x

Iklan

Nurul Firmansyah

Advokat dan Peneliti Socio-Legal. https://nurulfirmansyah.wordpress.com/
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pembangunan Inklusif Desa dan Masyarakat Adat

Masyarakat Adat yang secara terminologi rasial disebut juga dengan pribumi telah lama mengalami deskriminasi, setidaknya sejak pemberlakukan politik rasial

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masyarakat Adat yang secara terminologi rasial disebut juga dengan pribumi telah lama mengalami deskriminasi, setidaknya sejak pemberlakukan politik rasial di masa kolonial Belanda. Pada masa itu, Pemerintah kolonial memilah populasi penduduk pada golongan-golongan berdasarkan afiliasi rasialnya, yang terdiri dari golongan Eropa, Timur Asing (foreign orientals) dan Pribumi. Penggolongan penduduk ini adalah bentuk implementasi politik rasial yang membangun stratifikasi sosial berdasarkan Ras.

Paska kemerdekaan, kemenangan Pribumi atas Eropa tidak serta merta mengubah formasi kekuasaan kolonial secara menyeluruh. Airlangga Pribadi (2003) menyebutkan bahwa kebangkitan sentiment - sentimen tribalistik paska kemerdekaan juga bersifat destruktif dan tak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah Indonesia yang bersifat Ambivalen.

Satu sisi, perjalanan kebangsaan mencoba menghilangkan dan ingin memutus sejarah dari pengalaman traumatis era kolonial sambil membangun ikrar kolektif bagi terwujudnya kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi. Namun disisi lain, cita-cita normatif tersebut tidak terwujud. Alih-alih merealisasikan imajinasi bersama sebagai suatu bangsa yang berkeberadaban, realitas perjalanan kenegaraan justru replika dari kekuasaan era kolonial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam konteks tersebut, pendekatan  post-colonialism relevan untuk mendeskripsikan keberlanjutan politik kolonial pada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Setidaknya terlihat pada ; Pertama, masyarakat adat terutama yang minoritas adalah  kelompok sub-kultur yang mengalami pengisolasian budaya dan sosial dari kelompok budaya dominan, Kedua, Persyaratan ketat pengakuan hak-hak masyarakat adat mengakibatkan masyarakat adat terutama yang minoritas mengalami pengabaian perlindungan hukum.

Diskriminasi Masyarakat Adat

Pengabaian dan diskriminasi adalah jantung eksklusi sosial terhadap masyarakat adat. Eksklusi sosial mengakibatkan minimnya keterlibatan masyarakat adat dalam proses pembangunan sehingga berpotensi mengurangi kualitas hidup kelompok-kelompok ini. Setidaknya terdapat dua situasi yang mengakibatkan eksklusi sosial masyarakat adat tersebut, yaitu, pertama, lemahnya pengakuan terhadap hak dan identitas sosial budaya masyarakat adat. Situasi ini mengakibatkan pengabaian perlindungan hukum masyarakat adat.

Kedua, Pengabaian perlindungan hukum masyarakat adat berakibat pada pembatasan akses masyarakat adat atas sumber daya, baik sumber daya alam, sumber daya ekonomi maupun politik. Keterbatasan akses atas hak sumber daya alam dan ekonomi mengakibatkan perampasan sumber daya oleh kelompok-kelompok yang lebih kuat, bisa kelompok dominan maupun kelompok bisnis. Sedangkan pembatasan atas sumber daya politik berakibat pada minimnya partisipasi politik masyarakat adat pada institusi negara sehingga kelompok-kelompok ini mengalami isolasi dari keputusan politik dan pembangunan.

Secara umum, dampak eksklusi sosial masyarakat adat adalah pemiskinan yang bersifat struktural. Penyebab utamanya adalah akibat kerangka hukum Indonesia belum sepenuhnya memutus siklus pemiskinan masyarakat adat tersebut. Dalam konteks masyarakat adat memperlihatkan bahwa skema hukum pengakuan hak masyarakat adat masih bersyarat.

Pengakuan bersyarat hak masyarakat adat tersebut kemudian dipersulit lagi dengan prosedur pengakuannya, yaitu  diserahkan  pada proses politik di daerah melalui produk hukum daerah, sehingga dengan kapasitas masyarakat adat yang lemah maka pengakuan terasa masih sulit diakses.

Peluang UU Desa

Desa merupakan institusi sosial sekaligus institusi Negara yang paling dekat dengan masyarakat adat. UU Desa secara gamblang menyebutkan perpaduan (hybridasi) institusi sosial dan negara yang bersifat otonom (local self-governance).

Sebagai institusi formal terdepan, desa mempunyai peran strategis dalam pelaksanaan pembangunan, layanan-layanan dasar, sekaligus menciptakan kondisi demokrasi lokal, partisipasi kelompok-kelompok sosial dan inklusi sosial, terutama dalam hal penerimaan sosial dan pengakuan identitas adat di tingkat tapak.

Menggunakan institusi desa dalam strategi mendorong inklusi sosial sebagai upaya mereduksi eksklusi sosial masyarakat adat sebaiknya terlebih dahulu memahami tipe relasi antara masyarakat adat dengan institusi desa. Relasi institusi desa dengan masyarakat adat setidaknya memiliki dua tipe, yaitu Pertama, Tipe Desa homogen dengan kecenderungan masyarakat yang relatif seragam (homogen). Tipe ini memungkinkan masyarakat adat mempunyai kualitas partisipasi secara maksimal untuk mengintegrasikan hak-hak adat dalam desa sebagai institusi negara. Misalnya nagari di Sumatera Barat. Kedua, Tipe desa heterogen dengan kecenderungan posisi masyarakat adat yang minoritas dan inferior dari kelompok masyarakat lainnya. Misalnya komunitas Suku Anak Dalam di Jambi.

Tipe-tipe desa diatas terkait dengan strategi membangun inklusi sosial masyarakat adat pada kerangka desa. Pada tipe pertama, masyarakat adat memungkinkan secara efektif menguatkan kelembagaan desa dan melahirkan kebijakan-kebijakan desa yang menjamin hak-hak adat di desa. Sedangkan, pada tipe kedua, perlu mendorong dialog yang demokratis antar komunitas untuk membangun pemahaman bersama tentang hambatan-hambatan sosial yang akan dipecahkan dengan memastikan kualitas partisipasi kelompok masyarakat adat minoritas dalam proses pengambilan kebijakan. 

Strategi diatas selaras dengan mandat UU Desa, yaitu menjamin lahirnya inklusi sosial di tingkat desa, baik dalam hal Penataan Desa, Penyelenggaran Pemerintahan Desa, Pembangunan Desa dan Pembuatan Peraturan  Desa. Pada setiap aspek-aspek tersebut, UU Desa mewajibkan penyelenggara pemerintahan desa untuk bekerja dengan prinsip-prinsip demokratis, keadilan gender dan tidak diskriminatif, serta menyertakan kelompok marginal (kelompok minoritas) dalam pengambilan keputusan (musyawarah) dan pengawasan (Zakaria dan Simarmata, 2015).

Artinya, secara normatif, UU Desa memberikan peluang membentuk kelembagaan desa yang sesuai dengan aspirasi lokal (adat) untuk memperkuat hak dan juga menjamin proses demokratis, partisipatif termasuk aspirasi pelaksanaan prinsip-prinsip adat dan inklusi sosial dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.   

Jika dihubungkan dalam konteks tipe desa diatas, maka pada tipe desa homogen, UU Desa memberikan peluang kepada pengakuan masyarakat adat dalam bentuk desa adat. Desa adat yang dibayangkan oleh UU Desa adalah yang selaras dengan prinsip partisipasi dan demokrasi berdasarkan adat. Dalam konteks ini, adat diharapkan mampu sebagai penyeimbang proses-proses pelaksanaan pemerintahan, pembangun dan perumusan kebijakan-kebijakan di tingkat desa.

Sedangkan pada kondisi dimana masyarakat adat minoritas berada pada tipe desa heterogen, maka pelaksanaan prinsip-prinsip demokratis dan partisipasi perlu digalakkan. Dialog melalui mekanisme formal musyawarah desa, yang secara normatif diwajibkan untuk melibatkan kelompok-kelompok marjinal atau minoritas ini mesti diterapkan.

Proses-proses formal ditingkat desa ini kemudian beriringan dengan proses informal, seperti melibatkan masyarakat adat minoritas dalam perhelatan kebudayaan dan kegiatan-kegiatan informal lainnya di desa sehingga mendukung proses penerimaan sosial. Pelibatan tersebut kemudian didukung oleh keputusan-keputusan formal desa dalam bentuk kebijakan maupun Peraturan Desa.

Akhir kata, masalah eksklusi sosial masyarakat adat adalah masalah struktural sehingga pemecahaan masalahnya mesti juga dipecahkan dengan cara-cara struktural. UU Desa memberikan jalan terhadap perubahan struktural tersebut dengan membuka pintu partisipasi dan hak masyarakat adat dalam struktur Negara melalui proses-proses yang demokratis. Jaminan atas partisipasi dan hak masyarakat adat adalah prakondisi untuk memutus mata rantai deskriminasi yang melahirkan eksklusi sosial masyarakat adat.

Implementasi UU Desa tersebut tentunya mesti diringi dengan dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memastikan proses sosial dan politik masyarakat adat dalam institusi desa berjalan efektif untuk membangun masyarakat adat yang inklusif sesuai dengan mandat UU Desa dan Konstitusi.

Ikuti tulisan menarik Nurul Firmansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler