x

Koalisi Masyarakat Sipil Dukung KPK Tolak Hak Angket DPR. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Iklan

Reza Syawawi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Panitia Angket dan Penghinaan Pengadilan

Dalam konteks Panitia Angket, upaya yang dilakukan DPR dapat dinilai sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai mengganggu proses peradilan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Reza Syawawi

Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Laju Panitia Khusus Angket Komisi Pemberantasan Korupsi yang digagas Dewan Perwakilan Rakyat seperti tak terbendung. Berbagai penolakan dari kelompok masyarakat sipil dan ratusan guru besar dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia tampaknya tak menyurutkan langkah Dewan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Target pertama Panitia adalah memeriksa bekas anggota DPR dari Partai Hanura mengenai proses hukum yang sedang berjalan, baik sebagai saksi dalam kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik maupun tersangka pemberi keterangan palsu dalam sidang peradilan.

Jika ditilik dari segi hukum, tindakan DPR bisa dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court). Penghinaan dapat dimaknai dalam dua hal: (i) criminal contempt, yakni upaya untuk mengacaukan proses administrasi peradilan, (ii) civil contempt, yakni tidak mematuhi putusan dalam proses pengadilan (Smith and Hogan, Criminal Law, Third Edition).

Black's Law Dictionary mendefinisikan penghinaan terhadap pengadilan sebagai perbuatan yang dipandang mempermalukan, menghalangi, atau merintangi pengadilan atau dinilai mengurangi martabat dan wibawa pengadilan. Penghinaan terhadap pengadilan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kriteria: (1) usaha untuk mempengaruhi suatu hasil dari pemeriksaan peradilan, (2) tidak mematuhi perintah peradilan, (3) mengganggu proses peradilan, (4) menimbulkan skandal bagi pengadilan, dan (5) tidak berkelakuan baik di pengadilan (Oemar Seno Adji, 2007).

Dalam konteks Panitia Angket, upaya yang dilakukan DPR dapat dinilai sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai mengganggu proses peradilan (obstruction of justice). Hasil penelitian Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (2015) menyebutkan bahwa ada empat unsur suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai pengganggu proses peradilan. Unsur itu adalah: (a) tindakan tersebut "dapat" menyebabkan tertundanya proses hukum, (b) pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya, (c) pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum, dan (d) ada "motif" untuk melakukan tindakan yang dituduhkan.

Untuk itu, sebetulnya perbuatan mengganggu proses peradilan sangat mudah dibuktikan karena tidak mengharuskan perbuatan tersebut telah menimbulkan suatu akibat, melainkan hanya disyaratkan adanya maksud atau niat pelaku untuk menghalangi proses hukum, yang dalam rumusan pidana disebut delik formil. Dalam praktiknya, pelaku banyak menggunakan masyarakat tertentu yang punya "kepentingan" dengan kasus tersebut, menggunakan aparat penegak hukum, menggunakan jasa pengacara, atau menggunakan kekuatan politik.

Setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan untuk menghambat laju Panitia Angket. Pertama, dengan cara konfrontatif. Dalam jangka waktu tertentu KPK harus berani menetapkan bahwa langkah politik Panitia dapat dikenai pasal tentang tindakan yang tergolong mengganggu proses peradilan.

Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa setiap orang yang sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan perkara korupsi dapat dikenai pidana. Dalam konteks ini, ada dua unsur yang mudah dipenuhi. Pertama, unsur "merintangi" sebetulnya sudah terpenuhi karena cukup dibuktikan ada upaya atau usaha untuk merintangi tanpa harus dibuktikan bahwa tujuan tersebut tercapai atau tidak. Kedua, secara langsung atau tidak langsung otomatis juga terpenuhi karena tindakan tersebut dilakukan langsung oleh terduga pelaku atau tidak secara langsung, tetapi melalui suatu instrumen politik atau pengaruh tertentu (R. Wiyono, 2012).

Kedua, instrumen perlindungan terhadap saksi atau saksi pelaku sepatutnya bisa mencegah terjadinya praktik intimidatif dalam mengungkap kasus korupsi. Akibatnya, pengaruh politik sudah mampu menjamah ruang-ruang persidangan yang seharusnya bebas dari pengaruh apa pun. Apalagi dalam hal kejahatan terorganisasi, peradilan akan sulit mengungkap bila sistem perlindungan saksi tak mampu melindungi setiap saksi. KPK dapat bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang sebetulnya memiliki diskresi memberikan perlindungan yang bersifat darurat untuk melindungi saksi tanpa diminta oleh saksi itu sendiri, penasihat hukum, atau keluarganya.

Langkah ini mungkin akan berhadapan dengan arus politik yang begitu kuat melawan KPK. Namun pilihan itu harus diambil ketimbang pilihan soal kompromi politik yang justru melemahkan semangat pemberantasan korupsi.

Ikuti tulisan menarik Reza Syawawi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB