x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ndeso, Marhaen Masa Kini, dan Tantangan Pembangunan Pedesaan

Sebagian besar indikator sosial-ekonomi yang mengukur progres pembangunan menunjukkan bahwa daerah pedesaan relatif tertinggal di banding perkotaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhir-akhir ini istilah ndeso yang sempat dipopulerkan pelawak Tukul Arwana kembali naik daun. Penyebabnya adalah vidoe yang diunggah oleh putra Presiden Jokowi di media sosial. Pihak yang tersinggung dengan penggunaan istilah ndeso dalam video tersebut kemudian melaporkannya ke pihak kepolisian sebagai bentuk ujaran kebencian.

Menurut sosiolog UGM Arie Sudjito, istilah ndeso menunjukkan sesuatu yang terbelakang, udig, dan jauh dari kemajuan (Tempo, 20 Juli 2017). Sementara itu, saat menghadiri acara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) di Bandung pada 2014 silam, pak Jokowi menyatakan bahwa mereka yang menjelekkannya karena berwajah ndeso telah merendahkan masyarakat pedesaan yang sebagian besar adalah petani. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan beliau berikut:

"Banyak yang menjelekkan saya, katanya wajah saya wajah 'ndeso', artinya menjelekkan orang desa kan. Hati-hati itu artinya meremehkan kita semua kan," (sumatra.bisnis.com, 03 Juli 2014).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itu artinya, secara tidak langsung, pak Jokowi memaknai istilah ndeso sebagai sesuatu yang melekat pada masyarakat pedesaan yang umumnya petani.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan daerah pedesaan dan perkotaan di Indonesia dengan menggunakan sebuah indeks yang dibangun dari sejumlah  variabel, seperti kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, fasilitas perkotaan, sarana pendidikan formal, dan sarana kesehatan umum.

Berdasarkan pengelompokkan ini, populasi masyarakat pedesaan (orang desa) diperkirakan mencapai 46.7 persen dari total jumlah penduduk Indonesia pada 2015 yang mencapai 255.46 juta jiwa.

Itu artinya, hampir separuh penduduk Indonesia tinggal di desa.  Tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa jika persolan sosial-ekonomi yang membelit masyarakat pedesaan mampu diselesaikan, maka separuh persolan negeri ini telah terpecahkan.

Urbanisasi yang sangat pesat selama beberapa dasawarsa terakhir telah mentransformasi negeri ini dari masyarakat yang bercorak pedesaan menjadi masyarakat urban. Hal ini tercermin dari peningkatan tajam proporsi penduduk perkotaan (orang kota) dari 22.3 persen  pada 1980 menjadi  53.3 persen pada 2015. Proporsi penduduk perkotaan bahkan diproyeksikan bakal mencapai 66.6 persen pada 2035.

Urbanisasi yang pesat ini disebabkan oleh dua hal, yakni migrasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota dan perluasan wilayah perkotaan akibat daerah yang semula pedesaan berkembang menjadi perkotaan.

Faktanya, kesenjangan pembangunan antara daerah pedesaan dan perkotaan merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini nampaknya disebabkan oleh pembangunan yang selama ini lebih berpusat di daerah perkotaan. Dengan kata lain, pembangunan yang terjadi bias ke kota.

Sejalan dengan makna konotatif yang melekat pada istilah ndeso, hingga kini masyarakat pedesaan—dalam banyak hal—jauh tertinggal bila dibandingkan dengan saudara-saudaranya di perkotaan.

Kesanjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan tercermin dari indikator sosial-ekonomi, seperti capaian pendidikan. Pada 2015, misalnya, rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas di daerah pedesaan hanya 6.98 tahun (hanya tamat sekolah dasar), jauh lebih rendah dibanding penduduk perkotaan yang mencapai 9.61 tahun (tamat sekolah menengah pertama).

Disparitas desa-kota juga terlihat jelas dalam persoalan kemiskinan. Hingga kini daerah pedesaan masih menjadi pusat kemiskinan. Data BPS memperlihatkan bahwa 17.28 juta masyarakat pedesaan terkategori miskin pada September 2016 dengan pengeluarkan per kapita kurang dari Rp350.420 per bulan (garis kemiskinan). Angka ini mencakup 62.25 persen dari total jumlah penduduk miskin yang mencapai 27.76 juta jiwa pada September 2016.

Sektor pertanian merupakan corak utama aktivitas ekonomi di daerah pedesaan. Karena itu, masyarakat miskin pedesaan umumnya adalah petani dan buruh tani. Data BPS memperlihatkan, 66.28 persen kepala rumah tangga miskin di pedesaan bekerja di sektor pertanian. Mereka adalah representasi—apa yang disebut Prof. Emil Salim dalam artikelnya di koran Kompas (24 Agustus 2015) sebagai—kaum Marhaen masa kini yang harus diangkat taraf hidupnya seperti yang dicita-citakan Bung Karno.

Sedihnya, ada indikasi bahwa kondisi kemiskinan yang dialami masyarakat pedesaan semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini tercermin dari peningkatan jumlah penduduk sangat miskin di pedesaan dari 5.83 juta jiwa pada Maret 2014 menjadi 7.47 juta jiwa pada Maret 2016.

Sejalan dengan hal ini, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di daerah pedesaan cenderung memburuk sepanjang Maret 2014-September 2016. Diketahui indeks kedalaman kemiskinan di pedesaan naik dari 2.26 pada Maret 2014 menjadi 2.32 pada September 2016. Sementara indeks keparahahan kemiskinan mengalami kenaikan dari 0.57 pada Maret 2014 menjadi 0.59 pada September 2016.

Kenaikan yang sepertinya tidak seberapa ini sejatinya memberi konfirmasi bahwa kehidupan ekonomi masyarakat miskin pedesaan kian memburuk. Mereka dihadapkan pada double burdens: sudah ndeso, melarat pula.

Sekadar diketahui, mereka berkategori sangat miskin karena memiliki pengeluaran per kapita di bawah Rp280.336 per bulan (80 persen garis kemiskinan). Dengan kondisi seperti ini bisa dibayangkan betapa peliknya persoalan kemiskinan yang tengah dialami oleh masyarakat pedesaan. Bagi mereka, tas Gucci seharga Rp32 juta tentu saja merupakan barang super mewah yang—kalau bukan karena keajaiban—tak mungkin bakal terbeli sepanjang hayat mereka.

Itulah sebabnya, anjuran hidup sederhana bagi presiden dan pejabat tinggi negara lainnya menjadi sangat relevan di tengah realitas sosial bahwa masih ada puluhan juta penduduk negeri ini yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya hanya untuk sekadar hidup layak.

Boleh dibilang, sebagian besar indikator sosial-ekonomi yang mengukur progres pembangunan menunjukkan bahwa daerah pedesaan relatif tertinggal di banding daerah perkotaan. Karena itu, istilah ndeso sejatinya menyiratkan sebuah tantangan pembangunan, yakni mengangkat masyarakat miskin pedesaan keluar dari jerat kemiskinan dan segala macam ketertinggalan yang diakibatkan minimnya akses terhadap pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan) dan pembangunan yang selama ini bias ke kota. Dengan demikian, kehidupan mereka bisa menjadi lebih bermartabat seperti suadara-saudaranya di kota. (*k)

 

Referenis data statistik:

Badan Pusat Statistik.2016. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2016. Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik.2016. Perhitungan dan Analisis Kemiskinan Makro 2016. Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik.2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Badan Pusat Statistik

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu