x

Iklan

Sunardian Wirodono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Negara dengan Agenda Masing-masing

Di negeri ini, kesombongan intelektual kita, kesombongan individual kita, tak rela melepaskan sepatunya, bagi apa yang disebut tanggung-jawab sosial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"The truest characters of ignorance are vanity and pride and arrogance."  Samuel Buttler (1612 - 1680)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melabeli pemerintahan Jokowi sebagai rezim paranoid, Fadli Zon ngetuit: “Telegram dilarang krn dipakai teroris, harusnya penjualan panci juga dilarang dong? #rezimparanoid”. 

Pendapat Fadli Zon, dalam nada yang berbeda, berada dalam satu kubu dengan orang-orang yang mengatakan bahwa pemblokiran telegram adalah sesuatu yang bodoh. Analoginya, kalau WA dipakai teroris, WA dilarang. Kalau café dipakai ngerumpi negara, café dilarang. Dan seterusnya.

Senada dengan hal itu, tak jauh beda dengan para penggiat demokrasi dan HAM, dalam soal Perppu yang dikeluarkan pemerintah berkait Ormas Anti Pancasila. Pemerintah dinilai ngawur, anti demokrasi, atau gagap politik. Dan seterusnya.

 

Secara teoritik, akademik, akal sehat, semua pendapat itu benar adanya. Tak ada yang salah, atas nama kebenaran relative, sebagaimana kepentingan yang juga sangat superlative. Pertanyaannya kemudian, jika demikian, apa sebenarnya substansi permasalahan kita sebagai bangsa dan negara? Lantas apa semestinya yang dilakukan pemerintah?

 

Bahwa tidak ada yang salah dengan media, sebagaimana kita bisa mengerti kebanggaan naif Pavel Durov, pendiri sekaligus CEO layanan pesan instan Telegram, ketika berbicara dalam acara TechCrunch Disrupt, September 2015 lalu; “Privasi pada akhirnya lebih penting ketimbang ketakutan kita akan hal buruk yang bisa terjadi, seperti terorisme.”

 

Jadi, siapa yang salah? Yang salah adalah kebodohan, dan senyampang itu adalah juga kemiskinan (termasuk kemiskinan struktural). Tetapi mengapa ada kebodohan dan kemiskinan, juga di Indonesia ini, sebagai sebuah negara besar, dengan kekayaan alamnya, dengan jumlah populasinya yang besar, yang sebenarnya bisa menjadi potensi ekonomi?

 

Karena selama ini, negara memang tidak diurus dengan benar. Bahkan, kasus korupsi terbaru, dari Proyek e-KTP (2010-2012) sebesar Rp 5,9 trilyun, dengan indikasi yang dikorupsi senilai Rp 2,3 trilyun. Nyaris separohnya. Dan itu bukan kasus satu-satunya. Kwiek Kian Gie pernah mensinyalir, jika 30% uang yang dikorupsi bisa dikembalikan, Indonesia sebenarnya bisa menjadi negara yang makmur sejahtera.

 

Negara makmur sejahtera, indikatornya, rakyat mendapatkan layanan dan fasilitas pendidikan serta kesehatan, sehingga tumbuh generasi yang lebih baik. Rakyat yang tidak akan sudi disuap Rp 20 ribu, untuk memilih wakil rakyat atau presiden. Rakyat tidak akan saling ancam dan bunuh, hanya karena rebutan duit Rp 50 ribu dari pembagian orang kaya di hari Lebaran atau setiap Pilkada.

 

Sejarah korupsi di Republik Indonesia sudah sangat panjang, sepanjang penderitaan rakyat yang masih menderita karena kemiskinan dan kebodohan struktural sampai hari ini. Untuk hal mendasar saja, kita masih bisa bercekcok, apalagi untuk segala sesuatu yang lebih njelimet, dengan datangnya revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang begitu sungsang sumbel.

 

Jangan lupa, sebuah negara seperti Suriah, bisa hancur-lebur karena hoax, hasil dari sebuah industri informasi yang dimungkinkan dalam abad digital dan post truth ini. Dalam situasi seperti itu pula, seorang kandidat gubernur yang track record-nya terukur pun, bisa dikalahkan karena orang takut masuk ke neraka, karena memilih pemimpin Cina dan kafir.

Semua bentuk kekonyolan itu, tak akan terjadi jika rakyat kita cerdas, dan tidak berada dalam arsitektur modernitas bernama kemiskinan. Pertanyaannya; Bagaimana mencerdaskan rakyat Indonesia secara adil dan merata? Jika pembangunan infrastruktur yang sudah ketinggalan 30-an tahun ini, masih juga di-bully sebagai usaha sia-sia, karena pembangunan fisik tidak penting. Lantas apa yang mesti dilakukan? Sementara kita tahu, bagaimana harga bensin di Jawa Rp 6 ribu per-liter sementara di Papua bisa mencapai 10-20 kali lipatnya?

 

Data mengenai keterpurukan bangsa dan negara ini, di segala sektor, sudah kita ketahui bertahun-tahun. Bagaimana cara mencerdaskan rakyat, agar berdaya-saing sama tinggi dengan rakyat di negara-negara lain? Bagaimana cara agar kesejahteraan, keadilan sosial, bisa terwujud secara merata?

 

Tidak ada yang bisa menjamin, ketika semua itu tanggung jawab presiden semata. Namun kita tahu, betapa juga tak gampang membangun kebersamaan. Bahwa ada masalah di negeri ini, yang membutuhkan kebersamaan, gotong-royong, persatuan. Tetapi semuanya itu menjadi omong-kosong, ketika yang cerdik-pandai pun menjadi tidak bijak, dan luput menangkap pokok permasalahan, lebih karena polarisasi kepentingan yang jauh lebih kuat getarannya.

 

Kemiskinan dan kebodohan juga menyebabkan mentalitas korup elite kita, yang tak gampang disembuhkan. Pragmatisme politik-ekonomi Soeharto, mewariskan sistem nilai yang korup hingga kini. Hingga ketika lembaga KPK pun hendak dilikuidasi oleh DPR yang justeru menjadi bagian dari permasalahan bangsa ini, dengan perilaku dan sistemnya yang korup.

 

Anda boleh benci dengan siapapun, termasuk presiden kita yang dalam Pilpres 2014 mengalahkan capres lainnya. Tapi apakah Anda punya proposal yang lebih baik, di dalam kompleksitas masalah bangsa yang terpecah-belah ini? Anda tahu di mana ujung-pangkal persoalan kita, ketika soal jubah dan batik pun dipermasalahkan, dan dipakai sebagai ukuran tingkat keimanan atau pun religiositas seseorang?

 

Dari sisi kepentingan Anda, sebagai individu yang terdidik, entah itu Perppu atau pemblokiran aplikasi Telegram, menciderai kebebasan atau demokrasi yang Anda puja, bahkan tentu Hak Azasi Manusia. Tetapi siapakah Anda ini? Satu-satunya makhluk yang menghuni Indonesia Raya, di antara sekian juta penduduk Indonesia? Dengan ratusan etnis, ribuan bahasa dan ragam kebudayaan, dan centang-perenang ekonomi serta pendidikan, juga kesehatannya? Yang di sana, oleh Bung Karno disebutnya sebagai "masyarakat onta dan masyarakat kapal udara"?

 

Di sisi lain, betapa membanggakannya anak-anak muda yang bekerja melakukan pendampingan dan pembelaan pada rakyat di pelosok. Mereka melupakan segala sesuatu yang sesungguhnya belum mendesak atau urgen, dan bukan prioritas. Negeri ini terlalu penting untuk hanya mendengarkan kepentingan Anda semata!

 

Menjadi wajar kemudian, ketika Komnas HAM pun, kini pernyataannya bisa sangat parallel dengan para penebar terorisme, radikalisme, dan intoleransi. Tentu latar belakang dan tujuannya berbeda, tak usah ngamuk. Tetapi, semangat pembelaannya sama, justeru untuk kepentingan yang berbeda. Atau, apakah kepentingan Anda sama dengan kepentingan Pavel Durov?

 

Terngiang di balik keajaiban suara Angelina Jordan (11), gadis cilik dari Oslo itu. Bukan bagaimana ia menyenandungkan Fliying to the Moon atau Gloomy Sunday, tetapi bagaimana ketika ia mengawali nyanyiannya itu dengan mencopot sepatu, sebagai penghormatannya kepada sahabat sebayanya di Iran, yang tiada ibu dan tiada pula sepatu.

 

Terngiang bagaimana kesombongan intelektual kita, kesombongan individual kita, tak rela melepaskan sepatunya, bagi apa yang disebut tanggung-jawab sosial. Sebagaimana sesungguhnya dalam sila ke-lima Pancasila, para founding mother dan founding father kita, menitipkan pesan soal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Seluruh rakyat tanpa kecuali, yang miskin dan bodoh, yang ketinggalan kereta. Yang tak bisa membedakan antara; hoax dan doa, makruh dan mubah, sign kanan belok kiri, atas dan bawah, tuhan dan setan, madu dan racun, prioritas dan urgensi.

 

Ini tragedi kemanusiaan sesungguhnya. Yakni, ketika Anda tak punya agenda bersama, kecuali agenda Anda sendiri, tapi senyampang itu Anda minta diperhatikan.

 

Sunardian Wirodono, Yogyakarta 15 Juli 2017.

Pavel Durov (32) pendiri sekaligus CEO layanan pesan instan Telegram ini di tahun 2015 pernah menyatakan, “Privasi pada akhirnya lebih penting ketimbang ketakutan kita akan hal buruk yang bisa terjadi, seperti terorisme.”

Durov sendiri mengakui memang ada banyak sekali saluran terkait terorisme di channel Telegram. Tetapi setiap bulan, Durov mengklaim telah memblokir ribuan saluran publik ISIS dan mempublikasikan daftarnya di @isiswatch. Di sisi lain, Indonesia pasar potensial untuk gaya hidup konsumtif dalam jejaring medsos.

Artinya apa? Dia bukan pejuang murni kebebasan demi kebebasan. Kebebasannya pun berbatas proyeksi jumlah pengguna. Sampai saat ini pengguna telegram seluruh dunia ditengarai ‘baru’ 100 juta (sementara di Indonesia yang menandatangani change.org menuntut pemerintah tak melakukan blokir telegram sebanyak 797 orang (mungkin masih bertambah, jangan ngamuk).

Pengguna whatsapp di Indonesia belum dirilis (di India ada 160 juta, negara yang sama dengan Indonesia masih melakukan sms berbayar. Di negara yang telah menggratiskan sms, whatsapp tak laris-laris banget, meski di tingkat dunia konon mencapai 1 milyar pengguna). Jumlah fesbuker di Indonesia sebanyak 88 juta (di tingkat dunia, 1,7 milyar pengguna aktif).

Pada akhirnya Durov takut kehilangan pengguna potensial di Indonesia, setidaknya ia mengincar pengguna whatsapp (88 juta) bermigrasi ke telegram. Kalau telegram diblokir di Indonesia, pasti dia lebih gulung-koming lagi. Apalagi setelah dirinya terusir dari Rusia, karena menolak memblokir pengguna Vkontakte (kayak facebook Mark Zuckerbergh) yang diketahui sebagai oposisi Putin. Sementara pemblokir Telegram sudah terjadi di China, Arab Saudi, Iran, dan di Rusia sendiri.

Karenanya setelah gagal membela kebebasan murni, Durov menawarkan tiga solusi kepada pemerintah Indonesia. Intinya koordinasi untuk memblokir seluruh saluran terorisme, bekerja lebih efisien dalam mengidentifikasi dan menghalangi propaganda teroris, serta membentuk tim moderator.

"Saya akan terus memperbarui saluran ini tentang bagaimana Telegram akan berkembang di Indonesia dan secara global," ujarnya di akhir pernyataan tertulisnya. Itu pernyataan biasa seorang pedagang, pragmatis. Tak ada yang aneh dalam bisnis. Bahwa kreasinya melebihi kecanggihan whatsapp, itu kompetisi biasa dunia usaha.

Kita-kitanya saja, yang sok dirugikan berjibun-jibun, sebagai konsumen yang amat-sangat kritis. Tapi seperti sindir Slavoj Zizek dengan sinis itu adalah bentuk; individualisme hedonis yang tak terkendali, yang akan menimbulkan keruwetan harmoni sosial.

Kadang aneh juga, karena tak suka Jokowi, kita membela-bela kebebasan murni. Padahal Pavel Durov sendiri seorang pragmatis. Namun tentu Durov bukan pedagang cilok atau cireng, yang suka kita tuding tega menipu anak-anak sekolah, dengan tiap hari meracuni syaraf otak agar cepat mengkerut dengan makanan un-healthy.

 

 

Ikuti tulisan menarik Sunardian Wirodono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler