x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ndeso, Antara Kabayan dan Benyamin Tukang Ngibul

Terminologi Ndeso memang menjadi umpatan bagi siapa saja yang gagap pada modernisasi. Kata itu kemudian menjadi umpatan atau olok-olok.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kabayan adalah sosok karikatural masyarakat Sunda. Ia hadir dengan canda juga kritik. Seperti tokoh protagonis kebanyakan, Kabayan adalah pribadi yang jujur dan lugu. Konon, kisah Kabayan sudah ada sejak abad ke-19. Banyak sastrawan yang menulis tentangnya, salah satunya tokoh Lekra Utuy Tatang Sontani yang pada 1959 menulis tentang drama Kabayan.Ajip Rosidi yang berseberangan pemikiran dengan Utuy juga menulis tentang Kabayan tahun 1977 dengan judul Si Kabayan dan Dongeng Sunda Lainnya.

Meski ditulis oleh dua sosok yang berbeda pandangan politik, Kabayan tidak pernah kehilangan ruhnya sebagai pribadi lugu hingga terkesan norak. Bahasanya, Ndeso. Desa atau kampung dianggap sebagai ruang yang menyisakan perilaku dan sifat baik manusia. Kota, sebaliknya, telah mengkontaminasi manusia dengan hasrat duniawi. Orang desa tak butuh banyak uang untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup. Orang desa “bersahabat” dengan alam sehingga alam pun memberikan timbal balik secukupnya.

Sosok Kabayan kian paripurna, ketika hadir secara visual di layar lebar. Seniman Sunda Kang Ibing dan aktor Didi Petet bergantian berperan sebagai si polos. Terakhir, mantan presenter MTV, Jamie Aditya juga berperan sebagai Kabayan. Peran itu tak jauh berbeda. Kabayan sebagai orang desa vis-a-vis orang kota yang tamak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kabayan begitu sulit disuap oleh pengusaha kaya yang melakukan ekspansi bisnis di lahan desanya. Pemandang indah desa Kabayan ingin disulap menjadi kawasan wisata. Kabayan diiming-imingi rumah baru, mobil baru, dan hidup baru di kota. Tumpukan uang itu pun ditolaknya mentah-mentah. Kisah itu diangkat dalam film berjudul Kabayan Saba Metropolitan pada 1992.

Sikap Kabayan inilah yang memicu ketegangan antara dirinya dengan Abah, bapak dari Nyi Iteung—sang kekasih. “Tanah ini bukan milik saya, Abah. Tanah ini milik Allah, saya mah cuma numpang di sini. Kalau Abah merasa memiliki tanah, silakan Abah jual tanah Abah sendiri,” jelas Kabayan. Jawaban yang terdengar naif. Cara berpikir Kabayan itu menegaskan bahwa sikap ndeso adalah cara berpikir yang dipilihnya.

Kisah Ndeso ini juga bisa dilihat pada petualangan Benyamin di kota metropolitan dalam sebuah film karya Nawi Ismail berjudul 'Benyamin Tukang Ngibul' pada 1975. Benyamin yang bekerja sebagai petani di desa mengugat hidupnya yang serba susah. Ia mencoba peruntungan di kota, meski sang istri sempat keberatan.

Berbeda dengan Kabayan, Benyamin meski tinggal di desa memiliki rekam jejak ibukota. Ia pernah mencicipi kehidupan kota sebelum kembali ke desa. Benyamin, orang ndeso yang memiliki kepercayaan diri tinggi, merasa yakin akan mendapat kesuksesan di kota.

Baru saja menginjakkan kaki di ibukota, Benyamin sudah tertipu oleh permainan tebak kartu. Semua yang dibawa dari kampung halaman ludes karena karena jadi barang taruhan. Enggan kehilangan muka dengan orang kampung, Benyamin berusaha bertahan di ibukota. Caranya? Bekerja sama dengan kawan lamanya, ia menjual obat palsu. Bermodal mulut besar, banyak orang yang tertipu oleh Benyamin. Alih-alih berhasil meraup untung dari kebohongannya, Benyamin justru kena batunya akibat malpraktik.

Kisah Kabayan Saba Metropolitan dan Benyamin Tukang Ngibul adalah lukisan yang tak pernah lekang dari kehidupan kita. Terminologi Ndeso memang menjadi umpatan bagi siapa saja yang gagap pada modernisasi. Kata itu kemudian menjadi umpatan atau olok-olok.

Tapi, seperti halnya Kabayan, ndeso tak selalu berkonotasi cela. Mereka yang dianggap ndeso bisa jadi memiliki makna yang adiluhung, terutama menyangkut integritas, kejujuran, bahkan harmoni dengan alam. Sikap-sikap itulah yang semakin terkikis ketika sikap kota yang konon modern mulai menjadi bagian dari hidup kita.

Kembali ke kisah Benyamin Tukang Ngibul, di ujung cerita, Benyamin kembali ke desa tanpa hasil apa-apa, kecuali sepatu butut yang kerap membuatnya sial. Benyamin yang ndeso harus mengakui kejamnya ibukota. Seperti anekdot yang dibawakan kelompok lawak Warkop DKI, kejamnya ibu tiri tidaklah lebih kejam daripada ibukota. Jadi jangan baper diolok ndeso, sama halnya juga jangan terlalu jumawa dianggap orang kota.

*** sumber foto: buku terbitan Pustaka Jaya berjudul 'Si Kabayan Komedi Satu Babak' karya Utuy T. Sontani

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler