x

Pakar hukum tata negara Refly Harun, juru bicara HTI Ismail Yusanto, politikus PPP Arsul Sani, dan Ketua Lakpesdam NU Rumadi dalam diskusi mengenai Perppu Ormas di Restoran Puang Ocha, Jakarta, 16 Juli 2017. Tempo/Angelina Anjar Sawitri

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Yang Genting itu Korupsi bukan Ormas!

Kasus korupsi E-KTP sepertinya sangat “genting” untuk segera dituntaskan KPK, karena jika masih berkutat pada satu orang tersangka anggota DPR saja

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Negara dalam situasi “genting” menjadi alasan yang melatarbelakangi diterbitkannya perppu nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 Nomor 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) rasanya tidak tepat. Kegentingan justru seperti yang kita saksikan adalah upaya perlawanan DPR melalui hak angket yang terus melaju meminta “dukungan” para koruptor agar penyidikan terhadap kasus mega korupsi E-KTP oleh KPK dikaburkan. Dukungan publik yang semakin kuat terhadap KPK, tak membuat panitia hak angket DPR menghentikan laju protes-nya kepada komisi anti rasuah ini, mereka tetap bersikukuh bahwa hak angket terhadap KPK adalah kewenangan DPR yang konstitusional sehingga penolakan publik sangat mungkin terabaikan.

Kasus korupsi E-KTP sepertinya sangat “genting” untuk segera dituntaskan KPK, karena jika masih berkutat pada satu orang tersangka anggota DPR saja, ini malah sekadar menjadi drama politik  “playing victim” dimana, Miryam satu-satunya tersangka yang “dikorbankan” dan selanjutnya  tertutup kemungkinan mengungkap tesangka-tersangka lainnya. Genting, karena kasus E-KTP sejatinya menyeret nama-nama elit politik yang memiliki peran cukup besar dan memiliki pengaruh dalam pemerintahan. Darurat, karena negara dirugikan triliunan rupiah, sehingga jika tidak segera diungkap dan ditangkap pelakunya, jelas akan menyulut kemarahan rakyat. Hasil investigasi PPATK terhadap aliran dana korupsi kasus E-KTP rasanya cukup jelas, kepada siapa saja uang hasil rasuah itu dibagikan. Koran Tempo menyebutkan berdasarkan data PPATK, terdapat 25 perorangan dan 14 perusahaan yang sudah terendus jejaknya terlibat dalam kasus korupsi E-KTP.

Lalu, kegentingan seperti apa yang dirasakan sehingga pemerintah terpaksa mengeluarkan perppu soal pembatasan dan pembubaran ormas? Jika hanya ada satu-dua ormas yang dianggap “bandel”, rasanya terlalu istimewa jika Presiden sampai harus mengeluarkan perppu. Janganlah membunuh nyamuk dengan meriam, karena yang terkena dampaknya tidak hanya nyamuk, tetapi justru lingkungan disekitarnya yang lebih parah karena rusak dan porak-poranda. Jika benar bahwa yang disasar pemerintah sekadar membubarkan ormas HTI, maka prosedur hukum dan undang-undang yang ada masih cukup memadai dalam mekanisme pembubarannya. Kecuali pemerintah mempunyai  niat lain, membidik HTI tetapi bertujuan untuk membubarkan seluruh ormas yang dianggap bertentangan atau mengganggu jalannya pemerintahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya justru khawatir, bahwa pemerintah akan sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk memberangus dan membubarkan ormas-ormas yang dianggap mengganggu keutuhan NKRI. Bahkan, kalaupun ada yang protes, mereka dianggap sebagai anti NKRI dan anti-Pancasila atau mudah saja dituduh melakukan kejahatan SARA untuk ditangkap dan diadili. Saya kira, persoalan siapa yang anti-Pancasila dan mana yang dianggap mendukung NKRI selama ini masih berkutat pada fenomena “debat kusir” yang belum jelas dalil hukumnya, kini malah diperkeruh oleh alasan darurat negara dalam situasi genting sehingga mendesak mengeluarkan perppu yang sangat membatasi dan memberangus hak-hak kebebasan berpendapat masyarakat. Kritik juga disuarakan media asing, seperti ditulis oleh Washington Post, dimana organisasi hak asasi manusia yang berbasis di New York, mengutuk langkah pemerintah Indonesia menerbitkan perppu ormas tersebut.  

Mendengar istilah “genting” saja yang melatarbelakangi lahirnya sebuah perppu, publik sudah pasti curiga, jangan-jangan memang ada skenario lain yang hendak dijalankan pemerintah, termasuk memberangus “ormas radikal” yang sejauh ini secara subyektif dinilai pemerintah berasal dari ormas Islam berhaluan “garis keras”. Sangat masuk akal rasanya, ketika ungkapan kritik Fahri Hamzah yang mensinyalir adanya “intervensi asing” yang melatarbelakangi terbitnya perppu ormas ini. Fahri menyebut ada kelompok mastermind yang memanfaatkan kelemahan Presiden Jokowi dengan menarik mundur sejarah ke belakang. Kelompok ini, kata Fahri, sangat anti terhadap kelompok tertentu di Indonesia, sehingga terus mendesak pemerintah untuk mengakui kedaruratan negara dengan mendorong lahirnya perppu pembubaran ormas.

Pernyataan Mendagri soal negara tak boleh kalah dengan ormas, malah saat ini terkesan dibalik, dimana negara justru kalah oleh “desakan ormas”. Jika memang benar bahwa ada desakan dari kelompok “ormas” asing soal terbitnya perppu ini, berarti negara memang tidak boleh kalah oleh ormas dalam negeri, tetapi tidak masalah jika “kalah” oleh ormas luar negeri. Pernyataan Mendagri ini jelas menyiratkan keinginan yang kuat agar ormas-ormas tertentu yang dianggap mengganggu NKRI dalam versi penguasa segera dibubarkan. Ormas HTI, saya kira, pada akhirnya yang langsung terkena dampak perppu ini, sebelum kemudian ormas-ormas lainnya siap-siap menyusul. Inilah saya kira, dugaan darurat negeri hanyalah “desakan” dari pihak lain sehingga perppu diterbitkan, padahal ormas HTI dan sejenisnya hanyalah ormas “berisik” yang tidak “disukai” keberadaannya oleh para  penguasa.

Jadi, mana yang lebih genting atau darurat? Korupsi atau ormas? Saya kira masing-masing akan memiliki jawabannya sendiri-sendiri, tergantung kemana kecenderungan arah dukungannya. Saya sendiri lebih menganggap bahwa ormas HTI atau ormas “radikal” lainnya keberadaannya tidaklah menjadikan negeri ini dalam situasi genting, seperti darurat perang atau ada indikasi kudeta yang akan menggulingkan pemerintahan yang sah. Jika Presiden menyatakan situasi genting atau darurat yang mengancam eksistensi negara, maka sudah pasti militer bergerak dan rakyat-pun tak akan tinggal diam, berjuang bersama negara mengangkat senjata dan mempertahankan keutuhan NKRI sampai titik darah penghabisan. Rasanya nasionalisme kita tidak akan hilang hanya karena satu-dua ormas yang dianggap “mengancam” NKRI, tetapi nasionalisme kita jelas terganggu oleh aset-aset negara yang dikuasai “asing” dan “aseng” atau oleh praktik korupsi yang dilakukan oleh segelintir elit bangsa ini. Praktek korupsi merupakan darurat negara yang harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah, diberangus, dibubarkan dan dimatikan, termasuk pada seluruh perangkat yang membela atau mendukung praktik korupsi tersebut.  

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler