x

Iklan

Maria Yohanista

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Permenaker 2/2015

Permenaker 2/2015 adalah satu-satunya dasar hukum perlindungan PRT yang ada di Indonesia, namun belum dimanfaatkan dengan optimal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Upaya perlindungan PRT di Indonesia terus berjalan walaupun Undang-undang yang diharapan menjadi payung hukum, sampai saat ini belum terwujud. Para pengambil keputusan kebijakan publik meletakkan diri mereka sebagai majikan, pengguna jasa PRT ketimbang pembuat sistem dan kebijakan publik. Inilah akar persoalan beratnya proses advokasi RUU Perlindungan PRT untuk menjadi Undang Undang.

Sejauh ini, sebenarnya ada satu payung hukum yang belum sekuat Undang-Undang tetapi bisa dan telah terbukti bisa dipakai sebagai acuan perbaikan kondisi dan posisi pekerja rumah tangga atau (PRT) yakni Permenaker 2/2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan menggunakan Permenaker 2/2015, di beberapa wilayah seperti Kota Makasar, Kota Tangerang, Kota Metro - Lampung, dan Kabupaten Malang, sejumlah wilayah telah menerapkan  sebuah sistem baru, yakni Pemantauan Berbasis Komunitas  atau PBK. 

Apa yang dilakukan dalam PBK?

Sebenarnya PBK bukan hal baru, karena dari sononya, masyarakat Indonesia sudah saling peduli satu sama lain, warga satu RT biasanya saling mengenal dengan baik, saling peduli jika ada kematian, atau warga yang sakit, saling menolong jika ada kesusahan, dll. PBK menambahkan kacamata baru pada "lensa sosial" pegiat tingkat RT, termasuk pamongnya, yakni pak/bu RT.  Mereka diberikan pemahaman tentang perlindungan PRT dan penghapusan PRTA, sehingga mengerti bahwa situasi dan kondisi kerja yang layak bagi PRT adalah kondisi kerja layak sebagaimana pekerja pada umumnya, serta kesadaran untuk tidak mempekerjakan PRT di bawah usia 18 tahun. 

Tim PBK memperkenalkan Permenaker 2/2015 ke masyarakat, sebagai sebuah aturan pemerintah yang harus ditaati, dan melakukan pemantauan secara berkala terhadap kondisi PRT di rumah warga dalam RT tersebut.

Alhasil, beberapa PRTA yang ditemukan dapat memperoleh kesempatan pendidikan, setelah disetujui pengguna jasa, dan sebagian PRT bisa mendapat kesempatan bertemu sesama PRT, yang sebelumnya sangat sulit mereka peroleh.

Sayangnya Permenaker ini, masih sangat sedikit yang tahu, apalagi paham. Jangankan masyarakat umum, staff disnaker yang ditemui penulis, hampir semuanya tidak paham. Beberapa petinggi di Kemnaker malahan dalam sosialisasinya, masih menggunakan kata pembantu dan lebih menekankan aspek   penguatan peran Agen PRT.

Bahwa dalam Permenaker tersebut ada kejelasan posisi PRT sebagai pekerja, bahwa batas usia PRT adalah 18 tahun, kewajiban pengguna untuk melaporkan keberadaan PRT di rumahnya kepada pamong (RT atau RW setempat), malah tidak dikedepankan. Padahal hal ini sangat penting dan bisa membantu pendataan PRT secara nasional.

Sembari mengupayakan adanya UU Perlindungan PRT, baiklah Permenaker 2/2015 ini dipahami dengan baik oleh masyarakat, apalagi oleh Kementrian yang mengeluarkan kebijakan ini. Sayang kalau kebijakan hanya untuk menjadi dokumen hiasan lemari atau masuk dalam daftar isian kebijakan yang diproduksi.

Pengakuan PRT sebagai pekerja adalah bentuk nyata perwujudan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!

Jakarta, 13/Juli 2017

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Maria Yohanista lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler