x

Iklan

Satriwan Salim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tentang Radikalisme: Antara Rohis, IPNU dan PII

Publik bereaksi terhadap pernyataan Menteri Agama Lukman Syaifuddin, terkait pengawasan kepada aktivis Rohani Islam (Rohis) di sekolah-sekolah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

  Foto diambil dari http://bunderan.dutadamai.id

Publik bereaksi terhadap pernyataan Menteri Agama Lukman Syaifuddin, terkait pengawasan kepada Rohani Islam (Rohis) di sekolah-sekolah. Pesan yang ditangkap oleh publik, seolah-seolah negara (melalui menteri agama) “mencurigai” aktivitas Rohis. Yang diindikasikan telah tersusupi pemahaman radikal. Sebagai kegiatan ekstrakurikuler, sebenarnya eksistensi Rohis sudah lama menyejarah, bahkan banyak diantara tokoh nasional republik ini merupakan mantan aktivis Rohis di waktu sekolahnya. Sebut saja nama Adhyaksa Dault, yang menjadi pegiat Rohis di waktu SMA (seperti yang pernah disampaikan olehnya kepada penulis di beberapa kali kesempatan tatap muka). Begitu pula Fadli Zon dan Fahri Hamzah, dua tokoh nasional yang saat ini duduk di bangku parlemen.

            Aktivitas Rohis mewarnai kegiatan keberagamaan yang terjadi di sekolah-sekolah umum atau sekolah berbasis Islam. Negara sesungguhnya memberikan ruang bagi para siswa yang berminat dalam kegiatan kegamaan Islam ini, yang kemudian dikenal dengan ekstrakurikuler Rohis. Bahkan tak jarang, para aktivis Rohis termotivasi mendalami agama dan menjadi aktivis Islam nantinya, justru ketika mereka bersentuhan dengan kehidupan Rohis di SMA/SMK/MA dulunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Rohis sebagai sebuah nama dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah mulai populer di era 80-an seiring meningkatnya trend kajian Islam khususnya di level mahasiswa, meningkatnya peran penting Lembaga Dakwah Kamus (LDK) sebagai kekuatan kader-kader Islam kampus dan kekuatan “politik Islam”, para mahasiswa Indonesia yang pulang kuliah dari Timur Tengah dan “memanasnya” hubungan kelompok Islam dengan Orde Baru (seperti kebijakan asas tunggal Pancasila, peristiwa Tanjung Priok dan Talang Sari). Lebih lanjut kajian terkait dinamika dan pergulatan politik kelompok aktivis organisasi Islam (di level pelajar dan mahasiswa), di era Orde Baru ini bisa dibaca dalam buku “Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia” (2005) dan “Ideologi Politik PKS: dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen” (2008), karya intelektual muda NU, M. Imdadun Rahmat.

Peran Historis PII dan IPNU

Sebagai bentuk dan nama lain dari kegiatan Rohis di lingkungan pelajar dan sekolah, sejarah mencatat bagaimana peran Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri di Yogyakarta pada 4 Mei 1947, dalam menorehkan semangat kebangsaan dan keislaman di kalangan pelajar. PII banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional, seperti nama Anton Timur Djaelani, Utomo Danandjaya, Tanri Abeng, Dahlan Iskan sampai pada nama seperti Mahfud MD, Jimly Asshiddiqie dan Jusuf Kalla. Bahkan sejarah mencatat, ada peran utama para pelajar Islam khususnya dari para aktivis PII yang tergabung di dalam KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dalam menumbangkan rezim Orde Lama. Bahkan penyerangan dan kekerasan dalam Peristiwa Kanigoro (13 Januari 1965) yang dilakukan PKI di Desa Kanigoro, Kediri, dengan korbannya adalah para anggota PII yang sedang mengikuti pelatihan di Pondok Pesantren Al-Jauhar. PII adalah organisasi pelajar Islam yang keras dan mengambil jarak oposisi terhadap PKI. Sejarah mencatat itu semua.

Begitu pula di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), eksistensi “Rohisnya anak-anak NU” ini bernama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), berdiri di Semarang pada 24 Februari 1954 juga sudah terbukti sampai detik sekarang. IPNU adalah salah satu Badan Otonom (Banom) NU yang memfasilitasi dan mengakomodir para pelajar NU. Peran strategis IPNU tercatat dalam perjalanan sejarah republik. Sebagai “anak” dari organisasi Islam terbesar di nusantara, tentu para aktivis IPNU merupakan anak kandung ideologis NU, yang juga melanjutkan cita-cita para pendiri NU, yang nota bene adalah para ulama dan pahlawan nasional.

IPNU tercatat juga dalam perjalan sejarah republik, sebagai organisasi pelajar yang bersikap tegas dan keras terhadap PKI, khususnya pasca peristiwa G 30 S/PKI 1965, bahkan IPNU dilibatkan dalam “pembersihan” PKI di desa-desa di Jawa. IPNU juga bersikap keras menolak undian SDSB yang menjadi polemik di era 80-90-an. Bahkan para aktivis IPNU konsisten terus menyuarakan agar Hadrotussyeikh KH. Hasyim Asy’ari diangkat sebagai pahlawan nasional, di dalam kongresnya sekitar 1963. IPNU melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti Hilmi Muhammadiyah (Irjen Kemenag), Tosari Wijaya (mantan anggota DPR dan Duta Besar Indonesia untuk Maroko), Zainut Tauhid Sa’adi (anggota DPR RI), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi dan termasuk pemimpin muda inspiratif, memperoleh ragam penghargaan diantaranya Oustanding Internationalism in Local Leadership (2016) oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). Bahkan seorang Din Syamsuddin yang mantan ketua umum PP Muhammadiyah adalah seorang bekas aktivis IPNU, pun pernah menjabat sebagai Ketua Umum IPNU di Pesantren Gontor, yang akhirnya hijrah ke Muhammadiyah.

Mengapa Rohis menjadi Radikal?

Berbagai peran strategis organisasi Rohis, dengan wujud organisasi nasional pelajar Islam seperti yang dituliskan di atas, menjadi inspirasi semestinya bagi para pelajar (Islam) saat ini. Bahwa sebuah organisasi pelajar Islam (baca: Rohis), bisa memproduksi ide-ide segar yang berguna bagi masyarakat, sikap politik yang konstruktif dan melahirkan tokoh-tokoh pemimpin nantinya. Persoalan kemudian yang muncul adalah mengapa “seolah-olah” saat ini Rohis cenderung dicitrakan sekedar kelompok ekstrakurikuler, kumpulan siswa yang tergabung karena faktor minat dan bakat kegamaan belaka. Bahkan lebih tragis lagi acap kali Rohis diidentikkan dengan kelompok-kelompok radikal?

Untuk menjawabnya, penulis ingin memberikan setidaknya 3 jawaban (pendekatan) atas pertanyaan di atas. Ini dilakukan karena terdorong atas rasa keberatan penulis, atas stigmatisasi segelintir media massa dan publik terhadap Rohis (yang hal ini akan makin berbahaya jika diteruskan). Dan sebagai tanggung jawab moral penulis yang kebetulan pernah menjadi ketua umum Rohis di salah satu SMA Negeri di Bogor sekitar 15 tahun lalu, tempat bersekolah dulu.

Anak-anak Muda Rohis Itu Diasuh, Bukan Dijadikan Musuh!

Pertama, untuk mengembalikan memori kolektif publik terhadap pemberitaan sebuah stasiun TV swasta sekitar tahun 2012, yang mengatakan bahwa “Rohis adalah sarang teroris” (walaupun pernyataan ini diklarifikasi kemudian oleh redaksi dan meminta maaf). Model pemberitaan seperti itu atau pernyataan pejabat negara yang dianggap sering menyudutkan Rohis akan menjadi sensitif di mata publik. Apalagi dengan melakukan tindakan gebyah-uyah terhadap para aktivis kerohanian Islam secara nasional. Mengingat ratusan ribu jumlah sekolah tingkat SMA/SMK/MA di Indonesia, yang umumnya memiliki ekstrakurikuler Rohis. Yang sulit dihilangkan itu adalah labelling. Pastinya bagi siswa yang bukan aktivis di sekolahnya akan mudah terpengaruh dengan pelabelan tersebut. Maka tak heran para orang tua nantinya melarang anaknya untuk aktif di Rohis.

Secara psikologis, usia SMA adalah masa yang identik dengan pencarian jati diri, pembuktian eksistensi diri di depan publik, ingin diperhatikan, bergaul dalam peer group dan solidaritas kelompok tinggi. Jika stigmatisasi dan pelabelan terhadap Rohis masih seperti itu (sarang teroris, radikal dan eksklusif), maka mereka akan dikucilkan di sekolah. Aktivis Rohis akan dijauhi dan dicurigai oleh teman-temannya. Ini justru akan sangat berbahaya bagi perkembangan mental dan sosial  siswa. Akan muncul kesimpulan (dari orang tua dan siswa lainnya) bahwa, pilih saja OSIS dan Pramuka karena lebih nasionalis, jangan masuk Rohis karena isinya anak-anak radikal!

Di sisi lain karena kadung dilabeli sebagai organisasi radikal, anak-anak muda Rohis ini justru akan “terinspirasi” dengan label tersebut, alasannya karena rasa ingin diperhatikan lebih, berbuat sesuatu yang berbeda dari orang banyak (anti mainstream), wujud eksistensi kelompok dan demi membuktikan ghiroh islamiyah (yang disalahartikan) dan pembuktian atas makna “al wala (loyalitas-pengabdian) wal barra (melepas diri-memutuskan), yang sejatinya didistorsikan maknanya. Tidak heran jika kemudian aktivis Rohis memilih “jalan radikal” tersebut sebagai pelampiasan atas pelabelan dan kecurigaan yang berlebihan dari masyarakat.

Bahkan ghiroh islamiyah mereka ini seakan-akan memperoleh medan aktualisasi, jika dicampuri oleh bumbu-bumbu politis (hubungan dengan pemerintah dan negara) dan dogmatisme ayat suci yang disalahartikan. Oleh karena itu vonis dan stigmatisasi radikal atas Rohis adalah usaha yang berbahaya dan menjadi boomerang bagi masyarakat dan pemerintah kelak. Anak-anak muda Rohis yang tengah bergelora ini, wajib dirangkul bukan dipukul, harus dibina bukan dihina, mesti diasuh bukan dijadikan musuh.

Ketika Guruku Menjadi Radikal

Kedua, yang tak bisa dilupakan begitu saja adalah peran sentral para guru di sekolah. Pernyataan menteri agama yang menjadi polemik tersebut, jika kita maknai secara subtantif, sejatinya bermuatan positif. Pada intinya pesan bagi para guru agar memberikan perhatian dan pembimbingan “lebih” kepada para aktivis Rohis. Walaupun telunjuk menteri agama itu sebenarnya diarahkan kepada pemerintah juga, yang paling wajib bertugas membina guru-guru dan sekolah yang berada di bawah kewenangannya.

Aktivitas Rohis di sekolah selama ini direduksi hanya menjadi tugas guru agama. Guru mata pelajaran lain tidak boleh campur tangan. Karena yang dianggap paham agama ya guru agama. Perspektif seperti inilah yang keliru. Padahal dalam UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2015 dan PP Guru No. 19 tahun 2017 tugas pokok guru yaitu merencanakan, melaksanakan, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik. Jadi membimbing Rohis tidak hanya tugas guru agama, melainkan semua guru di sekolah tersebut!

Keberadaan guru sebagai pembimbing siswa sangat strategis di sekolah. Karena peran guru sebagai role model, sebagai teladan yang bisa ditiru siswa. Guru mempunyai daya pengaruh yang kuat kepada siswa. Apalagi siswa sudah menaruh kepercayaan tinggi (trust) kepada guru tersebut. Apapun yang diucapkan dan dilakukan sang guru, akan menjadi contoh dan dasar bagi siswa dalam berucap dan berbuat. Tapi di sisi lain ada beberapa kasus yang tentu saja membuat kita khawatir, misalkan ada guru pembimbing Rohis (guru agama) yang memiliki orientasi agama (Islam) yang bertentangan dengan ideologi kita dalam bernegara. Seperti yang disampaikan oleh beberapa aktivis Rohis kepada penulis, dalam sebuah diskusi.

Di salah satu sekolah SMA di Bogor, ada guru agama sebagai pembimbing Rohis yang juga aktivis organisasi Islam “garis keras”. Guru ini selalu mendoktrinkan tentang pemahaman keislamannya yang tidak moderat tersebut kepada para aktivis Rohis pun di kelas ketika mengjar). Bahkan terkait ideologi negara Pancasila, yang baginya adalah thogut. Sistem bernegara di Indonesia mesti diganti menjadi konsep khilafah. Hormat kepada bendera merah putih dalam upacara bendera adalah musyrik dan “fatwa” ngaco lainnya.

Bagi siswa SMA yang juga aktivis Rohis, tentu semangat (ghiroh) sang guru ini dijadikan dasar dalam bersikap. Karena guru adalah role model, apalagi baginya si guru tersebut berintegritas dan memperoleh trust dari para siswa. Maka apapun yang dikatakan guru akan direspon dengan “sami’na wa atho’na” oleh siswa. Ditambah latar belakang siswa yang tidak belajar agama lebih, misalnya di pesantren atau madrasah sepulang sekolah. Tak heran jika aktivis Rohis yang termakan omongan sang guru ini, lantas tidak mau mengangkat tangannya hormat pada bendera merah putih di saat upacara. Bahkan lebih mengejutkan lagi, siswa ini menurunkan lambang burung garuda yang terpampang di atas dinding kelasnya, karena diklaim sebagai simbol thogut. Kelas dan sekolahpun menjadi heboh dibuatnya. Ini benar-benar terjadi di salah satu sekolah negeri tersebut.

Seharusnya justru inilah yang menjadi tugas mendesak Kementerian Agama dan Kemdikbud untuk segera membenahi. Membimbing, melatih dan membina para guru, agar memiliki rasa kebangsaan yang tinggi. Karena kita tidak bisa begitu saja menyalahkan siswa. Karena gurulah yang masuk kategori dewasa secara usia dan profesional dalam bertugas. Gurulah yang pertama bertanggungjawab. Sehingga guru-guru yang mengajar, memenuhi empat (4) kompetensi utama seorang guru; pedagogis, profesional, sosial dan kepribadian (UU Guru dan Dosen, pasal 10 ayat 1 ). Walaupun patut ditambah satu (1) kompetensi lagi yaitu kompetensi kebangsaan. Ini yang perlu dilakukan pemerintah.

Kembalilah Ke Masjid Sekolah!

Ketiga, yang menjadi PR bersama para aktivis Islam, khususnya organisasi seperti PII dan IPNU (termasuk Ikatan Pelajar Muhammadiyah/IPM) untuk kembali ke masjid-masjid sekolah. Kembali ke khittah perjuangan yang bermula dari masjid. Kalaupun ada kasus aktivis Rohis SMA yang tergelincir ke dalam pemahaman radikal dan intoleran, tentu dikarenakan aktivis pelajar Islam arus utama tadi, tak lagi berperan di kalangan siswa/pelajar saat ini. Organisasi pelajar Islam arus utama yang usianya sudah tua itu, kalah pamor dibanding kelompok-kelompok transnasional yang mengusung ide khilafah atau yang seolah-olah menampilkan diri dengan kajian ilmiah, padahal sangat hobi melabeli bid’ah kepada saudaranya yang lain.

Sebuah fakta sosial dewasa ini jika PII, IPNU atau IPM kalah populer di kalangan pelajar. Khususnya di sekolah-sekolah umum-negeri, karena anak-anak ideologis organisasi Islam moderat seperti NU-Muhammadiyah tersebut, memang tidak lagi hadir di sekolah umum-negeri. Alhasil, Rohis di sekolah kemudian diisi oleh kelompok-kelompok transnasional, yang tampil dengan memukau dan memikat siswa. Ini menjadi otokritik bagi organisasi massa Islam yang moderat. Sebuah kekeliruan yang fatal dalam strategi dakwah. Tiga (3) organisasi pelajar Islam moderat tersebut, hanya berkembang di sekolah yang berbasis massa NU dan Muhammadiyah. Tapi, bagaimana PII? Tidak tahu lagi dimana rimbanya kini.

Aktivis PII, IPNU atau IPM agaknya masih terjebak ke nostalgia kebesaran sejarah masa lalu, ditambah para alumninya yang saat ini sudah menjadi orang-orang besar. Apalagi jika masih ada organisasi pelajar Islam, yang terus-menerus dibayangi oleh konflik internal. Energinya habis di arena kongres/muktamar saja. Bahkan organisasi yang seharusnya diisi dan dikelola oleh pelajar/siswa ini, sekarang beralih ke tangan mahasiswa. Bagaimana mereka punya waktu menyapa adik-adik SMA, yang juga haus akan ilmu dan ghiroh islamiyah yang sesungguhnya? Bagaimana mereka bisa datang berkunjung, kembali ke masjid-masjid sekolah untuk membina mental, rohani dan spiritual adik-adik SMA yang membutuhkan wadah mengembangkan spirit keislamannya? Jika organisasi pelajar Islam arus utama itu bukan lagi diurus oleh para pelajar/siswa dan sudah lupa jalan ke masjid sekolahnya!

Sekaranglah momentum yang tepat dan pas, bagi aktivis organisasi pelajar Islam seperti PII, IPNU/IPPNU, IPM dan lainnya untuk kembali mencari jalan pulang ke masjid-masjid sekolah. Mendidik dan membimbing adik-adik Rohis SMA/SMK?MA yang selalu memuncak ghiroh keislamannya itu. Penuhilah masjid sekolah dengan kajian-kajian keislaman yang mecerahkan, mencerdaskan dan menyejukkan. Kajian keislaman yang terasa semangat keislamannya, sekaligus dipupuk oleh semangat kebangsaan dan keindonesiaannya. Ramaikanlah syiar Islam di sekolah dengan merawat tradisi atau jalan aktivitas sosial keummatan untuk mengabdi. Jika harapan di atas benar-benar terjadi, kisah tentang radikalisme dan intoleransi hanya tinggal cerita basi. Semoga

 

*Satriwan Salim adalah guru di SMA Labschool Jakarta, Peneliti PUSPOL Indonesia dan Pengurus SEGI Jakarta.

Ikuti tulisan menarik Satriwan Salim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler