Ziarah kesatu ibarat pendahuluan terhadap pra pendahuluan. Tujuannya memastikan kesesuaian antara respon dunia-maya dan dunia-nyata.

Ziarah kedua berfungsi memantapkan proses pendahuluan. Suasananya terkesan masih ada basa-basi.

Ziarah ketiga sudah jamak alias lumrah. Tak ada lagi basa-basi. Semua tersampaikan dan tersalurkan mengikuti suasana batin sesaat, yang kadang liar.

Konon, tiap yang keempat kategorinya sudah rutin. Fungsinya lebih pada upaya merawat suasana tiga ziarah sebelumnya. Lebih pada upaya saling memahami posisi masing-masing.

Namun di antara empat ziarah itu, sebenarnya ada dua kunjungan sela. Maka sesungguhnya sudah enam kali ziarah dalam rentang waktu sekitar tiga bulan. Sebuah ritme yang cukup intens.

Ziara kelima dan keenam, ibarat kata, sudah mengarah ke candu. Semua gerak dilakukan secara spontan. Semua batas imajiner sudah terangkat dan terhapuskan.

Kucoba mendaur ulang dari ziarah satu ke ziarah keenam: ooooh, ibarat info grafik statistik, kurva garis grafiknya menaik. Nyaris tak ada lekukan grafik yang anjlok menurun.

Yang intim menjadi tambah intim. Nyaris tak ada lagi batas. Semua komunikasi berlangsung dengan penuh rasa dan timbang rasa.

Meski begitu, tetap saja tak kuasa menyangka-nyangka, akan seperti apa lanjutan dari ziarah-ziarah itu. Ini petualangan yang sewaktu-waktu dapat terkagetkan oleh tikungan tajam. Bahkan untuk berasumsi saja tak mampu berkira-kira. Maka perjalanan diputuskan tetap lanjut, sampai batas waktu dan jelajahnya yang belum terbayangkan.

Syarifuddin Abdullah |  Senin 17Juli 2017 / 23 Syawal 1438H.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.