x

Masyarakat Adat Cek Bocek

Iklan

Nurul Firmansyah

Advokat dan Peneliti Socio-Legal. https://nurulfirmansyah.wordpress.com/
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Koeksistensi Adat-Islam dalam Pengelolaan SDA Berkelanjutan

(Studi Kasus Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Koeksistensi adat dan islam dalam pengelolaan sumber daya alam di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat tidak terlepas dari karakter Islam dalam masyarakat melayu, khususnya minangkabau yang menghormati nilai-nilai tradisional (adat) yang hidup dan konsisten menjalankan ajaran adat dan islam secara secara bersamaan. Hal tersebut termanifes dalam pepatah; “adat basandi syara;, syara’ basandi kitabullah.”

Secara normatif, jalinan adat dan islam dilaksanakan dengan prinsip “islam adalah dasar dan adat adalah operasional.” Nilai-nilai islam sebagai tonggak dijalankan dalam pemakluman adat. Prinsip ini sebagai legitimasi masyarakat minangkabau untuk menjalankan ajaran adat dan islam secara bersamaan.

Legitimasi ini terutama terkait dengan konsistensi masyarakat minangkabau untuk menjaga sistem pewarisan matrilineal dan hubungannya dengan sistem penguasaan tanah dan sumber daya alam berdasarkan adat (hak ulayat). Sistem pewarisan dan penguasaan sumber daya alam ini kemudian membentuk model pengelolaan atas sumber daya alam, termasuk hutan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konsistensi menjaga sistem pewarisan dan penguasaan sumber daya alam berdasarkan adat di satu sisi dan menjalankan islam sebagai dasar pelaksanaan adat disisi lain oleh masyarakat nagari guguk malalo didukung oleh faktor ekonomi dan ekologi yang menyertainya. Faktor-faktor ini memelihara corak pengelolaan hutan dan sumber daya alam oleh masyarakat nagari tetap berlangsung sampai saat ini.

Model Ekonomi Kaum

Faktor ekonomi, terutama pemenuhan keadilan (distribusi) sumber daya untuk menjamin keberlanjutan mata pencarian seluruh anggota komunitas masyarakat nagari guguk malalo menjadi faktor utama konsistensi menjalankan sistem pewarisan matrilineal adat dan penguasaan atas sumber daya alam (hak ulayat). Sistem pewarisan dan penguasaan sumber daya alam berdasarkan adat melahirkan pembatasan penguasaan individual secara mutlak atas kekayaaan sumber daya alam.

Seorang laki-laki dewasa, yaitu laki-laki yang telah menikah dibebankan untuk memenuhi kebutuhan keluarga batih (istri dan anak-anak) yang dia bisa hasilkan dari pemanfaatan tanah-tanah berupa sawah dan parak (agroforest) yang dimilki oleh keluarga istri maupun tanah-tanah pusako dari ibunya melalui akses ‘ganggam bauntuk.’

Dia hanya bisa memanfaatkan hasil dari lahan-lahan produktif untuk memenuhi kebutuhan keluarga batih, tetapi dia tidak memiliki secara mutlak atas lahan-lahan yang dikelola tersebut. Begitu halnya dengan istri pewaris tanah pusako, juga hanya bisa menyediakan lahan untuk dikelola sendiri atau oleh suami dan anak-anaknya, namun dibatasi untuk memiliki lahan-lahan tersebut secara mutlak.

Model pengelolaan tanah-tanah pusako ini adalah model ekonomi keluarga berbasis suku/kaum. Graves (2007) menjelaskan bagaimana model tanah pusako tinggi memastikan model ekonomi tersebut berlangsung. Tanah pusako sebagai harta pusaka adalah semacam “dana jaminan bersama” (trust fund) yang dimiliki bersama-sama oleh anggota kaum/suku.

Kepemilikan individual mutlak tidak dimungkinkan dalam sistem ini, sehingga juga menyulitkan untuk diperjual belikan oleh masing-masing anggota kaum/suku. Sistem ini melindungi semua anggota kaum/suku dari kemiskinan fatal, yang secara bersamaan juga menyulitkan pemilikan tanah-tanah secara pribadi yang memungkin seseorang menjadi kaya mendadak.

Sumber Daya Cadangan dan Keberlangsungan Adat

Pada tingkat yang lebih tinggi, tanah ulayat nagari adalah ‘trust fund’ untuk seluruh suku/kaum yang ada di nagari. Oleh sebab itu, konsep tanah/hutan cadangan yang dikenal oleh masyarakat nagari guguk malalo terhadap ulayat nagari menjadi relevan.

Kekayaan yang ada di ulayat nagari diperuntukkan untuk kepentingan perluasan lahan pertanian dan pemukiman sebagai basis ekonomi dari kaum/suku yang ada di nagari. Sedangkan hasil hutan kayu dan non kayu adalah hasil sampingan dalam sistem mata pencarian masyarakat nagari, sehingga pemanfaatan atas sumber daya tersebut diprioritaskan bagi publik, seperti membangun fasilitas umum, surau atau masjid.

Pemanfaatan oleh individu atas hasil hutan  adalah ‘penyimpangan,’ sehingga mereka dianggap sebagai orang luar yang memanfaatkan harta bersama tersebut dan harus mendapatkan izin dari panghulu-panghulu yang ada di nagari dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintah Nagari. Pemanfaatan hasil hutan kayu oleh individu dibatasi untuk kebutuhan sendiri, seperti memperbaiki rumah dan kandang ternak.

Model pengelolaan hutan dan sumber daya alam diatas terkait dengan pola produksi masyarakat nagari guguk malalo yang berbasis pertanian sawah dan agroforestry. Produksi pertanian pokok masyarakat berasal dari panen padi sawah dan hasil parak (agroforest).

Panen padi diprioritaskan untuk kebutuhan pangan keluarga, dan sisanya menjadi komoditi perdagangan pada pasar-pasar tradisional di nagari. Sedangkan komoditas yang dihasilkan dari parak (agroforest), berupa kayu manis, kopi, garda munggu, dan buah-buahan musiman menjadi komoditas yang dijual kepada pengumpul dan sebagian kecil di pasar-pasar nagari.

Hasil panen parak berkontribusi pada mata pencarian keluarga batih untuk kebutuhan skunder, seperti pendidikan anak, kesehatan dan kebutuhan skunder lainnya. Model produksi ini mengakibatkan pemungutan hasil hutan adalah produksi minor masyarakat. Sumber daya hutan adalah ‘cadangan’ terhadap lahannya, bukan pada hasil hutannya.

Koeksistensi Adat dan Islam : Membangun Landasan Moral

Topografi nagari guguk malalo yang berlereng bukit mengakibatkan perluasan persawahan tidak memungkinkan, namun hanya bagi perluasan parak (agroforest). Akibatnya, pemanfaatan lahan parak lebih besar dibandingkan dengan lahan persawahan. Adat membatasi perluasan lahan parak dengan menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai ‘hutan larangan.’ Fungsi hutan larangan adalah memelihara sumber mata air sebagai penopang lahan persawahan irigasi sebagai produksi pokok masyarakat.

Pola produksi dan model pengelolaan sumber daya alam ini melahirkan kesatuan ekosistem nagari yang saling terintegrasi, yaitu antara antara ekosistem pertanian sawah irigasi, agroforestry dengan hutan. Hutan adalah penopang ekosistem pertanian sawah irigasi dan agroforestry dengan menyediakan sumber mata air bagi pertanian sawah irigasi dan penyediaan lahan agroforestry.

Ajaran islam menjadi faktor penting pola produksi dan model pengelolaan sumber daya alam di nagari guguk malalo ini tetap berlangsung, dengan memperkuat tanggung jawab sosial-ekonomi dan ekologis, baik secara individu maupun komunitas, melalui; Pertama, memperkuattanggung jawab sosial-ekonomi komunitas dengan penetapan hisab atas zakat maal dari pemanfaatan tanah pusako tinggi oleh masing-masing keluarga batih dan paruik dalam setiap ritual mambuka kapalo banda.

Penetapan hisab zakat maal dalam ritual tersebut adalah bentuk legitimasi relijius atas sistem ekonomi kaum/suku yang berbasis pada hak adat, yang mengutamakan ‘kesejahtreraan umum’ dibandingkan dengan ‘kesejahteraan individual.’ Prinsip kesejahteraan umum dalam sistem adat kemudian bertemu dengan nilai islam yang menolak keserakahan individu dengan zakat sebagai intsrumennya.

Kedua, tanggung jawab ekologis, yaitu dengan melegitimasi penetapan wilayah “konservasi adat” yang disebut dengan ‘hutan larangan.’ Penetapan hutan larangan dilaksanakan dengan adat dan diperkuat oleh nilai-nilai islam melalui ritual ‘mambuka kapalo banda.’

Ritual ini mereproduksi norma dan pengetahuan lokal tentang pentingnya menjaga sumber mata air melalui penetapan hutan larangan yang berfungsi profan sekaligus sakral, yang profan terkait dengan fungsinya sebagai penjaga keseimbangan ekosistem, yang sakral adalah tanggung jawab individu dan komunitas terhadap keseimbangan alam sebagai sunnatullah yang harus dijalankan. 

Koeksistensi adat dan islam dalam pengelolaan sumberdaya alam di nagari guguk malalo adalah bentuk aktualisasi konsep pembangunan berkelanjutan dalam  frame al-qur’an, yang oleh Abomoghli (2010) dalam Mangunjaya (2014) menyebutkan bahwa pembangunan keberlanjutan dalam islam sebagai keseimbangan dan realisasi berkesinambungan antara kesejahteraan dan pemanfaatan, efisien secara ekonomi, memperoleh keadilan sosial, dan keseimbangan ekologi.

Artikel ini juga dipublikasi pada : http://www.qureta.com/post/koeksistensi-adat-dan-islam-dalam-pengelolaan-sda-berkelanjutan

Ikuti tulisan menarik Nurul Firmansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler