x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

TKW dan Anak Jalanan Juga Menulis

Literasi sebagai praktik sosial. Literasi sebagai sebuah alat untuk membangun eksistensi diri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Suara Dari Marjin

Penulis: Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah

Tahun Terbit: 2017

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: PT Remaja Rosdakarya

Tebal: xiii +234

ISBN: 978-602-446-048-8

Selama ini kita berasumsi bahwa hanya kaum terpelajar yang berliterasi. Ternyata asumsi tersebut salah. Buku ini membuktikan bahwa Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan anak-anak jalanan bisa berkarya. Mereka bisa menulis tentang apa yang mereka pikirkan. Bahkan para TKW di Hongkong berhasil menerbitkan buku, menjadi bloger dan mengelola perpustakaan.

Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, dimana salah satu butirnya adalah tentang pembiasaan membaca di sekolah, program literasi bergulir kencang di Indonesia. Semua sekolah dan madrasah, dari jenjang SD/MI sampai dengan SMA/SMK/MA menerapkan kegiatan 15 menit membaca buku nonmatapelajaran. Program literasi tak hanya bergulir di sekolah-sekolah, tetapi juga di luar sekolah melalui Gerakan Literasi Nasional. Kegiatan-kegiatan literasi bersama Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan komunitas belajar marak di berbagai tempat di tanah air. Apalagi pada saat Hari Buku, Pak Jokowi mengadakan acara khusus dengan para siswa dan dengan para aktifis literasi masyarakat.

Namun kalau dicermati, ada beberapa hal yang perlu didiskusikan dalam gerakan literasi yang sedang marak ini. Pertama adalah tentang faktor pendorong. Faktor pendorong yang sering digunakan oleh para pegiat literasi adalah jebloknya rangking Indonesia dalam hal tes-tes internasional seperti PISA, PRILS dan lain-lain. Demikianpun dalam hal budaya membaca, rakyat Indonesia dianggap sangat rendah. Pada tahun 2012 UNESCO merilis hasil studi yang menyampaikan bahwa hanya ada 1 dari 1000 orang Indonesia yang gemar membaca. Laporan UNESCO dan keterpurukan literasi berdasarkan pengukuran internasional tersebut dijadikan faktor pendorong dalam gerakan literasi. Akibatnya gerakan literasi diberlakukan sebagai sebuah fashion saja. Gerakan literasi dilakukan untuk tujuan supaya kita tak tertinggal gerbong pendidikan modern (hal. 212). Akibatnya upaya-upaya jalan pintas supaya nilai PISA dan PRILS bisa segera terdongkrak dilakukan.

Isu kedua adalah respon terhadap gerakan literasi dari masyarakat (dan sekolah) dimana gerakan ini lebih banyak direspon dengan deklarasi-deklarasi, membaca dan/atau membuat resensi secara masal, kalau perlu dengan pemecahan rekor MURI. Penampilan para duta baca yang memakai  selempang keren. Namun kurang merespon terhadap apakah siswa sudah benar-benar suka membaca, apakah buku bacaan yang cocok tersedia dalam jumlah yang cukup. Respon gerakan literasi seperti ini akan segera redup dan tak bertahan lama.

Isu ketiga adalah belum didiskusikan secara mendalam peran literasi (melalui sekolah) hubungannya dengan karier dan kemudian kesejahteraan. Kita seakan-akan menelan begitu saja bahwa literasi dalam arti kemelekaksaraan, adalah satu-satunya sarana untuk memasuki dunia kerja untuk menuju hidup yang sejahtera. Benarkah pendapat tersebut?

Buku ini berangkat dengan pertanyaan: “Apakah benar literasi (dalam arti kemelekaksaraan) adalah satu-satunya cara untuk memampukan warga negara untuk berdaya secara sosial, politik, dan ekonomi? Sebuah penelitian di Meksiko (Hernandez-Zamora, 2010) menemukan bahwa pendidikan tidak serta-merta bisa menaikkan taraf hidup seseorang (hal. 191). Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan seseorang selain dari kemelekaksaraan (baca: pendidikan).

Jadi, jika kita mengembangkan literasi, harus literasi yang seperti apa? Penulis buku ini memperingatkan bahwa program literasi yang hanya bertumpu kepada kemelekaksaraan tidak akan mampu menjawab tantangan pendidikan yang semakin kompleks. Literasi harus diarahkan kepada kemampuan baca tulis, kemampuan berpikir kritis, memahami nilai budaya dalam konteks jatidiri sebagai anggota komunitasnya. Tujuan literasi yang seperti ini tidak akan bisa dijangkau melalui kegiatan-kegiatan supervisial saja. Program literasi haruslah merupakan sebuah aktifitas sosial.

Dengan menggunakan pendekatan Kajian Literasi Baru (New Literacy Studies/NSL), Sofie dan Pratiwi mengkaji praktik literasi di anak jalanan di Bandung dan para buruh migran di Hongkong. Sofie dan Pratiwi memakai metode etnografi, dimana mereka berdua tinggal bersama mereka saat penelitian. Mereka berdua menemukan bahwa praktik literasi yang dilakukan baik oleh anak jalanan maupun oleh buruh migran, bukanlah sekedar praktik literasi yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan membaca dan menulis saja. Praktik literasi kedua kelompok marjin ini adalah sebuah praktik literasi untuk memperjuangkan jati diri mereka. Mereka menggunakan artefak literasi (tulisan, gambar, film) untuk menunjukkan bahwa posisi sosial mereka yang dianggap marjin tidak serta-merta menjadikan mereka inferior.

Pengalaman literasi anak jalanan dan para buruh migran ini memberi pemaknaan konsepsi baru tentang literasi yang kontekstual dan autentik. Literasi bukan lagi sekedar menjadikan orang-orang menjadi melek aksara (model otonomi) supaya hidup mereka menjadi lebih baik, tetapi literasi adalah sebuah praktik sosial yang tidak bebas nilai (model ideologi) yang muaranya adalah proses penemuan diri.

Di bab terakhir, Sofie dan Pratiwi menggugat pelaksanaan literasi di sekolah yang berjalan saat ini. Mereka membahas pentingnya model literasi ideologis mewarnai program literasi di sekolah. Pembahasan sampai kepada kesimpulan bahwa model literasi ideologis harus mewarnai praktik literasi di sekolah. Tantangan berikutnya adalah apakah model literasi ideologis ini bisa diterapkan di sekolah? Kalau bisa bagaimana caranya? Dua pertanyaan ini belum dijawab oleh kedua penulis. Semoga pada buku berikutnya, Sofie dan Pratiwi bersedia menuturkan bagaimana model ideologis bisa diintegrasikan dalam gerakan literasi sekolah, sekaligus dengan tips-tips penerapannya.

Di tengah-tengan kondisi literasi Indonesia yang baru kembali tumbuh ini, kehadiran buku ini adalah seperti sebuah anugerah. Saat hampir semua pembicaraan tentang literasi selalu dihubungkan dengan prestasi-prestasi buruk Indonesia dibanding dengan negara lain, ternyata ada suara merdu meski dari pinggiran bahwa literasi Indonesia itu keren. Buku ini menggambarkan “prestasi” literasi di Indonesia yang sangat menyentuh tujuan utama literasi tersebut, yaitu memampukan orang untuk bersanding sederajad dengan sesamanya.

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu