x

Iklan

Ayub Al Ansori

Pemulung kata-kata
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menolak Kebijakan Lima Hari Sekolah dan Permendikbud 23/2017

Argumentasi yang pro pada sistem ini cenderung menujukkan ketidakpercayaan terhadap rasa tanggung jawab anak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ayub Al Ansori
Santri Pondok Kebon Jambu Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon
 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy membuat kebijakan Lima Hari Sekolah (LHS) sepekan dengan porsi sehari delapan jam pelajaran melalui Permendikbud 23/17. Setelah sebelumnya kebijakan full day school di sekolah negeri dan swasta untuk jenjang SD dan SMP tidak jadi diberlakukan. Kedua istilah kebijakan Mendikbud ini sebenarnya sama saja. Yaitu menitikberatkan kegiatan full day school. Kebijakan ini banyak menuai protes, diskursus dan perdebatan pun tak terhindarkan di jagat media sosial, bahkan penolakan. MUI dan sejumlah ormas Islam melakukan penolakan keras karena kebijakan tersebut dianggap banyak merugikan dan perlu kajian yang lebih matang.

Mendikbud Muhadjir berargumen, hal ini merupakan implementasi dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang menitikberatkan pada nilai religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas.

"Proporsinya lebih banyak ke pembentukan karakter, sekitar 70 persen dan pengetahuan 30 persen," kata Mendikbud, seperti yang dikutip Pikiran Rakyat pada Senin (12/6).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alasan lain yang dikemukakan Mendikbud Muhadjir dengan dilaksanakannya LHS dengan delapan jam perhari sudah memenuhi standar jam mengajar guru ASN selama 40 jam seminggu. Selama delapan jam itu guru wajib memastikan dan mengawasi siswanya agar terhindar dari hal-hal negatif. Sistem ini dianggap sukses dilakukan sekolah-sekolah swasta dalam membentuk karakter siswa, sehingga Mendikbud Muhadjir berharap agar kebijakan ini juga dapat diterapkan di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta.

Argumentasi penyelenggaraan sistem ini sebagai mekanisme pengawasan, menurut penulis cenderung menujukkan ketidakpercayaan terhadap rasa tanggung jawab anak. Padahal, kepercayaan terhadap anak merupakan aspek penting dalam proses pendidikan.

Namun dengan argumentasi Mendikbud Muhadjir di atas, Kemendikbud harus memiliki argumentasi yang lebih mendalam bahkan harus dikaji ulang jika ingin mengimplementasikan kebijakan LHS alias full day school tersebut.

Menurut Anggi Afriansyah, peneliti LIPI, ada sejumlah penelitian mengenai full day school yang menyoroti aspek kemandirian (Azizah, 2014), pengelolaan pembelajaran (Septiana, 2011), interaksi siswa dengan teman sebaya (Aminingsih, 2014), pengaruhnya terhadap kecerdasan sosial (Afiah, 2014), maupun kedisiplinan (Winarni, 2014). Seluruh penelitian tersebut dilakukan di sekolah-sekolah swasta. Penguatan karakter merupakan salah satu tujuan mengapa sekolah-sekolah tersebut menggunakan sistem full day school. Dari beragam penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor penting penyelenggaraan sistem ini ialah kesiapan sekolah. Program yang terukur, guru yang profesional, dan suasana nyaman di sekolah merupakan elemen kunci keberhasilan program.

Pertanyaannya adalah sudah siapkah seluruh sekolah di Indonesia memenuhi standar tersebut? Bagaimana dengan Madrasah Diniyah yang menjadi garda terdepan pembentukan akhlak dan keagamaan siswa selama ini? Juga dengan Pesantren yang jauh lebih dulu menerapkan full day school dengan kebijakan otonomnya? Meski kedua lembaga yang disebut terakhir memiliki keterbatasan infrastruktur nyatanya dapat membentuk karakter siswa dengan baik. Tanpa harus melalu program sekolah lima hari sepekan. Apakah Mendikbud Muhadjir sudah memperhitungkan itu semua?

Menolak Lima Hari Sekolah (LHS) alias Full Day School (FDS)

Kiranya Mendikbud Muhadjir dengan Kemendikbudnya perlu melakukan kajian ulang Permendikbud 23/17 yang akan diberlakukan pada tahun ajaran baru 2017/2018.

Ada beberapa hal yang perlu dikaji. Pertama, terkait beban belajar yang akan dirasakan siswa. Menurut Helmy Faisal Zaini, berdasarkan hasil jajak pendapat dengan sejumlah pakar psikologi di Jawa Tengah menyimpulkan, bahwa anak usia SD setelah jam 13.00 daya serap ilmunya cenderung menurun. Ini artinya jika kegiatan belajar mengajar ditambah sampai jam 16.00 maka keterserapan pendidikan pada anak usia dini tidak akan maksimal.

Dalam sebuah penelitian yang dirilis di The International Journal of Social Pedagogy disebutkan bahwa sistem full day school memiliki beberapa masalah. Seperti jadwal aktivitas siswa menjadi terlalu padat yang membuat mereka mudah lelah, waktu luang yang semestinya dinikmati oleh siswa menjadi sangat terbatas, meningkatkan potensi stres pada siswa dan punya pengaruh pada performa serta kualitas mengajar dari guru yang terlibat.

Dalam hal ini banyak Pesantren justru membuat kebijakan sebaliknya. Santri yang sekolah formal setelah dzuhur antara pukul 13.00 - 15.00 tidak diwajibkan ikut pengajian. Santri diperbolehkan istirahat, bermain dengan teman sebayanya, dan melakukan aktifitas yang membuat pikirannya fresh untuk kemudian mengikuti pengajian hingga malam.

Kedua, terkait aspek mental spiritual. Fakta dunia pendidikan dasar kita selain SD dan MI juga terdapat pendidikan pesantren dan Madrasah Diniyah (MD) yang berfungsi memberikan penguatan pelajaran dibidang agama, terutama terkait praktik muamalah dan ubudiyyah sehari-hari. Keberadaan lembaga pendidikan pesantren dan MD ini telah banyak memberikan kontribusi pada pembentukan kepribadian dan watak mental spiritual anak. Di banyak tempat MD biasanya dilaksanakan sore hari. Jika sekolah diberlakukan sampai sore hari maka praktis mereka tak bisa mengikutinya.

Ketiga, terkait aspek sarana prasarana penunjang atau infrastruktur. Seperti diketahui untuk sekolah di daerah-daerah tertentu masih sulit terakses sarana transportasi umum. Ini menjadi masalah lanjutan kalau jam pulang sekolah berubah. Masalah lain terkait keterbatasan ruang kelas. Di beberapa daerah di Indonesia masih banyak pemakaian ruang kelas secara bergiliran. Pagi digunakan sekolah formal dan sore Madrasah Diniyah. Jadi mereka tidak mungkin melaksanakan sekolah sampai sore hari.

Keempat, aspek ketahanan keluarga dan kesiapan guru. Siswa yang berasal dari keluarga tak mampu, biasanya usai pulang sekolah selalu membantu orangtua, ada yang menjadi buruh tani, berdagang, nelayan, dan sebagainya. Jika anak-anak ini harus bersekolah hingga sore hari maka dua hal sekaligus membebani orang tua.

Begitupun dengan guru. Tidak semua guru siap bekerja selama delapan jam sehari. Mereka juga memiliki kebutuhan untuk sekadar berkumpul dan bercengkrama dengan keluarganya. Alih-alih sibuk mendidik siswa, anak sendiri terabaikan. Kebijakan Mendikbud ini seolah menjadi dua sisi mata uang.

Menakar persoalan-persoalan tersebut, menerapkan kebijakan Mendikbud tersebut sebaik apapun kegunaannya perlu dikaji dengan hati-hati. Perlu juga menjadi perhatian, pemberlakuan LHS secara massal harus melihat suprastruktur dan infrastruktur masing-masing satuan pendidikan karena tidaklah sama. Oleh karena itu untuk saat ini menolak kebijakan Mendikbud dengan Permendikbud 23/17 nya menjadi sebuah kewajiban.

Kebijakan LHS ini semestinya mempertimbangkan banyak hal seperti pendanaan, kesiapan tenaga pendidik, dan yang lebih penting dampaknya kepada siswa. Mempertimbangkan kegiatan pembentukan karakter siswa yang sudah mapan selama ini seperti Pesantren dan MD. Juga harus mempertimbangkan sekolah-sekolah di pedesaan dan pesisir yang memiliki "jam kerja" berbeda, budaya yang berbeda pula.

Jika kebijakan tersebut sekadar menambah beban mata pelajaran siswa dan menambah beban kinerja guru, tentu tingkat stress pada anak dan guru akan ikut meningkat. Bahkan LHS juga akan menggeser dan menghilangkan sama sekali peran penting Madrasah Diniyah. Maka sekali lagi menolak LHS menjadi wajib.

Jika tidak dikaji ulang dan matang, bukan tidak mungkin akan terjadi penolakan besar-besaran terhadap kebijakan LHS tersebut, yang selama ini sudah mencuat kepermukaan. Dan bisa jadi Muhadjir Effendy dicopot dari jabatannya. Wallahu A'lam Bisshowabi.

Ikuti tulisan menarik Ayub Al Ansori lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler