“Pemimpin itu hebat bukan karena kekuasaan mereka, melainkan karena kemampuan mereka memberdayakan yang lain.”--John Maxwell
Siapakah pemimpin hebat itu? Sejak lama para pengkaji isu-isu kepemimpinan memelajari figur-figur terkemuka dalam sejarah untuk menjawab pertanyaan yang terkesan sederhana itu. Para pengkaji menelisik pemikiran, kearifan, serta praktik kepemimpinan beragam figur, bukan hanya di lapangan kenegaraan, tapi juga bisnis, pendidikan, sosial, hingga militer. John Maxwell, yang kutipan ucapannya tertera di atas, termasuk di antara mereka yang berusaha menyarikan prinsip-prinsip kepemimpinan dari praktik.
Pemimpin yang ingin berhasil akan menghimpun bakat-bakat berkarakter tangguh, bukan orang-orang yang hanya ingin menyenangkan dirinya, tapi juga orang-orang yang berani bersikap kritis kepadanya. Ketika tidak semua hal sanggup dikerjakan sendiri oleh yang disebut pemimpin, ia perlu memercayai orang lain untuk melakukan aksi bagi dirinya. Orang yang terinspirasi kepemimpinannya akan tergerak. “Leadership is absolutely about inspiring action, but it also about guarding against mis-action,” kata Simon Sinek, penulis buku Start with Why.
Memercayai orang lain memang bukan perkara mudah, tapi pemimpin yang berjalan sendirian akan gagal. Pemimpin dituntut mampu menciptakan lingkungan di mana orang-orang biasa sekalipun mampu melakukan hal-hal yang luar biasa. Pemimpin yang hebat akan melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang suatu ketika akan menggantikannya. Seperti kata mendiang guru manajemen Peter Drucker, “Kunci bagi kehebatan ialah melihat potensi orang lain dan menyediakan waktu untuk mengembangkannya.” Jika ia lebih banyak menghasilkan pengikut—apa lagi yang memuja-muja, kepemimpinannya tak layak dipujikan.
Para figur pemimpin yang berhasil telah berbagi banyak kearifan tentang apa yang diperlukan pemimpin dalam segala cuaca—cuaca baik maupun buruk. Empat di antara kearifan itu ialah:
Pertama, kemauan, kemampuan, dan disiplin diri untuk mendengarkan. Inti dari kepemimpinan adalah mendengarkan secara sungguh-sungguh apa yang diinginkan oleh yang dipimpin, baik yang diucapkan maupun yang tidak diutarakan. Bila pemimpin ingin suaranya didengar, ia harus terlebih dulu mendenngarkan orang yang dipimpinnya. Disiplin dalam mendengarkan seringkali pudar ketika seseorang sudah duduk di kursi kekuasaan dan mulai melupakan orang-orang yang memilihnya.
Kedua, kemauan untuk berkomunikasi dan menjadikan dirinya dapat dipahami orang lain. Seorang pemimpin mula-mula mendengarkan lebih dulu apa yang dipikirkan dan dirasakan orang yang dipimpinnya, baru kemudian ia mengomunikasikan apa yang ia pikir dan rasakan agar orang lain dapat memahami dirinya. Komunikasi adalah percakapan dua arah, bukan monolog. Tanpa komunikasi, kepemimpinan akan macet. Seperti kata James Humes, mantan penulis naskah pidato Presiden Ronald Reagan, “Seni berkomunikasi merupakan bahasa kepemimpinan.”
Ketiga, jangan membuat alibi bagi diri sendiri. Adagium lama menyebutkan: “Tidak ada prajurit yang salah, komandanlah yang salah.” Keberhasilan tim, organisasi, atau negara bergantung kepada pemimpinnya. Jika terjadi kesalahan yang bersifat strategis dan berujung pada kegagalan, tidak selayaknya pemimpin menyalahkan bawahannya. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang cukup rendah hati untuk mengakui kesalahannya dan tidak menimpakan kesalahan kepada orang lain.
Keempat, pahami betapa tidak pentingnya diri Anda dibandingkan dengan tugas yang Anda emban. Ketika seseorang mencalonkan diri dan menerima tugas kepemimpinan dalam masyarakat atau negara, ia harus siap ‘mengorbankan diri’ bagi tugasnya. Ia harus mendahulukan kepentingan rakyat melebihi kepentingan pribadi. Ongkos bagi kepemimpinan yang hebat adalah pengorbanan kepentingan diri sendiri. **
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.