x

Tips Kesehatan: Lari Membuat Hidup Panjang Umur

Iklan

FX Wikan Indrarto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Iklim dan Kesehatan ~ FX. Wikan Indrarto

Semua populasi akan terpengaruh oleh perubahan iklim, namun beberapa di antaranya lebih rentan daripada yang lainnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

FX Wikan Indrarto*

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perubahan iklim dapat mempengaruhi kesehatan melalui berkurangnya udara bersih, air minum yang sehat, makanan yang cukup, dan tempat berlindung yang aman. Biaya perbaikan kerusakan langsung yang berdampak terhadap kesehatan, diperkirakan mencapai US $ 2-4 miliar / tahun pada tahun 2030. Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Antara tahun 2030 dan 2050, perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan sekitar 250.000 kematian tambahan per tahun, terkait malnutrisi, malaria, DBD, diare, banjir, dan paparan udara panas. Dengan rincian 38.000 kematian karena terpapar udara panas pada balita dan orang lanjut usia, 48.000 kematian karena diare akut pada balita, 60.000 kematian karena malaria dan DBD, dan 95.000 kematian karena gizi buruk pada anak. Hal ini terkait dengan aktivitas manusia selama 50 tahun terakhir, terutama penggunaan bahan bakar fosil untuk kendaraan, yang telah melepaskan sejumlah karbon dioksida dan gas rumah kaca yang cukup banyak, yang menjebak panas di bawah atmosfer dan mempengaruhi iklim global. Dalam 130 tahun terakhir, dunia telah memanas sekitar 0,85oC. Masing-masing dari 3 dekade terakhir berturut-turut lebih hangat daripada dekade sebelumnya sejak 1850. Dengan demikian, permukaan air laut meningkat, gletser atau gunung es di kutub mencair dan pola curah hujan berubah. Kejadian cuaca ekstrem menjadi semakin intens dan sering.

Suhu udara tinggi yang ekstrim sangat panas berkontribusi langsung terhadap kematian akibat penyakit jantung atau kardiovaskular dan pernafasan, terutama di kalangan anak balita dan orang lanjut usia. Pada gelombang udara panas tahun 2003 di Eropa misalnya, lebih dari 70.000 kematian telah dilaporkan. Suhu tinggi juga meningkatkan kadar ozon dan polutan lainnya di udara yang memperburuk penyakit jantung dan pernafasan. Demikian juga tingkat serbuk sari tanaman di kebun dan aeroallergen lainnya, juga meningkat karena suhu panas yang ekstrim. Partikel ini dapat memicu serangan asma, yang mempengaruhi sekitar 300 juta orang. Kenaikan suhu udara global yang sedang berlangsung, diperkirakan akan meningkatkan beban global penyakit asma.

Secara global, jumlah bencana alam terkait cuaca telah meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1960an. Setiap tahun, bencana ini mengakibatkan lebih dari 60.000 kematian, terutama di negara berkembang. Naiknya permukaan laut dan kejadian cuaca yang semakin ekstrem akan menghancurkan rumah, fasilitas kesehatan dan layanan penting lainnya. Lebih dari setengah populasi dunia tinggal dalam jarak 60 km dari garis laut. Selain itu, jutaan orang mungkin dipaksa untuk berpindah tempat, yang pada gilirannya meningkatkan risiko berbagai efek kesehatan, dari gangguan mental hingga penyakit menular di daerah baru yang ditinggali.

Selain itu, pola curah hujan yang semakin bervariasi cenderung mempengaruhi pasokan air tawar. Kurangnya air yang aman dapat membahayakan kebersihan dan meningkatkan risiko penyakit diare dan menyebabkan kematian lebih dari 500.000 anak balita setiap tahun. Dalam kasus ekstrim, kelangkaan air juga akan menyebabkan kekeringan dan kelaparan. Menjelang akhir abad ke-21, perubahan iklim cenderung meningkatkan frekuensi dan intensitas kekeringan pada skala regional dan global. Sebaliknya, banjir juga meningkat dalam frekuensi dan intensitas yang diperkirakan akan terus meningkat sepanjang abad ini. Banjir mencemari persediaan air tawar, meningkatkan risiko penyakit yang ditularkan melalui air, dan menciptakan tempat berkembang biak bagi serangga pembawa penyakit seperti nyamuk.

Banjir juga menyebabkan kasus tenggelam dan luka fisik, merusak rumah dan mengganggu pasokan layanan kesehatan. Sedikitnya 10 orang hilang termasuk seorang anak, dan 400.000 lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka setelah hujan deras melanda prefektur Fukuoka pulau Kyushu wilayah barat daya Jepang pada hari Kamis, 6 Juli 2017. Banjir disebabkan luapan air sungai, terkait curah hujan yang terjadi lebih besar 2,2 kali daripada curah hujan yang biasanya terjadi pada bulan Juli. Pada hal, meningkatnya suhu dan curah hujan yang bervariasi, juga cenderung menurunkan produksi makanan pokok di banyak wilayah termiskin. Hal ini akan meningkatkan prevalensi malnutrisi dan gizi buruk pada anak balita, yang saat ini masih menyebabkan 3,1 juta kematian setiap tahunnya.

Kondisi iklim sangat mempengaruhi penyakit yang ditularkan melalui air, serangga, siput atau hewan berdarah dingin lainnya. Perubahan iklim cenderung memperpanjang musim transmisi penyakit bawaan vektor dan mampu mengubah jangkauan geografis penyebarannya. Misalnya, perubahan iklim diproyeksikan akan melebar secara signifikan di wilayah China di mana penyakit kecacingan atau ‘schistosomiasis’ yang ditularkan melalui siput masih sering terjadi. Malaria juga sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Dengan ditularkan oleh nyamuk Anopheles, malaria membunuh lebih dari 400.000 orang setiap tahun, terutama anak balita.

Nyamuk Demam Berdarah Dengue (DBD) juga sangat peka terhadap kondisi iklim, dan penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim cenderung terus meningkatkan eksposur terhadap DBD di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Pada tahun 2015, tercatat ada sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia. Tiga puncak epidemik DBD terjadi setiap 10 tahun, yaitu 1988, 1998 dan 2007, sehingga sekarang kita harus mulai waspada. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor nyamuk, yaitu perubahan curah hujan, suhu, kelembaban dan arah angin.

Semua populasi akan terpengaruh oleh perubahan iklim, namun beberapa di antaranya lebih rentan daripada yang lainnya. Orang yang tinggal di negara berkembang, pulau kecil, daerah pesisir, lingkungan kumuh di kota besar, daerah pegunungan dan kutub, adalah masyarakat yang sangat rentan. Anak balita, khususnya yang tinggal di negara miskin, juga termasuk kelompok yang paling rentan terhadap risiko kesehatan, yang diakibatkan perubahan iklim dan akan mengalami dampak kesehatan yang lebih lama. Efek buruk dalam bidang kesehatan juga akan lebih parah bagi orang lanjut usia dan orang dengan penyakit yang sudah ada sebelumnya.

KTT G20 2017 adalah konferensi tingkat tinggi Grup 20 ke 12 yang diselenggarakan Jumat dan Sabtu, 7–8 Juli 2017 di Hamburg, Jerman dan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, juga membahas tentang perubahan iklim global. Meskipun demikian, sebenarnya tidak hanya diperlukan kebijakan pemerintah, tetapi juga aktivitas individu warga masyarakat yang berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca, bahkan akan menghasilkan manfaat kesehatan. Sebagai contoh, sistem energi yang lebih bersih, penggunaan transportasi umum dan gerakan fisik aktif, seperti bersepeda atau berjalan kaki, sebagai pengganti untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi. Semua aktivitas tersebut dapat mengurangi emisi karbon, dan memangkas beban polusi udara rumah tangga, yang selama ini telah menyebabkan 4,3 juta kematian per tahun. Apakah kita sudah bertindak bijak?

Sekian

Yogyakarta, 11 Juli 2017

*) Sekretaris IDI Wilayah DIY, dokter spesialis anak di RS Siloam @ LippoPlaza dan RS Panti Rapih Yogyakarta, Alumnus S3 UGM

Ikuti tulisan menarik FX Wikan Indrarto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler