x

Iklan

Sunardian Wirodono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dunia Afi dan Dunia Sophie

Permasalahan Afi Nihaya sekarang ini bukan persoalan plagiarisme atau pun isu intoleransi. Ia lebih merupakan problem psikologi dan kemanusiaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Semoga kita pernah membaca novel ‘Dunia Sophie’ Joestein Gaarder, tentang Sophie Amundsend, gadis remaja berkepribadian 18. Dalam novel Joestein Gaarder, remaja berusia 14 di pinggiran kota Oslo itu, menjelang ultahnya yang ke-15, disergap pertanyaan paling fundamental dalam eksistensi manusia, “Siapa aku?”

Kini mari melihat ‘Dunia Afi’, remaja yang juga berkepribadian tak sederhana. Terimakasih kepada yang kini melakukan pendampingan atas remaja Banyuwangi itu. Afi adalah anak remaja Indonesia, yang saya kira berada dalam kumparannya. Ia mempunyai pilihan unik. Berbeda dari generasi sebaya dan lainnya. Pemilihan yang unik, karena ia tumbuh dalam kemiskinan lingkungan dan orangtuanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wilayah kecamatan Gambiran (Banyuwangi, Jawa Timur), adalah wilayah petani pada umumnya. Jauh dari hingar-bingar teknologi modern, meski smartphone sudah sampai di sana, termasuk dalam genggaman Afi.

Masyarakat Gambiran, adalah masyarakat warna-warni. Hidup dalam pluralitas masyarakat beragama Hindu, Buddha, juga Protestan-Katholik, bahkan Khong Hu Cu, serta beberapa aliran kepercayaan, dan tentunya Islam.

Banyuwangi, kita tahu, pertautan penting dalam sejarah transformasi agama-agama paska Majapahit (terutama Hindu, Buddha, Islam), atau gojag-gajeg dalam istilah antropolog Nusya Kuswantin, yang melakukan penelitian situasi di Banyuwangi paska 1965 (Senjata Cakra di Atap Wihara, 2017).

Afi, hidup bersama kedua orangtuanya yang berbeda dunia. Ayahnya penjual cilok (artinya tidak mempunyai sawah). Ibunya rabun karena glukoma akut, nyaris buta total. Semua itu menggambarkan kemiskinan yang mendera. Dan Afi mempunyai dunianya sendiri. Dunia Afi, dunia anak remaja usia 19, yang lebih suka menyendiri di kamar dengan buku-buku.

Prestasinya di sekolah, tak bisa dikatakan menonjol, meski sangat kuat untuk mata pelajaran bahasa dan ilmu-ilmu sosial. Afi fasih berbahasa Inggris. Mampu menggunakan logika. Bahkan menerapkan system tbl (think by logic) secara mandiri. Sesuatu yang hanya dilakukan mereka yang aktif berfikir. Afi anak pintar.

Jika Afi menonjol, menjadi viral, trending topic, itu karena medsos. Tapi benarkah itu karena kepandaian Afi? Saya menduga, lebih karena tema pilihan atau content yang disampaikan. Ia, sebagaimana puisi sobat saya, in momento! Berada dalam momen.

Momen ketika antara bumi datar dan bumi bulet bunder bertikai. Antara kaum intoleran, dengan kaum yang lebih ramah lingkungan dan adaptif. Momen ketika yang anti dan pro Ahok berhadapan. Lebih luas lagi, ketika mereka yang tidak pro Jokowi saling bully dengan pendukung Jokowi.

Justru ironisnya, lebih karena pilihan ideologi atau keyakinannya. Afi pro toleransi, dan tak sepaham dengan waham intoleransi. Ia kritis pada agama (Islam), dan itu masalahnya. Anda tahu, ia justeru menjadi korban dari kedua belah pihak yang bertikai. Afi bagaikan pelanduk mati di tengah pertikaian gajah.

Pada satu sisi, ia menjadi symbol keberanian menyampaikan pendapat. Diseret-seret ke sana-kemari. Ke kampus, televisi, istana presiden. Tapi senyampang itu, atau justeru karena itu, ia dibully oleh mereka yang tak sepaham. Ia diteror, ditelpon malam-malam, dini-hari, jam berapa pun, sepanjang hari.

Ia dimaki, dikutuk, dengan berbagai cara. Bahkan ancaman pembunuhan. Bukan hanya di medsos, melainkan juga di dunia nyata, meski lewat telepon, sms, whatsaap, di-suspend akun fesbuknya, dan sebagainya. Anda pernah merasakan dibully sedemikian rupa? Menjadi proporsional, bukan hal mudah.

Mengenai plagiarisme, hormat saya pada kaum kreatif yang menjunjung tinggi kedigdayaan orisinalitas. Saya adalah korban plagiarisme, yang dilakukan oleh teman saya sendiri. Novel tulisan saya (buku kedua dari trilogi “Centhini, 40 Malam Mengintip Sang Pengantin”), dijiplak di atas 80%, dan itu sudah diakui pelaku serta editornya, di depan lawyer saya (10/10/2010). Saya sakit hati atas hal itu, tapi alasan kemanusiaan membuat saya tidak menuntutnya secara hukum. Bahkan juga tidak meminta ganti rugi, meski dalam UUHC saya bisa dapatkan Rp 500 juta!

Cukup empirik alasan saya anti plagiarisme. Tetapi saya mengabaikan hal itu pada Afi. Bukan karena saya pro apa yang dilakukan, karena saya juga tidak tahu berapa dari seluruh tulisan Afi yang jiplakan, dan berapa yang orisinal. Anda tahu? Secara persis? Jika tidak tahu, Anda masuk golongan yang dzalim, apalagi ikut menghakimi.

Jika Afi memilih ‘meniru’ Amanda Todd, dalam video testimoninya, itu bukan karena semangat plagiat. Itu bisa dipastikan karena giringan angin tematik dalam kumparan psikologisnya. Setan pikiran akan membawa kemana pun engkau kehendaki, kata Ali bin Abi Thalib.

Ketika ketemu video Amanda Todd, Afi bukannya tak sadar. Saya mengira, itu searching atas kegelisahannya. Jika hal itu dibiarkan, diteruskan, ia bisa melakukan hal yang sama. Kasus Afi adalah kasus kemanusiaan, setidaknya kasus psikologi, bukan semata yang mulia dewa orisinalitas dan kreativitas.

Di New York City, Mark David Chapman dengan sadar menembak top idolatrynya, John Lennon, pada 8 Desember 1980. Chapman tak mencoba angkat kaki, dan bahkan sedang membaca buku The Catcher in the Rye, saat polisi datang ke TKP. Di pengadilan, Chapman menyatakan diri bersalah, tetapi menurutnya Tuhan telah menitahkannya berbuat demikian. Buku yang dibaca saat ditangkap itulah yang menyeret ilusinya.

Apakah Afi sakit? Menurut Anda yang waras, mungkin saja. Tetapi apakah Anda waras? Di dunia ini, siapa yang waras 100%? Gila 100%? Semua orang punya potensi, hanya kadarnya berbeda-beda. Semua orang berhak gila, bukan hanya karena potensi.

Bagaimana kita mengapresiasi, menghargai, dan mengajak berdialog untuk saling belajar, itu soalnya. Sekiranya kita menghendaki peradaban tumbuh, sebagaimana spirit kemanusiaan, itu mestinya lebih utama dari sekian banyak kepentingan pilihan. Bukan sekadar perayaan eksistensial karena rindu tampil.

Semoga Afi Nihaya berada dalam lindungan yang Mahakuasa. Semoga ia bisa melanjutkan studi, menjadi mahasiswa di universitas yang diimpikan. Di dalam kekayaan sekaligus kemiskinannya. Apakah ia hanya menjadi simbol negara, atau negara akan memenuhi kewajibannya, seperti tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 dan 34? Saya ingin mengatakan, bukan hanya Jokowi yang tahu.

Ikuti tulisan menarik Sunardian Wirodono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB