. 490). Pada akhirnya, dengan menggunakan nama Poerwa Daksina berdirilah loge Agung Indonesia pada tanggal 16 Juni tahun 1954. Namun akhirnya atas perintah dari Pemerintah Republik Indonesia, aktifitas Tarekat Mason Bebas harus diakhiri (hal. 492). Pada tanggal 27 Februari 1961, sebuah keputusan Presiden R.I. memaksa Tarekat Mason Bebas Indonesia untuk menghentikan kegiatannya (hal. 563). Alasannya, organisasi ini tidak sesuai dengan identitas Nasional Indonesia.

Sungguh menarik membaca kisah Tarekat Mason Bebas di Indonesia. Jika melihat karyanya dalam sejarah Indonesia, tidak semestinya organisasi ini tidak disinggung dalam sejarah (resmi). Namun entah apa yang menyebabkan perannya seakan hilang dalam sejarah Indonesia. Bahkan gosipnya, buku ini yang dicetak sebanyak 5000 eksemplar oleh Penerbit Sinar Harapan telah diborong oleh seseorang sehingga tidak sempat beredar ke publik. Benarkah demikian? Biarlah sejarah yang akan membuktikannya di masa depan.

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler