x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hidup dalam Dunia yang Aneh

John Nash dan Vincent van Gogh meraih kecemerlangan dalam hidup mereka bersama skizofrenia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Orang-orang menyebutku gila; tapi persoalan belum lagi ditetapkan, apakah kegilaan merupakan kecerdasan yang paling mulia atau bukan.”

--Edgar Allan Poe (Penulis, 1809-1849)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di teras rumah John Nash, seorang sejawat akademis bertanya kepada jenius matematika itu dengan tatapan aneh: “Bagaimana Anda, seorang jenius, merasa ada makhluk angkasa luar mengirim pesan kepada Anda?” Sejawat itu mungkin tidak berharap jawaban yang pasti dan logis, sebab ia merasa tahu siapa orang yang tengah ia ajak berbincang. Nash baru saja bugar dari kambuhnya tanpa pernah tahu kapan serangan itu datang kembali.

Saya pernah dekat dengan mereka yang hidup dalam bayang-bayang demensia, mendengarkan cerita mereka tentang dunia yang aneh, dan karena itu tak sanggup benar membayangkan mereka yang hidup bersama skizofrenia. Nash harus berjuang hingga 30 tahun agar mampu hidup ‘berdamai’ bersama skizofrenia dan—yang terpenting—dengan menyadari situasi dirinya. Dalam adegan setelah menerima medali Nobel, dalam A Beautiful Mind—film yang diangkat oleh sutradara Ron Howard dari biografi karya Sylvia Nasr dan dibintangi Russell Crowe, Nash kembali melihat ‘orang-orang yang menguntitnya’, namun ia akhirnya mampu mengabaikan mereka.

Nash tergolong mereka yang kerap disebut tortured genius, seperti halnya Vincent van Gogh (1853-890)—saya pernah mengunjungi Museum van Gogh dan takjub pada hasil perpaduan antara ‘bipolar disorder’ dan kepekaan seninya. Produktivitas kreatif van Gogh, menurut Dr. Kay Jamison, bervariasi seiring dengan perubahan suasana hatinya.

Dalam novel biografis Lust for Life, Irving Stone begitu empatetik dalam menangkap spirit hidup yang melingkupi diri van Gogh, pelukis mashur yang semasa hidupnya terabaikan. Puluhan kali van Gogh mengalami penolakan dalam hidupnya—termasuk ditolak jadi pendeta. Di simpang jalan penolakan inilah van Gogh akhirnya memilih untuk memburu jati-dirinya. Tinggal di gubuk reot, tanpa dipan, dan kerap meninabobokkan perutnya yang lapar adalah caranya menolak kemunafikan. Kesadarannya bergantung kepada saudara laki-lakinya, Theo.

Tidak semua orang punya kemampuan seperti Theo yang sanggup memahami kehidupan batiniah Vincent dan mereka yang hidup bersama skizofrenia. Sebagai orang yang mengalami, Edgar Allan Poe merasakan hal itu, seperti halnya Nash yang bingung melihat orang lain bingung melihat dirinya. “Orang-orang menyebuutku gila,” kata Poe, “tapi persoalan belum lagi ditetapkan, apakah kegilaan merupakan kecerdasan yang paling mulia atau bukan.” Di usia 40 tahun, penulis ini meninggal tanpa kejelasan penyebab dan kondisinya saat itu—peristiwa tragis yang mengilhami Matthew Pearl untuk menulis novel The Poe Shadow.

Suatu ketika, Poe menempuh perjalanan dari Richmond ke Philadelphia untuk menghimpun dana bagi sebuah majalah baru. Pagi hari 27 September 1849, Poe meninggalkan Richmond. Kenneth Silverman, penulis biografinya, menulis: “Tidak ada bukti yang dapat diandalkan tentang apa yang menimpa Poe antara tanggal tersebut hingga 3 Oktober, sepekan kemudian, ketika seorang pelukis bernama Joseph Walker melihat Poe di Gunner’s Hall, mengenakan pakaian aneh dan seperti kurang sadar.” Poe meninggal pada 7 Oktober dan dikubur dengan hanya delapan orang menghadiri pemakamannya.

Kematian tragis juga menjemput Ludwig van Beethoven (1770-1827), tortured genius lain yang kontribusinya kepada dunia musik begitu monumental. Dibesarkan oleh ayah yang alkoholik dan semena-mena, Beethoven harus menanggung hidup keluarganya sejak usia 18 tahun. Kehilangan pendengaran secara perlahan menjadi bagian tragis hidup Beethoven, tapi barangkali inilah yang melontarkan dirinya ke samudra musik yang mencengangkan.

Ayah yang keras dan telinga yang tuli telah memojokkan Beethoven hingga ke sudut-sudut rumah tinggalnya. Ketulian membuat Beethoven enggan bergaul dan kian menyendiri ketika cintanya tak pernah sampai; ia mencipta karya terbesarnya dalam ketulian, kesendirian, dan di bawah bayang-bayang delusi. Simponi Kedelapan ia selesaikan dalam ketulian total. Ia mengobati diri dengan opium dan alkohol hingga maut menjemput karena livernya rusak.

Mengulang kembali kata-kata Edgar Alan Poe: “Orang-orang menyebutku gila; tapi persoalan belum lagi ditetapkan, apakah kegilaan merupakan kecerdasan yang paling mulia atau bukan.”  ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler